Mohon tunggu...
Iwan Dani
Iwan Dani Mohon Tunggu... Freelancer - Music for humanity

Untuk segala sesuatu ada waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musik Kontemporer dan Tanggung Jawab Etikal dalam Perspektif Agamben tentang Kontemporer

15 November 2019   14:08 Diperbarui: 15 November 2019   14:21 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita disebut kontemporer jika kita menyadari keberadaan kita pada masa kini namun mampu menjaga jarak dengannya sehingga tidak larut di dalamnya bahkan sebaliknya kita dengan kecerdasan kita bisa melihat sesuatu di dalam kegelapan zaman atau dalam kepingan sejarah dan membawanya ke dalam ruang waktu kita sekarang.

Di bawah naungan pengertian Agamben itu, saya mencoba memberi contoh penerapannya sebagai berikut :

  • Pada tahun 1924 seorang musisi bernama Wage Rudolf Supratman menggubah lagu "Indonesia Raya" di tengah kegelapan zaman penjajahan Belanda. Namun dia melihat ada cahaya dalam kegelapan, cahaya harapan akan kemerdekaan Indonesia dan menuangkan gagasanya dalam sebuah lagu. W.R. Supratman adalah kontemporer.
  • Titiek Adji Rachman, Lies Soetisnowati Adji Rachman, Susy Nander, dan Ani Kusuma bertemu pada tahun 1964 dan membentuk band perempuan pertama di Indonesia : Dara Puspita[vii]. Mereka menerobos kegelapan belantika musik Indonesia ketika saat itu didominasi pria. Dara Puspita adalah kontemporer.
  • Renungkanlah lirik lagu ini :

            Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam. Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Saudara dipilih bukan dilotre. Meski kami tak kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha...... Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"

 Itu adalah lirik lagu "Surat Buat Wakil Rakyat" yang dibuat Iwan Fals sekitar tahun 1980 di era rezim Order Baru Soeharto. Lagu itu mengkritik tingkah laku anggota DPR yang hanya menjadi tukang stempelnya Pemerintahan Soeharto. Ini adalah kegelapan yang diangkat Iwan Fals. Iwan Fals adalah kontemporer.

  • Ketika kita melihat seorang pianis di depan piano dan membaca sebuah partitur di depannya namun sama sekali tidak membunyikan pianonya selama 4 menit 33 detik. Apakah yang dilakukan sang pianis adalah pertunjukan musik ? Itulah yang dilakukan John Cage dalam karyanya "4:33". Di dalam komposisinya hanya ada diam (silence). John Cage mengingatkan dunia bahwa kita ada dalam lautan derau (noise), melalui karyanya Cage berpesan agar kita menikmati silence dan memperhatikan derau. John Cage adalah kontemporer.
  • Slamet Abdul Sjukur mengambil penggalan kidung Jawa Kuno "Semut Ireng Anak-anak Sapi[viii]" yang dia kenal semasa kecil dan mengkomposisi ulang dengan terang masa kini. Slamet Abdul Sjukur adalah kontemporer.

Pengertian kontemporer menurut Agamben agaknya sejalan dengan teori estetika Adorno. Kebenaran sosial itulah yang menjadi tolak ukur apresiasi kita terhadap seni kontemporer. Estetika seni kontemporer tidak terletak pada bentuk penyajian seni. Dalam bingkai seni musik, estetika itu tidak terletak pada sensasi nyaman ketika didengarkan namun pada pesan yang ingin disampaikan komposer kepada masyarakat melalui organisasi bunyi dan senyap yang dia buat.

Musik dan Tanggung Jawab Etikal (Etical Responsibility)

Musik di era modern ini sesungguhnya ada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagaimana kritik Adorno, musik di era modern ini telah terperosok menjadi komoditas industri hiburan belaka. Mungkin itulah yang terjadi sekarang ini. Masyarakat memandang musik hanyalah sekedar komoditas. Masyarakat sekarang cenderung hidup tanpa makna atau menghindari makna. "Di mana ada musik, di situ ada uang", keluh Attali (1977).

Padahal menurut Attali kita lebih bisa memahami masyarakat melalui musik ketimbang sains.

Attali mengatakan :

 Hari ini, pandangan kita meredup dan tak bisa lagi menerawang masa depan karena pandangan kita dibangun atas dasar abstraksi, omong kosong dan kesunyian. Sekarang kita harus belajar menilai masyarakat dari bunyinya, dari seninya, dan dari festivalnya ketimbang dari angka-angka statistik. Dengan mendengarkan derau (noise), kita bisa paham lebih baik ke mana bebodohan manusia dan kalkulasinya menggiring kita." (Attali 1977, h.3) 

Pada bagian lain, Attali menuliskan :

 Musik adalah cerminan masyarakat.... Musik lebih dari obyek studi: dia adalah cara untuk memahami dunia. Sebuah alat untuk mengerti. (Attali 2007, p.4)

 Berangkat dari kegelisahan bagi Adorno maupun Attali, kita akan menuju pada pemikiran Jeff R. Warren (2014) yang tertuang dalam bukunya "Music and Ethical Responsibility".

Argumen yang dikemukakan oleh Warren dalam bukunya adalah demikian : "Pengalaman musikal melibatkan perjumpaan dengan orang lain (the others) dan tanggung jawab etikal muncul akibat perjumpaan itu." (Warren 2014, h.1). Dasar argumen yang digunakan Warren adalah teori Ethical Responsibilty yang digagas filsuf Emmanuel Levinas. Oleh karena itu sejenak kita melihat terlebih dahulu apa yang diajukan oleh Levinas tentang ethical responsibilities (tanggung jawab etikal).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun