"Adem ayem saja Ji Lib, mungkin ada aktivitas kecil tapi tak tampak pergerakannya. Lain dengan saat masih satu tujuan dulu. Entah saya juga tak tahu sebabnya ", sambung Kaji Sukri.
Matta, anak muda yg sedari tadi diam, lirih berargumen,
"Bukankah itu bagus Abah Kaji, semakin banyak gardu semakin rame. Ibarat warung, makin banyak variasi menu akan memberi keleluasaan warga memilih menu nongkrong dimana warga suka !".
Kaji Liba tak bersuara, hanya tersenyum kecil lalu mengedipkan mata. Lidahnya menjilat sisa rasa jahe di sudut bibir. Hembus nafasnya teratur dalam tenang. Yap, beliau sangat tenang malam ini.
Oesse sambil menegakkan punggung, menoleh ke Matta sambil berucap,
"Semangat membangun gardunya sih okee, sah-sah saja. Tapi Mat, saya sedih juga saat dengar ternyata mereka berebutan di tanah seserahan !. Lah runyam itu. Kayak rebutan jabatan atau kedudukan saja. Atau mungkin rebutan peran atau semacam kepentingan ya?"
Oesse melontarkan kalimat bernada longsor. Dari moderat, bercampur sikap keprihatinan, trus sebuah pertanyaan kebingunan eksistensial. Ini ekspresi kalimat menunjukkan kegalauan tingkat dewa atas situasi yang terjadi.
"Kok bisa gitu loh !", sambungnya ditimpali kerutan dahi.
"Itu kerumitan tergelap dari proses yang sudah lewat. Sekalian clearing point nih. Yang dijadikan trikki justru lahan disebelah seserahan yang sudah dicicil wakil dusun Rukun dari donasi para dermawan spontan warga kampung Ngaliman, bahkan dari luar kampung. Itu saat clash-clashnya"
"Sudah tidak usah diungkit-ungkit lagi it. Itu sebelum akhirnya beberapa wakil dusun Guyup memilih jalan sendiri, dengan rencana membuat gardu Guyup Cihuii itu", kata Kaji Sukri meluruskan.
Aku jadi merasa bersalah tidak ikut ngomong. Berbekal minimnya info sejarah gardu jaga yang sampai ke telinga dan inspirasi dari matakuliah Teori Manajemen Konflik, kusampaikan ide,