Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gardu Ronda (2)

23 Juni 2021   06:02 Diperbarui: 23 Juni 2021   07:12 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gardu Jaga (sigitwidjionoarchitects) 

"Ayok, minum dulu wedang jahenya. Hidup itu dinamis. Beda pendapat biasa. Yang tidak boleh, menghakimi pendapat orang lain. Kebenaran dunia itu relatif. Kebenaran Allah itu yang haqiqi".

Perkataan Kaji Sukri 2 hari lalu menenangkan. Kami semua saat itu menyeruput wedang jahe dengan nada harmonis. Bersahut-sahutan seperti hentakan perkusi.

Malam ini sehabis kenduri di rumah salah satu warga, kami berlima secara kebetulan berkumpul kembali. Masih dengan formasi duduk seperti malam itu. Masih dengan sajian wedang jahe hangat. Orang yang sama. Yang beda hanya hari dan warna baju.

Kulirik sesaat Kaji Liba, sambil menyeruput wedang di gelas. Air mukanya serius. Sesaat beliau menarik nafas. Saya terstimulasi membuang nafas. Oesse dan Matta malah bersamaan menghela nafas. Nafas-nafas kami dalam hening pendopo kampung Ngalimin ini menjadi kian jelas. Hanya satu yang tak terdeteksi, Kaji Sukri yang tampak menahan nafas.

Sesaat Kaji Sukri menghempas nafas, Kaji Liba berujar, "Jadi setelah ane amati kondisi di tengah warga saat ini, ane bisa rangkum seperti ini"

"(1) Beberapa orang dusun Guyub mencanangkan pembuatan gardu sendiri, yang bahkan saya dengar diberi nama gardu Guyup Cihuii, yang kemarin siang buat acara rembug dusun Guyup di pendopo ini"

"(2) Sementara sebagian lain yang dari awal berada di panitia pembuatan gardu Rindu, ada yang dari dusun Guyup, dusun Rukun bahkan dusun lain, yang lebih sreg dengan universalisasi fungsi gardu Rindu, tidak dibatasi hanya untuk eksistensi dusun tertentu, saat ini sedang hibernasi. Penggerak organisasinya sedang memanaskan energi kalori kembali untuk berkomitmen menindaklanjuti pembuatan gardu Rindu. Begitukah ?"

Hening. Kami saling pandang. Bahasa kalimat Kaji Liba malam ini lebih tenang, ngebass, tampak berwibawa bahkan intelektual.

"Dengan adanya 2 rencana pembuatan gardu jaga, Apakah warga kedua dusun masih tetap bersenandung lagu Rindu?"

Kami terkaget lagi dengan pilihan diksi Kaji Liba yang puitis menari-nari. Sedang kesambet atau habis kontemplasi, kayaknya.

"Adem ayem saja Ji Lib, mungkin ada aktivitas kecil tapi tak tampak pergerakannya. Lain dengan saat masih satu tujuan dulu. Entah saya juga tak tahu sebabnya ", sambung Kaji Sukri.

Matta, anak muda yg sedari tadi diam, lirih berargumen,

"Bukankah itu bagus Abah Kaji, semakin banyak gardu semakin rame. Ibarat warung, makin banyak variasi menu akan memberi keleluasaan warga memilih menu nongkrong dimana warga suka !".

Kaji Liba tak bersuara, hanya tersenyum kecil lalu mengedipkan mata. Lidahnya menjilat sisa rasa jahe di sudut bibir. Hembus nafasnya teratur dalam tenang. Yap, beliau sangat tenang malam ini.

Oesse sambil menegakkan punggung, menoleh ke Matta sambil berucap,

"Semangat membangun gardunya sih okee, sah-sah saja. Tapi Mat, saya sedih juga saat dengar ternyata mereka berebutan di tanah seserahan !. Lah runyam itu. Kayak rebutan jabatan atau kedudukan saja. Atau mungkin rebutan peran atau semacam kepentingan ya?"

Oesse melontarkan kalimat bernada longsor. Dari moderat, bercampur sikap keprihatinan, trus sebuah pertanyaan kebingunan eksistensial. Ini ekspresi kalimat menunjukkan kegalauan tingkat dewa atas situasi yang terjadi.

"Kok bisa gitu loh !", sambungnya ditimpali kerutan dahi.

"Itu kerumitan tergelap dari proses yang sudah lewat. Sekalian clearing point nih. Yang dijadikan trikki justru lahan disebelah seserahan yang sudah dicicil wakil dusun Rukun dari donasi para dermawan spontan warga kampung Ngaliman, bahkan dari luar kampung. Itu saat clash-clashnya"

"Sudah tidak usah diungkit-ungkit lagi it. Itu sebelum akhirnya beberapa wakil dusun Guyup memilih jalan sendiri, dengan rencana membuat gardu Guyup Cihuii itu", kata Kaji Sukri meluruskan.

Aku jadi merasa bersalah tidak ikut ngomong. Berbekal minimnya info sejarah gardu jaga yang sampai ke telinga dan inspirasi dari matakuliah Teori Manajemen Konflik, kusampaikan ide,

"Apakah tidak lebih efektif pak Kaji Liba, pak Kaji Sukri, pertemukan saja wakil-wakilnya yang berselisih, orangtua arahkan unuk ambil kesepakatan bangun gardu Rindu bersama, apa susahnya. Toh untuk kepentingan bersama juga!".

Sambil menyeruput jahe yang hangat, pak Liba memandangku berlanjut mengedarkan pandangan ke Oesse dan Matta, kemudian berkata,

"Nah itu dia, Sudrun, Oesse dan Matta. Hidup itu bisa sederhana atau ruwet kembali ke persepsi manusianya. Kalian masih muda, serap baik-baik kisah kehidupan yang seperti ini"

"Pemikiran ideal di tataran ide itu tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Dunia sesungguhnya itu sungguh menjadi lebih rumit, karena isi kepala tiap orang berbeda-beda. Apalagi jika masing-masing lebih mengedepankan ego sendiri. Ya ga ketemu konklusi. Menang-menangan. Yang dituju tidsk akan ernah sampai".

"Ada kalimat, ucapan, sikap dan perbuatan yang terekspos secara tersurat. Terbuka dan tampak seperti yang kita baca, dengar, dan lihat. Tetapi yang paling penting untuk difahami adalah makna tersirat. Inilah kontruksi pola pikir terdalam manusia, yang tidak semua bisa menangkap dan memahami. Untuk itu penting sekali saling berkomunikasi yang santun, intens dan berkualitas".

Kami bertiga saling lirik sesaat mencari pemahaman arah kalimat beliau dikaitkan dengan kejadian kisruh gardu. Terlalu filosofis dan artifisial.

Masih tercenung dengar perkataan Kaji Liba, kulihat beliau mendongak ke arah belakang pendopo memanggil Naim, anak muda yang sering mengantar kemanapun beliau bepergian. Naim sedang ngobrol dengan beberapa temannya di serambi samping pendopo.

"Naim, tolong pesankan wedang jahe hangat satu lagi di pak Juzi untuk pak Ustadz Hikmah"

"Ustadz Hikmah dimana pak Kaji?" sela Naima sambil tergopoh dan celingak-celinguk.

"Kamu ga tahu to? Ya sudah pesankan sesuai kata bapak tadi, trus bawa kesini. Ustadz Hikmah dimana itu tidak penting untukmu. Kecuali kamu mau ijab qabul, sudah berani ?"

"Hehehe, belum ada yang mau pak Kaji. Baik saya ke pak Juzi, Siapp segera laksanakan !!!", celoteh Naim lalu semburat ke warung pak Juzi.

Kaji Sukri yang lama terdiam menimpali dengan mimik serius,

"Coba kita berfikir ya, ini perspektif bisa sangat beragam tergantung cara pandang dan skala prioritas"

"Dari aspek kuantitas, 2 gardu di 2 dusun pasti lebih baik daripada 1 saja. Logika matematika mas Matta masuk tuh. Distribusi lokasi gardu akan lebih memudahkan warga menjangkau gardu dan mampu mencover pelayanan lebih merata".

"Itu kondisi idealnya. Yang jadi masalah adalah ternyata gardu dusun Guyup itu di dekat perempatan kampung Ngalimin juga. Tidak jauh dari gardu Rindu yang lebih dahulu dicanangkan".

Kami saling berpandangan mendengar penjelasan kaji Sukri. Jadi ?

Kaji Liba, masih konsisten dalam ketenangannya. Tidak tampak berubah air mukanya. Sekaan tidak ada syak wasangka dan kekuatiran. Memang dalam situasi runyam, ketenangan dibutuhkan agar bisa berfikir objektif.

Apakah di balik niat baik masih terbalut dengan kompetisikah? Membayangkan 2 gardu di lokasi berdekatan, menyisakan TANDA TANYA BESAR.

alifis@corner
Penfui 18:46

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun