Mungkin pemerintah merasa dengan kenaikan yang hanya 1 persen tidak akan begitu membebani masyarakat. Secara psikologis, angka 1 persen itu dianggap sangat kecil, atau bahkan sama dengan tidak ada.
Tapi hal ini bisa keliru jika dilihat dari sisi masyarakat banyak, khususnya kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.
Contoh sederhana tentang perhitungan kenaikan PPN sebagai berikut. Untuk barang yang berharga Rp 1.000.000, dulu si pembeli akan mengeluarkan uang sebesar Rp 1.110.000 (Rp 110.000 untuk PPN).
Dengan perubahan tarif PPN, sekarang (efektif mulai 1 Januari 2025), dan melanjutkan contoh di atas, si pembeli terpaksa mengeluarkan uang jadi Rp 1.120.000.Â
Naik Rp 10.000 itu kalau dikeluarkan berkali-kali dalam satu tahun, tentu banyak juga bukan? Apalagi bila seorang pencari nafkah berfungsi sebagai kepala keluarga dengan menanggung pengeluaran istri dan anak-anak.
Makanya, tak heran kalau kalangan pelaku usaha, juga para pengamat ekonomi, cenderung meminta pemerintah menunda kenaikan PPN tersebut.
Rakyat banyak pun, meski tidak bersuara (karena belum terdengar ada aksi demo dari kelompok masyarakat) pasti keberatan dengan kenaikan PPN itu.
Ada beberapa dampak negatif yang mengemuka dari kenaikan PPN tersebut. Pertama, seperti telah disebutkan di atas, pengeluaran masyarakat akan bertambah untuk mendapatkan barang tertentu.
Memang, untuk bahan makanan yang tergolong 9 bahan pokok (sembako) tidak terkena PPN. Tapi, pakaian dan banyak barang lain yang relatif sering dibutuhkan masyarakat, menjadi objek PPN.
Kedua, kemungkinan besar harga barang sebelum dihitung PPN akan ikut-ikutan naik, karena harga bahan bakunya telah bertambah akibat kenaikan PPN.
Ketiga, sejalan dengan kenaikan harga barang, konsekuensinya adalah terjadinya inflasi dan sekaligus daya beli masyarakat akan menurun.Â