Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

PPN 12% Perlebar Kesenjangan dan Korbankan Pertumbuhan

22 November 2024   08:02 Diperbarui: 22 November 2024   08:18 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto MNC Media, dimuat idxchannel.com

Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa kena pajak. 

Pajak ini dikenakan dari produsen hingga ke konsumen akhir. Secara teknis, PPN adalah pajak yang dibayar oleh konsumen akhir saat membeli barang atau jasa.

Meski dibebankan pada konsumen akhir, tugas memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah kewajiban para penjual yang ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Makanya, PPN disebutkan juga sebagai Pajak Tidak Langsung. Adapun contoh pajak langsung adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor yang dibayar langsung oleh wajib pajak ke kas negara (melalui bank yang ditunjuk).

Masalahnya, PPN tidak membeda-bedakan orang kaya dan yang tidak mampu. Semua yang berbelanja barang tertentu, akan terkena pajak tanpa pandang bulu.

Sedangkan PBB jelas hanya yang punya tanah dan bangunan yang terkena kewajiban. Mereka yang tinggal di rumah kontrakan tak perlu membayar.

Itupun di DKI Jakarta untuk rumah yang nilainya di bawah jumlah tertentu dibebaskan dari tagihan PBB.

Nah, saat ini media massa banyak yang mengulas tentang akan dinaikkannya tarif PPN yang menimbulkan pro dan kontra, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Kenaikan PPN  dari sisi pemerintah tentu sangat diperlukan dalam rangka menambah penerimaan negara. Dengan beban pengeluaran yang begitu besar, pemerintah membutuhkan penerimaan tambahan.

Jadi, meskipun kenaikan PPN hanya 1 persen, yakni dari 11 persen ke 12 persen, tapi nilainya secara rupiah cukup signifikan. Hal ini karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, sehingga akumulasi PPN-nya bernilai raksasa.

Mungkin pemerintah merasa dengan kenaikan yang hanya 1 persen tidak akan begitu membebani masyarakat. Secara psikologis, angka 1 persen itu dianggap sangat kecil, atau bahkan sama dengan tidak ada.

Tapi hal ini bisa keliru jika dilihat dari sisi masyarakat banyak, khususnya kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.

Contoh sederhana tentang perhitungan kenaikan PPN sebagai berikut. Untuk barang yang berharga Rp 1.000.000, dulu si pembeli akan mengeluarkan uang sebesar Rp 1.110.000 (Rp 110.000 untuk PPN).

Dengan perubahan tarif PPN, sekarang (efektif mulai 1 Januari 2025), dan melanjutkan contoh di atas, si pembeli terpaksa mengeluarkan uang jadi Rp 1.120.000. 

Naik Rp 10.000 itu kalau dikeluarkan berkali-kali dalam satu tahun, tentu banyak juga bukan? Apalagi bila seorang pencari nafkah berfungsi sebagai kepala keluarga dengan menanggung pengeluaran istri dan anak-anak.

Makanya, tak heran kalau kalangan pelaku usaha, juga para pengamat ekonomi, cenderung meminta pemerintah menunda kenaikan PPN tersebut.

Rakyat banyak pun, meski tidak bersuara (karena belum terdengar ada aksi demo dari kelompok masyarakat) pasti keberatan dengan kenaikan PPN itu.

Ada beberapa dampak negatif yang mengemuka dari kenaikan PPN tersebut. Pertama, seperti telah disebutkan di atas, pengeluaran masyarakat akan bertambah untuk mendapatkan barang tertentu.

Memang, untuk bahan makanan yang tergolong 9 bahan pokok (sembako) tidak terkena PPN. Tapi, pakaian dan banyak barang lain yang relatif sering dibutuhkan masyarakat, menjadi objek PPN.

Kedua, kemungkinan besar harga barang sebelum dihitung PPN akan ikut-ikutan naik, karena harga bahan bakunya telah bertambah akibat kenaikan PPN.

Ketiga, sejalan dengan kenaikan harga barang, konsekuensinya adalah terjadinya inflasi dan sekaligus daya beli masyarakat akan menurun. 

Apalagi di tengah banyaknya PHK seperti saat ini, sebagian masyarakat ibarat "jatuh tertimpa tangga". Harga barang naik ketika penghasilannya turun tajam

Keempat, akan memperlebar kesenjangan atau ketimpangan sosial. Hal ini karena bagi orang kaya, kenaikan PPN tidak akan menurunkan hasrat berbelanja, sementara masyarakat kelas bawah akan "berpuasa".

Kesenjangan sosial yang makin lebar, jika tak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, bisa menimbulkan chaos.

Kelima, dengan kelesuan ekonomi karena turunnya daya beli masyarakat, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah berpotensi dikorbankan.

Maka, sungguh bijak bila pemerintah mau meninjau ulang keputusannya untuk menaikkan tarif PPN terhitung 1 Januari 2025.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun