Apakah masyarakat tidak lagi sensitif dan menganggap memang sudah seharusnya pebisnis jadi kalangan yang mayoritas di lembaga terhormat itu?
Dominasi politisi yang terafiliasi dengan bisnis menjadi indikasi bahwa antara partai politik dan pebisnis terdapat hubungan yang saling menguntungkan, atau biasa disebut dengan simbiosis mutualisme.
Faktor biaya politik yang kian mahal membuat partai mau tak mau butuh figur yang berdompet tebal, dan itu yang dimiliki oleh pebisnis yang tergiur terjun ke dunia politik.
Kalau pun ada pebisnis yang belum tergiur, pihak partai biasanya akan berusaha merayu, dengan menjelaskan apa saja keuntungan yang mungkin diperoleh pebisnis yang bergabung dengan partai.
Dilain pihak, para pebisnis memang membutuhkan backing atau perlu perlindungan agar usahanya tidak terganggu oleh birokrasi yang rumit, atau oleh regulasi yang tumpang tindih dan berpotensi multitafsir.
Maka, terjadilah konsolidasi atau kolaborasi antar elite partai dengan pebisnis yang usahanya cepat berkembang karena operasinya cenderung bercorak oligarki.Â
Kondisi di atas sangat rawan terjadinya konflik kepentingan, yang mengintai saat anggota DPR pebisnis masuk di komisi tertentu di DPR yang cocok atau berhubungan dengan bisnis anggota legislatif tersebut.
Dikhawatirkan, pebisnis yang saat kampanye begitu akrab dengan rakyat, setelah terpilih tidak menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Jarak antara rakyat dan wakilnya akan makin jauh. Hal ini mengindikasikan demokrasi yang sangat transaksional atau perburuan rente.
Akhirnya, fungsi publik dalam penyusunan legislasi malah dijadikan sebagai sarana untuk mempertahankan kekayaan.Â
Jelas sekali, potensi konflik kepentingan ini semakin tinggi dengan adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR.