Di berbagai kantor, baik milik pemerintah maupun swasta, banyak kita mendengar atau melihat sendiri sepak terjang bos yang berselera cabul.Â
Kebetulan, saya lumayan lama bekerja di kantor pusat sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Kantor cabangnya tersebar di berbagi penjuru tanah air.
Saya pernah menjadi anggota tim yang ikut memeriksa kasus yang diduga melibatkan pejabat level kepala cabang ke atas.Â
Tim yang dipimpin oleh Kepala Divisi Human Capital dan Kepala Satuan Kerja Audit Internal ini, setelah melakukan pemeriksaan, akan memberikan rekomendasi kepada Direksi.
Berikutnya, Direksi yang akan memutuskan apa jenis hukuman jabatan bagi pejabat yang terbukti bersalah. Hukumannya bisa sekadar peringatan tertulis hingga pemecatan.
Nah, berdasarkan pengalaman di atas, saya menyimpulkan bahwa ada dua kasus yang paling "laris", dalam arti paling banyak muncul atau paling sering terjadi.
Kedua jenis kasus tersebut adalah kasus korupsi dengan segala macam variannya (yang menyebabkan kerugian perusahaan dan kerugian nasabah atau mitra kerja) dan jenis kasus perbuatan asusila.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas kasus korupsi, tapi lebih terfokus pada kasus asusila. Itupun saya tulis secara umum, tidak akan spesifik mengarah ke orang tertentu.
Pejabat yang berbuat asusila itu, untuk mudahnya, pada uraian berikutnya saya tulis sebagai pejabat cabul. Pengertian cabul di sini bisa macam-macam.
Ada yang sekadar suka ngomong porno atau nonton film porno. Ini mungkin relatif ringan, meskipun hobi ini bisa berbahaya kalau jadi kecanduan.Â
Ada yang secara penampilan terlihat alim. Tapi ternyata punya selingkuhan yang bukan anak buahnya dan bukan pula nasabahnya.Â
Ada bos pria yang melakukan pelecehan seksual dari tahap ringan hingga berat kepada anak buah wanita yang berwajah cantik atau berpenampilan menarik.
Anak buah yang dilecehkan ini ada yang masih single dan ada pula yang punya suami. Bagi yang punya suami, ancaman keretakan rumah tangga sangat mungkin terjadi.
Tapi, ada pula anak buah wanita yang memang berkarakter "gatal". Orang yang seperti ini tidak merasa dilecehkan, malah merasa mampu mengeruk keuntungan dari si bos yang royal.
Yang parah tentu saja mereka yang merasa jadi korban pelecehan hingga mengalami trauma, bahkan depresi. Tentu, konsentrasinya dalam bekerja jadi jauh berkurang.
Ada lho, korban pelecehan seksual yang hidupnya berantakan, karena dia memilih resign. Korban ini ibarat jatuh tertimpa tangga, karena setelah tak bekerja, malah diceraikan suaminya.
Ada pula kasus bos yang amit-amit (meskipun hanya satu-dua orang saja yang terungkap) yang berperilaku tertarik pada laki-laki (homoseks). Atau mungkin juga biseksual.
Saya ingat, ada si homo yang naksir supir dinas nya sendiri, membuat si supir jadi ketakutan. Awalnya hanya disuruh memijat badan si bos. Lama-lama jadi gitu deh.
Justru jika ada pejabat yang homo, relatif sulit terungkap karena tidak banyak yang mencurigai. Biasanya kalau ada yang merasa jadi korban dan berani melaporkan, baru terungkap kasusnya.
Nah, soal keberanian melaporkan ini yang rada sulit karena faktor relasi kuasa. Pelaku yang juga sekaligus menjadi atasan korban punya kuasa untuk mengancam atau mengintimidasi.
Akibatnya, korban jadi enggan atau takut melaporkan, mungkin juga karena malu bila kasusnya tersebar luas dan menjadi gunjingan teman-temannya.
Bisa pula korban tidak mempermasalahkan kasusnya, karena diguyur uang tutup mulut. Ini bisa membuat pelaku semakin sering melakukan aksi cabulnya.
Untunglah, dengan munculnya keseriusan Direksi di perusahaan tempat saya bekerja untuk mengembangkan Whistle Blowing System (WBS), kasus pejabat cabul banyak yang dilaporkan.
WBS adalah sistem atau mekanisme yang memudahkan seorang pekerja untuk melaporkan informasi yang terkait dengan dugaan pelanggaran yang terjadi di lingkungan tempatnya bekerja.
Dulu, sebelum ada mekanisme seperti itu, pekerja bisa saja mengirim surat kaleng (tanpa data pengirim), yang malah banyak berupa fitnah.
Adapun WBS, identitas pelapor sebagai whistleblower sangat dirahasiakan. Di tempat saya bekerja, direktur utama yang memimpin langsung tim yang menangani WBS.
Tim WBS ini lebih mementingkan materi laporan, bukan siapa pelapornya. Progress laporan juga bisa dipantau si pelapor, sampai di mana penanganannya.
Tanpa menyebut nama-nama terkait, tim WBS menyampaikan kepada pekerja tentang jumlah laporan yang masuk setiap bulannya, dan berapa yang terbukti kebenarannya.Â
Berdasarkan pengalaman saya, laporan WBSÂ yang masuk ke nomor ponsel khusus yang dipegang oleh Direktur Utama, setelah didalami sebagian besar memang terbukti.
Nomor ponsel khusus tersebut sering disampaikan kepada semua pekerja, agar mereka mengetahui dan memanfaatkannya bila diperlukan.
Tak heran, banyak bos cabul yang tersungkur dan dijatuhi hukuman jabatan, berkat efektifnya WBS. Ini diharapkan menjadi efek jera bagi yang lain.
Jika ada kasus cabul yang "suka sama suka", yang menjadi pelapor bisa istri si bos, suami selingkuhan bos, atau pekerja lain yang mengetahui.
Jadi, dalam menyikapi rayuan bos yang mengarah ke perbuatan asusila, menurut saya, pekerja yang dirayu harus tegas menolak. Kalau merasa terancam, jangan takut melaporkan melalui WBS.
Bagaimana kalau yang jadi pelaku adalah orang nomor satu, umpamanya direktur utama? Ini sebaiknya pelaporannya melalui saluran hukum.
Syukur-syukur di instansi saluran hukum ada mekanisme WBS-nya, agar kerahasiaan pelapor tetap terjamin.Â
Harapannya, semua kita, termasuk mereka yang berkuasa, adalah orang-orang yang punya akhlak mulia dan menjauhi perbuatan asusila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H