Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tutupnya Kantor Bank Belum Tentu Bangkrut, Jangan Cepat Percaya Isu

4 Juni 2024   06:47 Diperbarui: 4 Juni 2024   06:47 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi antre ambil uang|dok. ist/koransulindo.com

Isu yang bertujuan mengajak masyarakat untuk ramai-ramai menarik semua tabungannya di bank, yang akhir-akhir ini sempat viral, perlu dicermati secara cerdas. 

Maksudnya, kita jangan percaya begitu saja. Lakukan check and recheck terlebih dahulu, siapa tahu argumen yang dipakai si penyebar isu, bukan hal yang valid atau bukan dari sumber terpercaya.

Soalnya, dilihat dari sisi ekonomi makro, isu itu sangat berbahaya. Bahkan, kalau ajakan tersebut ditindaklanjuti oleh orang banyak, akan bisa melumpuhkan perekonomian nasional.

Betapa tidak. Jika mayoritas nasabah dari suatu bank secara serentak mengambil uangnya, bank besar yang paling sehat pun akan kelimpungan.

Lalu, jika itu menimpa beberapa bank papan atas sekaligus, dampaknya meluas ke mana-mana, yang disebut sebagai efek domino.

Bukankah dana yang disimpan masyarakat di suatu bank, oleh bank tersebut disalurkan sebagai kredit kepada nasabah yang sedang membutuhkan dana untuk usahanya atau untuk tujuan lain.

Nah, ketika penabung ramai-ramai menarik dana dalam jumlah besar, pada saat bersamaan bank tak mungkin seketika menagih pengembalian dana dari nasabah kreditnya.

Bank lazimnya hanya menahan kas sekitar beberapa persen saja dari total dana yang disimpan semua nasabah. Dana simpanan itu bisa dalam bentuk giro, deposito, atau tabungan.

Tujuan bank menahan kas (uang tunai) adalah memenuhi permintaan penabung yang akan mengambil uangnya dalam kondisi normal.

Kondisi orang secara massal menarik uang di bank, jelas kondisi yang tidak normal dan disebut sebagai rush money. Ini yang terjadi pada krisis moneter di Indonesia tahun 1998.

Terkait isu yang beredar baru-baru ini, adalah berita tentang orang yang mengaku tabungannya hilang begitu saja, padahal ia tidak melakukan transaksi apa-apa. 

Berita seperti itulah yang mendasari munculnya ajakan agar masyarakat ramai-ramai menarik tabungannya di bank, agar tidak menjadi korban kehilangan saldo tabungan.

Tapi, bila ditelusuri dari berita di media massa yang mengutip penjelasan pihak bank, kasus tersebut dinilai sebagai hoaks. 

Contohnya, CNN Indonesia (26/4/2024) memuat tanggapan salah satu bank yang diisukan, yakni BRI. Menurut manajemen BRI, berita uang hilang di BRI merupakan informasi yang menyesatkan.

BRI akan mengambil tindakan hukum terhadap penyebar informasi hoaks yang viral di media sosial tersebut.

Lalu, ada juga berita di bank lain yang bukan hoaks seperti terjadi di BTN. Bank ini bahkan sampai didemo oleh beberapa nasabahnya di depan kantor pusat BTN.

Ternyata, menurut berita CNN Indonesia (8/5/2024), demo itu dilakukan mereka yang tertipu oleh oknum pekerja eks BTN. Pihak BTN siap untuk menempuh jalur hukum.

Tentu, hikmahnya agar nasabah harus berhati-hati dalam menyetor uang, harus melalui pembukuan resmi dalam sistem perbankan dan menyimpan bukti setoran yang sah.

Ada lagi berita tentang bank yang menutup beberapa kantor cabangnya, dan nasabah di kantor tersebut dipindahkan ke cabang lain terdekat. Relokasi kantor bank sebetulnya hal biasa.

Bagi bank yang punya ratusan kantor (kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas, dan sebagainya), biasa saja kalau beberapa kantor di antaranya merugi.

Jika kantor cabang yang merugi itu setelah dievaluasi dinyatakan tidak prospektif, langkah penutupan kantor menjadi hal yang logis.

Tapi, secara keseluruhan banknya tetap mencatatkan keuntungan. Jadi, banknya tetap berdiri kokoh, dan tidak ada indikasi akan bangkrut.

Intinya, masyarakat tak perlu resah. Memang, jika melihat beberapa indikator perekonomian saat ini, telah terjadi penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing.

Hal itu diiringi dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, yang membuat bank-bank pun juga menaikkan suku bunganya.

Dampak berikutnya, dengan bunga yang tinggi, diduga akan terjadi kenaikan kredit macet perbankan, karena nasabah peminjam tidak kuat menanggung beban bunga.

Di lain pihak, bank harus  memberikan bunga yang lebih tinggi pula untuk nasabah penyimpan dana, agar nasabah tidak mengambil dananya. 

Ibaratnya, bank terkena pukulan dari dua sisi. Pendapatan bunga dari peminjam menurun dan biaya bunga untuk penyimpan menaik.

Namun, kondisi sekarang masih jauh jika dibandingkan dengan menjelang krisis moneter 1998. Ketika itu penurunan nilai rupiah dan kenaikan suku bunga sudah pada level yang gila-gilaan.

Disebut gila-gilaan, karena naiknya beberapa kali lipat, dalam arti ratusan persen. Betul-betul anomali. 

Adapun kenaikan yang sekarang, meskipun bukan hal yang diharapkan, masih dalam batas  yang mampu dikelola, baik oleh kalangan perbankan maupun pemerintah.

Buktinya masih bisa dikelola, Bank Indonesia tidak sampai memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank seperti pada saat krisis moneter 1998.

Lagipula, belajar dari krisis yang lalu, sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi, kalau ada bank yang dilikuidasi, dana para penabung dijamin LPS.

Jadi, sekali lagi, jika ada isu yang mengimbau masyarakat untuk segera menarik uangnya di bank, harus dicermati terlebih dahulu.

Jangan-jangan tujuannya memang untuk membuat kondisi jadi chaos. Maksudnya, ada agenda politik tersembunyi di balik itu.

Bahwa ada bank yang bangkrut, tentu tidak dapat dibantah. Tapi, itu harus dilihat case by case, dan rata-rata akibat risiko bisnis yang tidak termitigasi dengan baik.

Namun, bank yang bangkrut bukan bank berkategori sistemik atau bank besar yang punya nasabah jutaan orang. Jika dibaca penjelasan LPS, yang dilikuidasi adalah kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

BPR adalah bank skala kecil yang biasanya beroperasi di kota-kota kecamatan. BPR yang bangkrut tak lebih dari satu persen dari total 1.566 BPR yang ada di Indonesia per Maret 2024 (Kompas.id, 29/5/2024).

Kita harapkan kondisi perekonomian nasional akan semakin baik di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun