Tapi, secara keseluruhan banknya tetap mencatatkan keuntungan. Jadi, banknya tetap berdiri kokoh, dan tidak ada indikasi akan bangkrut.
Intinya, masyarakat tak perlu resah. Memang, jika melihat beberapa indikator perekonomian saat ini, telah terjadi penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing.
Hal itu diiringi dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, yang membuat bank-bank pun juga menaikkan suku bunganya.
Dampak berikutnya, dengan bunga yang tinggi, diduga akan terjadi kenaikan kredit macet perbankan, karena nasabah peminjam tidak kuat menanggung beban bunga.
Di lain pihak, bank harus  memberikan bunga yang lebih tinggi pula untuk nasabah penyimpan dana, agar nasabah tidak mengambil dananya.Â
Ibaratnya, bank terkena pukulan dari dua sisi. Pendapatan bunga dari peminjam menurun dan biaya bunga untuk penyimpan menaik.
Namun, kondisi sekarang masih jauh jika dibandingkan dengan menjelang krisis moneter 1998. Ketika itu penurunan nilai rupiah dan kenaikan suku bunga sudah pada level yang gila-gilaan.
Disebut gila-gilaan, karena naiknya beberapa kali lipat, dalam arti ratusan persen. Betul-betul anomali.Â
Adapun kenaikan yang sekarang, meskipun bukan hal yang diharapkan, masih dalam batas  yang mampu dikelola, baik oleh kalangan perbankan maupun pemerintah.
Buktinya masih bisa dikelola, Bank Indonesia tidak sampai memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank seperti pada saat krisis moneter 1998.
Lagipula, belajar dari krisis yang lalu, sekarang sudah dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi, kalau ada bank yang dilikuidasi, dana para penabung dijamin LPS.