Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Kelas Menengah, Gaya Hidupnya Bisa Bikin Goyah

4 Maret 2024   06:48 Diperbarui: 4 Maret 2024   06:54 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. Thinkstockphotos.com, dimuat oleh Kompas.com

Jujur saja, saya sebetulnya belum mengetahui definisi yang baku tentang kelas menengah, atau kriteria apa yang digunakan dalam menentukan kelas seseorang.

Saya menggunakan pemahaman atau logika saya, bahwa mereka yang punya pekerjaan tetap di lembaga yang mapan, baik di pemerintahan maupun swasta, sudah masuk kelas menengah.

Tentu tidak semua pekerja tetap itu layak disebut kelas menengah, karena ada juga pekerja yang berstatus kontrak atau outsourcing yang belum bisa dianggap mapan.

Tapi, mereka yang meraih pekerjaan dengan latar belakang pendidikan lulusan sarjana strata 1, secara umum bisa disebut relatif mapan.

Alasannya, gajinya sudah di atas Upah Minimun Provinsi (UMP), bahkan ada lagi tunjangan dan bonus. Posisinya di kantor pun biasanya di level menengah.

Dengan nilai uang sekarang, kira-kira penghasilan kotor (sebelum dikurangi potongan) warga kelas menengah itu secara total (gaji, tunjangan, dan sebagainya) sekitar Rp 10-20 juta per bulan.

Nah, sekarang saya baru mencari referensi dan menemukan kriteria kelas menengah menurut versi Bank Dunia yang ditulis di katadata.co.id (14/9/2022).

Taksiran saya itu ternyata sejalan dengan kriteria Bank Dunia, yang menyebut kelas menengah sebagai orang dengan pengeluaran Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per orang per bulan.

Jadi, dengan gaji, tunjangan, dan bonus Rp 10 juta hingga Rp 20 juta dan asumsi punya 1 istri dan 2 anak, sudah sinkron dengan kriteria Bank Dunia.

Menurut kaca mata umum, seharusnya dengan penghasilan sebesar itu, kelas menengah akan bisa hidup nyaman. Tidak akan stres gara-gara uang.

Tapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Soal gaya hidup yang cenderung mengikuti kelompok kelas atas, membuat kelas menengah ini relatif susah untuk untuk naik kelas.

Memang, setelah dipotong dengan cicilan pembelian rumah, cicilan pembelian mobil, dan membayar berbagai macam tagihan rutin, kelompok kelas menengah masih menyisakan dana di rekeningnya.

Namun, dana yang ada di tabungan tersebut kadang-kadang tidak mencukupi ketika terjadi pengeluaran non rutin, seperti membayar uang pangkal kuliah anaknya, adanya keluarga yang sakit kronis, dan sebagainya.

Bahkan, ceritanya bisa menjadi lebih susah bagi mereka yang berselera tinggi, yakni yang tergoda untuk punya rumah mewah dan mobil yang berkelas.

Apalagi, ditambah dengan hobi belanja barang branded, maka jelas dananya yang besar bisa ludes. Kalaupun dibeli secara kredit, cicilan bulanannya juga besar.

Jadi, seandainya penghasilan mereka naik karena mendapat promosi jabatan di kantornya, kenaikan itu seakan-akan amblas karena ditelan oleh peningkatan konsumsinya.

Nah, bagi kelas menengah yang masih setia dengan gaya hidup hemat, relatif bebas dari stres soal keuangan. Mereka hepi-hepi saja naik kendaraan umum yang tarifnya murah.

Mereka juga tidak gengsi berobat dengan memanfaatkan kartu BPJS, menyekolahkan anak di sekolah negeri biasa, bukan di sekolah eksklusif untuk anak orang kaya.

Jelaslah, goyah atau tidaknya kelas menengah dalam mengarungi kehidupan, lebih banyak tergantung pada gaya hidup yang dianutnya.

Namun, terlepas dari gaya hidup, harus diakui bahwa mereka yang dinilai orang lain sebagai warga kelas menengah, perlu punya dana khusus yang diniatkan untuk tujuan sosial.

Soalnya, mereka yang masuk kelas menengah sering jadi sasaran untuk dimintai sumbangan, mulai dari dana untuk acara RT hingga teman-teman lama satu angkatan sekolah yang mau reuni.

Belum lagi jika dihitung banyaknya orang lain yang "pinjam dulu seratus", juga yang perlu membantu kerabat atau familinya yang hidup berkekurangan.

Tapi, begitulah konsekuensi menjadi warga kelas menengah. Ya, hitung-hitung anggap saja donasi sosial itu mirip dengan donasi untuk rumah ibadah, yakni sebagai bagian dari "investasi akhirat".

Lalu, apa yang perlu dibenahi bagi warga kelas menengah yang mengalami kesulitan dalam mengelola keuangannya?

Pertama, coba buat daftar pengeluaran yang bersifat rutin setiap bulannya. Kemudian, catat pula pengeluaran yang bersifat rutin semesteran dan tahunan.

Jangan lupa untuk mencatat pengeluaran yang sifatnya insidentil, kebutuhan darurat atau kebutuhan yang tidak terduga. Termasuk pula di sini belanja atas barang yang bukan kebutuhan pokok.

Teliti semua pengeluaran di atas, lalu dipilah-pilah mana pos pengeluaran yang bisa dicoret, dan mana yang bisa dikurangi frekuensi atau jumlah rupiahnya.

Frekuensi main ke mal, makan-makan di restoran, dan nonton film di bioskop, adalah contoh pengeluaran yang seharusnya bisa dikurangi secara signifikan.

Tak perlu pula tiap sebentar ganti handphone. Laptop pun misalnya masih bisa digunakan, tak perlu diganti hanya karena sudah muncul seri baru yang lebih canggih.

Jalan-jalan ke destinasi wisata, baik dalam negeri, apalagi luar negeri, juga perlu dikurangi. Tak usah cemburu dengan teman yang sering posting foto dan videonya di media sosial saat berwisata

Jika gaya hidup seperti itu tidak dikoreksi, akan gampang sekali membuat warga kelas menengah goyah kehidupannya, dalam arti terjerumus dalam ketidakstabilan keuangan. 

Kedua, mereka yang masih aktif bekerja, jika ingin nyaman di usia pensiun, wajib menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi, tapi hati-hati jangan tertipu investasi bodong.

Jenis investasi seperti membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah atau reksadana yang dikelola oleh perusahaan jasa keuangan yang kredibel, merupakan pilihan yang baik.

Menyisihkan dana artinya dilakukan di depan atau di saat menerima penghasilan, bukan di belakang jika kebetulan masih ada dana yang tersisa.

Meskipun kelas menengah adalah kelas yang tidak layak menerima bantuan sosial, tapi perlu diselamatkan untuk digiring menerapkan gaya hidup yang produktif.

Maksudnya, jangan sampai terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Perlu dicatat, karena jumlahnya yang banyak, kelas menengah yang kuat akan menjadi penopang kekokohan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun