Belum lagi jika dihitung banyaknya orang lain yang "pinjam dulu seratus", juga yang perlu membantu kerabat atau familinya yang hidup berkekurangan.
Tapi, begitulah konsekuensi menjadi warga kelas menengah. Ya, hitung-hitung anggap saja donasi sosial itu mirip dengan donasi untuk rumah ibadah, yakni sebagai bagian dari "investasi akhirat".
Lalu, apa yang perlu dibenahi bagi warga kelas menengah yang mengalami kesulitan dalam mengelola keuangannya?
Pertama, coba buat daftar pengeluaran yang bersifat rutin setiap bulannya. Kemudian, catat pula pengeluaran yang bersifat rutin semesteran dan tahunan.
Jangan lupa untuk mencatat pengeluaran yang sifatnya insidentil, kebutuhan darurat atau kebutuhan yang tidak terduga. Termasuk pula di sini belanja atas barang yang bukan kebutuhan pokok.
Teliti semua pengeluaran di atas, lalu dipilah-pilah mana pos pengeluaran yang bisa dicoret, dan mana yang bisa dikurangi frekuensi atau jumlah rupiahnya.
Frekuensi main ke mal, makan-makan di restoran, dan nonton film di bioskop, adalah contoh pengeluaran yang seharusnya bisa dikurangi secara signifikan.
Tak perlu pula tiap sebentar ganti handphone. Laptop pun misalnya masih bisa digunakan, tak perlu diganti hanya karena sudah muncul seri baru yang lebih canggih.
Jalan-jalan ke destinasi wisata, baik dalam negeri, apalagi luar negeri, juga perlu dikurangi. Tak usah cemburu dengan teman yang sering posting foto dan videonya di media sosial saat berwisata
Jika gaya hidup seperti itu tidak dikoreksi, akan gampang sekali membuat warga kelas menengah goyah kehidupannya, dalam arti terjerumus dalam ketidakstabilan keuangan.Â
Kedua, mereka yang masih aktif bekerja, jika ingin nyaman di usia pensiun, wajib menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi, tapi hati-hati jangan tertipu investasi bodong.