Perlu diketahui, saya dan teman yang bertamu itu sama-sama satu direktorat (artinya direktur yang jadi atasan saya, juga atasan si kepala divisi baru ini).
Tentu, wajar saja ia bertanya bagaimana karakter direktur yang jadi bos kami, lalu apa kiat agar efektif dalam berkomunikasi dengan si bos.
Kalau boleh saya menilai diri saya sendiri, mungkin saya tidak berlaku sombong kepada seorang kepala divisi yang masih baru. Soalnya saya menjawab dengan baik semua pertanyaannya.
Tapi, yang kemudian saya baru menyadarinya, barangkali gaya saya berbicara terkesan menggurui, karena itu tadi, saya merasa lebih senior.
Nah, apa yang terjadi 6 bulan kemudian, betul-betul menyadarkan saya, bahwa tamu yang saya anggap junior itu adalah seorang rising star dan kariernya melesat sangat cepat.
Ya, 6 bulan setelah saya "mengguruinya", si junior itu disahkan sebagai direktur dalam suatu acara rapat umum pemegang saham.
Celakanya, saya yang sudah sekian tahun menjadi kepala divisi, sekarang punya bos baru, yakni si "junior" itu tadi.
Maka, saya jadi malu diri, kalau saya ingat gaya saya ketika dengan penuh percaya diri memberi petuah bagaimana menjadi seorang kepala divisi yang baik.
Terlepas dari adanya politicking di kantor, kepala divisi yang dipromosikan jadi direktur itu memang punya rekam jejak yang hebat.
Jadi, ketika ia minta pendapat atau minta nasihat, sebetulnya hanya sekadar untuk menjalin silaturahmi saja. Hanya saya saja yang merasa ge-er atau seolah merasa disanjung.
Maka, setelah saya pikir-pikir, kita perlu memberikan nasihat tanpa terkesan menggurui, meskipun ada teman yang senjaga datang untuk minta nasihat.