Tulisan Kompasianer Merza Gamal dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw di Kompasiana (28/9/2023), sungguh seakan "menampar" muka saya.
Pesan moral yang disampaikan Merza adalah agar kita membuang jauh-jauh sifat sombong. Tentu, pesan tersebut sangat penting dan saya sepenuhnya setuju.
Ada bagian dari tulisan tersebut yang mengingatkan saya dengan pengalaman saya sendiri sekitar 8 tahun lalu.Â
Merza mengisahkan seorang guru yang baru saja memberikan nasihat kepada beberapa orang yang mendatanginya. Sang guru yang bijaksana ini memang sering dimintai nasihat.
Sebetulnya, sang guru telah menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Hanya saja, setelah itu beliau dirasuki perasaan sombong karena nasihatnya diterima dengan baik oleh tamu-tamunya.
Sebagai "hukuman" atas kesombongannya, sang guru lantas melakukan pekerjaan menyapu lantai, suatu pekerjaan yang kurang layak bagi seorang terhormat seperti sang guru itu.
Nah, sekarang saya ingin mengisahkan pengalaman saya sendiri. Bahwa saya sesekali ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu lantai dan mencuci piring, itu hal biasa saja.
Saya ingin menegaskan bahwa kalau saya menyapu lantai rumah saya, itu tak ada kaitan dengan membuang kesombongan saya sebelumnya. Jadi bukan soal ini yang akan saya elaborasi.
Begini, suatu saat saya kedatangan tamu di ruang kerja saya di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan berskala nasional.
Tamu ini seorang yang baru saja diangkat menjadi kepala divisi. Maksud kedatangannya adalah meminta saran kepada saya sebagai seorang kepala divisi yang sudah dianggap senior.
Perlu diketahui, saya dan teman yang bertamu itu sama-sama satu direktorat (artinya direktur yang jadi atasan saya, juga atasan si kepala divisi baru ini).
Tentu, wajar saja ia bertanya bagaimana karakter direktur yang jadi bos kami, lalu apa kiat agar efektif dalam berkomunikasi dengan si bos.
Kalau boleh saya menilai diri saya sendiri, mungkin saya tidak berlaku sombong kepada seorang kepala divisi yang masih baru. Soalnya saya menjawab dengan baik semua pertanyaannya.
Tapi, yang kemudian saya baru menyadarinya, barangkali gaya saya berbicara terkesan menggurui, karena itu tadi, saya merasa lebih senior.
Nah, apa yang terjadi 6 bulan kemudian, betul-betul menyadarkan saya, bahwa tamu yang saya anggap junior itu adalah seorang rising star dan kariernya melesat sangat cepat.
Ya, 6 bulan setelah saya "mengguruinya", si junior itu disahkan sebagai direktur dalam suatu acara rapat umum pemegang saham.
Celakanya, saya yang sudah sekian tahun menjadi kepala divisi, sekarang punya bos baru, yakni si "junior" itu tadi.
Maka, saya jadi malu diri, kalau saya ingat gaya saya ketika dengan penuh percaya diri memberi petuah bagaimana menjadi seorang kepala divisi yang baik.
Terlepas dari adanya politicking di kantor, kepala divisi yang dipromosikan jadi direktur itu memang punya rekam jejak yang hebat.
Jadi, ketika ia minta pendapat atau minta nasihat, sebetulnya hanya sekadar untuk menjalin silaturahmi saja. Hanya saya saja yang merasa ge-er atau seolah merasa disanjung.
Maka, setelah saya pikir-pikir, kita perlu memberikan nasihat tanpa terkesan menggurui, meskipun ada teman yang senjaga datang untuk minta nasihat.
Pertama, sebutkan bahwa apa yang akan kita sampaikan bukanlah nasihat, tapi mari kita berdiskusi berbagi pengalaman. Maksudnya, kita mengakui ada keseteraan antara kita dan lawan bicara.
Kedua, tekankan bahwa pendapat kita belum tentu cocok dengan tugas yang dihadapi lawan bicara kita. Yakinkan lawan bicara bahwa ia pasti mampu menjalankan apa yang menjadi tugasnya.
Ketiga, ajukan pertanyaan balik ke lawan bicara untuk menggali pengalamannya, agar terkesan kita pun ingin belajar atau dapat nasihat dari perjalanan kariernya.
Intinya, kalau kita terjebak dalam komunikasi satu arah, kita saja yang mendominasi pembicaraan, maka itu layak disebut menggurui. Maka, komunikasi harus dua arah, take and give.
Dengan demikian, kesan menggurui akan hilang, dan jika kelak teman kita itu menjadi bos kita, kita tetap merasa nyaman-nyaman saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H