Pada sistem tertutup, ketua umum partai terlihat sangat berkuasa penuh dalam menyusun daftar calon legislatif beserta nomor urutnya.
Dalam hal ini, nomor urut calon menjadi sangat menentukan, karena jika perolehan suara partai di suatu daerah setara dengan tiga kursi, maka yang terpilih adalah calon nomor urut 1 sampai 3.
Untuk parpol yang di mata publik sudah sangat populer, meskipun kader-kadernya yang dicalonkan tidak begitu terkenal, sistem tertutup lebih menguntungkan.
PDIP merupakan contoh partai yang diduga dipilih karena faktor partainya, bukan faktor individu calon legislatif yang diajukannya di suatu daerah pemilihan.
Terhadap fenomena seperti itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa pemilih memilih calon ibarat membeli kucing dalam karung.
Artinya, pemilih harus percaya saja kepada partai. Kasarnya, jika partai memasang calon yang tak berkualitas namun berani membayar mahal ke partai, itulah risiko bagi para pemilih.
Pendapat tersebut tentu bisa didebat oleh pemilih yang sangat yakin bahwa sistem pengkaderan di suatu partai sudah sangat baik.
Jadi, siapapun yang dijadikan calon oleh suatu parpol, mereka yakin yang bagus-bagus semua, karena sudah memenuhi kriteria.
Di sisi lain, harus diakui, ada pemilih yang tak begitu peduli akan partai, asal ada calon yang menurutnya berkualitas.
Maksudnya, mereka memilih figur yang sesuai kriteria yang mereka inginkan, bukan karena si calon berasal dari partai tertentu.
Nah, masalahnya berapa banyak pemilih yang memilih karena partai, dan berapa banyak yang memilih karena sosok caleg.