Misalnya, bila selama ini calon yang berada pada nomor urut 1 hingga 3 dari suatu partai, lebih banyak mendapat suara, maka bisa ditafsirakan mereka memilih karena partai.
Namun, bila ada caleg yang terpilih, meskipun berada di nomor urut 13, padahal caleg nomor urut 2 tidak terpilih, itu jelas bukan karena faktor partai.Â
Apakah caleg nomor 13 terpilih karena kuat melakukan "serangan fajar" atau karena memang punya program yang bagus, inilah yang perlu didalami lebih jauh.
Logikanya, partai telah mempertimbangkan, yang diletakkan di nomor urut 1 dinilai lebih berkualitas.
Tapi, akan "rusak" bila nomor urut disusun berdasarkan besar kecilnya mahar politik yang disetor seorang caleg kepada partai.
Kesimpulannya, masing-masing sistem punya kelemahan. Sistem proporsional terbuka akan memunculkan politik uang atau yang lebih dikenal dengan istilah serangan fajar.
Tapi, pada sistem proporsional tertutup, politik uangnya lebih kepada mahar politik kepada partai agar dapat nomor peci (nomor kecil), bukan nomor sepatu (nomor besar).
Lalu, bagi pemilih, karena hanya memilih partai, jadi ibarat membeli kucing dalam karung, dalam arti siapa wakil rakyat yang dipilihnya mungkin bukan sosok yang diharapkannya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi sedang ditunggu terkait hal tersebut. Tentunya, sistem yang kelebihannya lebih banyak dan kelemahannya lebih sedikit, itu yang harus digunakan.
Terhadap kelemahan tersebut, bukan hanya didiamkan saja. Tapi peran Badan Pengawas Pemilu harus lebih ditingkatkan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri, menurut berita di media massa, menghendaki sistem tertutup dan sudah menyiapkan kajiannya.