Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) mungkin dalam persepsi banyak orang identik dengan daerah yang dipenuhi oleh urang awak alias orang Minangkabau.
Persepsi itu tidak salah, karena suku Minang merupakan suku yang paling dominan di provinsi yang menganut filosofi "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" itu.
Memang, di Sumbar juga ada orang Jawa, Batak, Mandailing, Tionghoa, dan berbagai suku lainnya yang menetap dan menjadi penduduk Sumbar.
Jangan heran, kalau di beberapa kota di Sumbar, ada gereja dan juga klenteng. Toleransi antar umat beragama berjalan dengan baik di Sumbar.
Tapi, penduduk Sumbar yang bukan orang Minang tersebut bisa juga disebut sebagai bukan warga asli Sumbar, meskipun hak dan kewajibannya sama saja.
Namun, jika disebutkan orang Minang sebagai satu-satunya etnis asli di Sumbar, ini pernyataan yang keliru.
Soalnya, di beberapa tempat di Kabupaten Pasaman yang berbatasan dengan Sumatera Utara, penduduk aslinya bersuku Mandailing.
Berikutnya, yang lebih kentara lagi, ada satu kabupaten di Sumbar yang penduduk aslinya juga bukan orang Minang.Â
Kalau pun di sana ada cukup banyak urang awak, pasti mereka dianggap sebagai para perantau atau pendatang.
Kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Kepualauan Mentawai. Sebelum tahun 1999, Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari Kabupaten Padang Pariaman.
Tanpa bermaksud mendiskriminasi, Kabupaten Mentawai dulu tergolong daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal).
Lokasinya memang relatif jauh dari Padang, Â yakni di tengah Samudera Indonesia. Diperlukan waktu tempuh 10-12 jam naik kapal laut dari Padang untuk sampai di Mentawai.
Namun, frekuensi keberangkatan kapal relatif terbatas. Untunglah pada hari tertentu sekarang sudah ada kapal cepat dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.
Dulu, bagi ASN di Sumbar daratan, jika dimutasi ke Kepulauan Mentawai merupakan sebuah hal yang tidak diharapkan, karenanya dianggap sebagai sebuah "hukuman" atau "dibuang".
Mentawai memang sering terlupakan sebagai bagian dari Sumbar, bahkan bagi sebagian orang Sumbar  sendiri.
Banyak warga Sumbar yang sering bepergian ke mana-mana, tapi malah belum pernah sama sekali ke Mentawai.
Inilah satu-satunya kabupaten yang mayoritas warga aslinya bukan orang Minang, tapi punya suku, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda.
Nah, pada waktu pengesahan UU Sumatera Barat ada kesan bahwa Kepulauan Mentawai menjadi wilayah Sumbar yang terlupakan.
Perlu diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat pada 25 Juli 2022.
Salah satu poin yang diatur dalam UU ini adalah soal falsafah syariat Islam (Kompas.com, 29/7/2022).
Mengingat warga Sumbar biasanya dipersepsikan sebagai masyarakat Minang yang terkenal religius, kelahiran UU tersebut memang sudah sewajarnya.
Namun, tak urung ada juga pendapat lain jika melihat bahwa ada sebagian warga asli Sumbar, meskipun jumlahnya minoritas, yang bukan berbudaya Minang dan tidak beragama Islam.
Makanya, ada yang menilai UU Sumbar pemebentukannya terburu-buru dan minim partisipasi publik, sehingga eksistensi suku Mentawai luput dan menimbulkan kegaduhan (Kompas.id, 22/9/2022).
Tapi, tentu saja Pemprov Sumbar, dengan atau tanpa UU di atas, tidak akan membiarkan tradisi di Mentawai musnah begitu saja.
Bukankah sudah menjadi amanah secara nasional untuk memelihara tradisi lokal di suku dan daerah manapun?
Sekilas tentang sejarahnya, Mentawai baru "ditemukan" setelah tahun 1800 dalam arsip pemerintahan Hindia Belanda (Kompas.com, 15/8/2022) dengan status onderafdeling atau setingkat kecamatan di Karesidenan Padang.
Menjadi kabupaten sejak 1999, Mentawai meliputi 4 pulau besar, yakni Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Sekarang, Mentawai sudah relatif maju dan pariwisatanya juga berkembang karena terkenal bagi penggemar olahraga surfing dari mancanegara.