Dalam bisnis perbankan dikenal istilah "know your customer" (KYC) sebagai sebuah kewajiban bank dalam rangka mengantisipasi adanya transaksi yang tidak wajar atau yang mencurigakan.
Katakanlah ada nasabah bank yang pekerjaannya sebagai pejabat di sebuah instansi pemerintah, tiba-tiba mendapat transfer dalam jumlah sangat besar, maka hal ini perlu dilaporkan ke lembaga yang berwenang.
Lembaga dimaksud adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Laporan dari bank akan didalami PPATK untuk menentukan apakah ada indikasi tindakan pencucian uang (money laundering).
Jadi, jika ada uang hasil korupsi yang mau dicuci, transaksi yang berkaitan  dengan perjudian dan narkoba, atau transaksi untuk mendanai terorisme, yang dilakukan melaui bank, akan mudah ketahuan.
Ketentuan tentang KYC di perbankan tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi sudah merupakan ketentuan internasional.Â
PPATK bisa minta bantuan lembaga sejenis di negara lain untuk mendapatkan informasi kalau ada koruptor di negara kita yang menyimpan uangnya di bank di luar negeri.
Tulisan ini tidak membahas lebih jauh soal KYC, meskipun harus diakui bahwa KYC sangat bermanfaat di perusahaan apapun, tidak hanya di perbankan.
Sebagai contoh, bagi pengusaha di bidang fasihion, dengan mengetahui profil pelanggannya, tentu akan berusaha menyediakan produk yang disukai pelanggannya.
Tapi, selain KYC, manajemen suatu perusahaan jangan pula melupakan Know Your Employee (KYE) atau mengenal para karyawannya sendiri.
Baik di perusahaan yang punya ribuan karyawan atau yang hanya punya beberapa orang saja, KYE sangat relevan.Â
Hanya saja, di perusahaan yang besar dan punya banyak kantor cabang, tentu KYE dimaksud adalah anak buah langsung dari seseorang yang punya jabatan.
Misalnya, ada seorang kepala seksi yang punya anak buah 5 orang, maka kelimanya harus dikenal secara baik, termasuk kehidupan keluarganya.
Lalu, jika seorang kepala bagian membawahi 4 orang kepala seksi, maka keempatnya harus pula dipantau gaya hidupnya.
KYE merupakan salah satu upaya dalam mencegah terjadinya praktik korupsi di sebuah perusahaan.Â
Dalam hal ini, jika gaya hidup seorang karyawan terlalu mewah dibandingkan gajinya, layak untuk diteliti lebih jauh, dari mana si karyawan membiayai gaya hidupnya itu.
Manfaat mengenal karyawan secara baik tidak hanya untuk mendeteksi kemungkinan korupsi, tapi juga untuk mengembangkan karier si karyawan itu sendiri.
Pada dasarnya, seorang atasan yang baik tidak cukup hanya memberi instruksi kepada bawahannya dan kemudian menagih hasil pekerjaannya.
Namun, bagaimana caranya seorang bawahan melaksanakan instruksi, juga perlu diketahui. Apa saja kebiasaannya di kantor, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Atasan perlu lebih awas mata dan telinganya, apa saja keluhan bawahannya, termasuk jika misalnya bawahan tidak happy dengan gaji yang diterimanya.
Jadi, kepekaan seorang atasan dan kemampuannya menerapkan gaya kepemimpinan  yang akrab dengan bawahan, tidak bergaya bossy, akan lebih efektif.
Jika atasan tidak mampu menyelami perasaan bawahannya, maka fenomena yang oleh anak sekarang disebut dengan Quiet Quitting akan terjadi.
Karyawan yang terjangkit quiet quitting, akan bekerja ala kadarnya, hanya sekadar memenuhi job description, atau istilahnya sebagai medioker saja.
Fenomena tersebut sebetulnya sudah terjadi sejak dulu, bahkan bisa jadi dulu lebih parah, terutama yang terjadi di perusahaan milik negara atau milik daerah.
Pola kerjanya cenderung santai dan jumlah karyawan relatif banyak yang sebagian diterima karena ada unsur nepotisme.
Penilaian kinerja karyawan tidak dilakukan secara objektif, tapi berdasarkan kedekatan, sehingga tidak memicu para karyawan untuk bekerja sebaik mungkin.
Justru, mereka yang bekerja bergaya medioker, terhitung masih lumayan. Soalnya, ada lagi yang seolah-olah bekerja, padahal sangat sedikit yang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tugas kantor.
Ketika itu, mereka yang seolah-olah bekerja itu disebut dengan "gertabol" atau gerak tanpa bola. Istilah ini lazim dalam permainan sepak bola dengan tujuan mengecoh lawan.
Sedangkan karyawan yang gertabol, tujuannya mengecoh atasan. Celakanya, atasan tidak merasa terkecoh, karena atasan pun asyik sendiri di ruang kerjanya yang terpisah dari karyawan.Â
Jangan-jangan si bos juga gertabol. Ingat, ini terjadi di perusahaan milik negara zaman dulu, yang belum seprofesional sekarang.
Makanya, jangan heran melihat karyawan yang kerjanya ngobrol dengan temannya sambil mengunyah makanan ringan, membaca koran, menonton televisi, atau main catur.Â
Kalau dibawakan ke era sekarang, mungkin mereka main asyik game, main sosmed di kantor, dengan gaya seolah-olah lagi bekerja.Â
Tapi, kalau sekarang masih ada yang gertabol dan ketahuan sama si bos, maka pasti berimbas pada penilaian kinerja si karyawan, yang ujungnya bisa-bisa tidak mendapat bonus.Â
Namun, untunglah, sekarang kondisi di BUMN jauh lebih baik ketimbang dulu. Tingkat kesejahteraan juga semakin baik, sehingga para karyawan akan malu sendiri jika melakukan qiuet quitting, apalagi melakukan gertabol.
Karyawan pun tak punya kekhawatiran tekena quiet firing. Jika manajemen ingin memecat, akan dilakukan dengan terlebih dahulu memberi peringatan.
Jika karyawan yang diberi peringatan hingga 3 kali masih tidak memperbaiki kesalahannya, barulah diproses pemecatannya.
Para atasan diwajibkan oleh direksi untuk menerapkan prinsip KYE, agar potensi masing-masing karyawan bisa didayagunakan secara optimal.
Tentu, karyawan yang berkembang kariernya, selain akan menguntungkan karyawan, juga menguntungkan perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H