Fenomena tersebut sebetulnya sudah terjadi sejak dulu, bahkan bisa jadi dulu lebih parah, terutama yang terjadi di perusahaan milik negara atau milik daerah.
Pola kerjanya cenderung santai dan jumlah karyawan relatif banyak yang sebagian diterima karena ada unsur nepotisme.
Penilaian kinerja karyawan tidak dilakukan secara objektif, tapi berdasarkan kedekatan, sehingga tidak memicu para karyawan untuk bekerja sebaik mungkin.
Justru, mereka yang bekerja bergaya medioker, terhitung masih lumayan. Soalnya, ada lagi yang seolah-olah bekerja, padahal sangat sedikit yang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tugas kantor.
Ketika itu, mereka yang seolah-olah bekerja itu disebut dengan "gertabol" atau gerak tanpa bola. Istilah ini lazim dalam permainan sepak bola dengan tujuan mengecoh lawan.
Sedangkan karyawan yang gertabol, tujuannya mengecoh atasan. Celakanya, atasan tidak merasa terkecoh, karena atasan pun asyik sendiri di ruang kerjanya yang terpisah dari karyawan.Â
Jangan-jangan si bos juga gertabol. Ingat, ini terjadi di perusahaan milik negara zaman dulu, yang belum seprofesional sekarang.
Makanya, jangan heran melihat karyawan yang kerjanya ngobrol dengan temannya sambil mengunyah makanan ringan, membaca koran, menonton televisi, atau main catur.Â
Kalau dibawakan ke era sekarang, mungkin mereka main asyik game, main sosmed di kantor, dengan gaya seolah-olah lagi bekerja.Â
Tapi, kalau sekarang masih ada yang gertabol dan ketahuan sama si bos, maka pasti berimbas pada penilaian kinerja si karyawan, yang ujungnya bisa-bisa tidak mendapat bonus.Â
Namun, untunglah, sekarang kondisi di BUMN jauh lebih baik ketimbang dulu. Tingkat kesejahteraan juga semakin baik, sehingga para karyawan akan malu sendiri jika melakukan qiuet quitting, apalagi melakukan gertabol.