Selama ini yang membutuhkan verifikasi data NIK memang atas nama lembaga atau institusi. Adapun hasil verifikasi hanya jawaban berupa notifikasi true or false, atau sesuai/tidak sesuai.
Hal itu menggambarkan bahwa masih ada kekhawatiran lembaga atau institusi tentang masih beredarnya NIK yang tidak asli, bukan dari Dukcapil.
Artinya, mungkin masih ada oknum yang coba-coba membuat KTP "tembak" dengan NIK yang aspal (asli tapi palsu).
Sebagai contoh, institusi perbankan pasti menggunakan database NIK dalam rangka untuk mengetahui identitas nasabahnya.
Untuk itu, bank sekarang terpaksa membayar Rp 1.000 setiap kali mengakses NIK dan menjadi pendapatan bagi pemerintah.
Seharusnya, bagi bank tidak ada masalah dengan tarif di atas. Bukankah pemerintah bisa dibilang meniru langkah perbankan?
Seperti diketahui, Fee Based Income (FBI) merupakan salah satu sumber penghasilan yang lazim di dunia perbankan.
Contoh FBI adalah potongan yang dikenakan pada nasabah bila mentransfer uang, baik via ATM maupun via aplikasi di gawainya.Â
Ada bank yang mengenakan Rp 2.500, atau lebih besar lagi. Jika mentransfer ke nasabah bank yang sama, ada yang gratis, tapi ada juga yang kena Rp 1.000.
Intinya, FBI menjadi andalan pendapatan bank saat ini, selain tentunya dari penerimaan bunga atas kredit yang diberikan bank pada nasabahnya.