Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Akses NIK Berbayar, Pemerintah Tergiur Fee Based Income

26 Desember 2022   05:13 Diperbarui: 27 Desember 2022   15:17 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara cek NIK KTP secara online tanpa harus datang ke kantor Dukcapil| Dok Kemendagri via Kompas.com

Isu tentang kebocoran identitas pribadi yang disimpan pada pusat data suatu lembaga atau perusahaan tertentu, sudah beberapa kali terungkap di media massa dan media sosial.

Ada berbagai hal yang diduga menjadi penyebab kebocoran data, antara lain adalah lemahnya sistem penyimpanan data dan masih adanya oknum yang mencuri dan menjual data dengan segala cara.

Tapi, yang tak kalah penting, ternyata kecerobohan atau kelalaian banyak orang yang sangat gampang mengunggah identitasnya di media sosial, juga memicu terjadinya pencurian data.

Ingat waktu awal-awal adanya vaksinasi Covid-19? Betapa banyaknya orang yang dengan bangga memposting sertifikat vaksinnya di media sosial.

Padahal, di sertifikat itu bisa diketahui identitas pribadi orang yang tercantum namanya di situ. 

Mereka mungkin tidak  menyadari, sekali suatu data terposting di dunia maya, sudah sangat sulit menghapus jejak digitalnya.

Soalnya, data seperti itu kemungkinan besar sudah beredar di kalangan peretas data secara global.

Hingga saat ini, para hacker masih banyak yang bergentayangan, dan di dunia maya ternyata sudah biasa adanya semacam forum untuk jual beli data secara ilegal.

Bila kebocoran bukan berasal dari kecerobohan individu, tapi karena pusat data yang dikelola sebuah institusi diserang peretas data, maka mereka yang datanya bocor tidak bisa apa-apa.

Kalau sudah begitu, paling-paling kita hanya bisa berdoa saja, semoga data tersebut tidak dijadikan alat untuk penipuan atau tindakan lainnya yang merugikan kita.

Jelas, harapan kita terhadap pengelola pusat data di institusi manapun sangatlah tinggi, agar aspek keamanan data mereka tidak bisa dibobol.

Salah satu identitas pribadi yang sangat penting adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Demikian pentingnya NIK karena setiap seseorang berurusan dengan pelayanan publik, data NIK merupakan hal yang paling awal yang diminta.

Karena itu, pemerintah berupaya keras agar data NIK semua penduduk Indonesia sudah akurat dan tidak bisa disalahgunakan oleh siapapun. 

Oleh karena itu, tidak semua orang bisa mengakses data NIK yang dikelola Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri).

Hanya lembaga berbadan hukum yang bisa mendapatkan izin untuk mengakses NIK (Kompas.com, 29/6/2022).

Lembaga yang diberi izin tersebut, tugasnya memang berkaitan dengan kebutuhannya dalam rangka memverifikasi kebenaran data seseorang.

Namun demikian, sejak beberapa bulan lalu, akses data NIK tidak lagi gratis, tapi ada biaya yang ditarik pemerintah.

Hanya saja, yang dibebankan biaya adalah lembaga yang bersifat profit motive, seperti perusahaan yang bertujuan mencari laba dari pelanggannya.

Adapun instansi pemerintah, termasuk BPJS dan rumah sakit, tetap bisa mengakses NIK secara gratis.

Jadi, agar masyarakat tidak salah persepsi, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa akses NIK berbayar diberlakukan bukan untuk pribadi.

Selama ini yang membutuhkan verifikasi data NIK memang atas nama lembaga atau institusi. Adapun hasil verifikasi hanya jawaban berupa notifikasi true or false, atau sesuai/tidak sesuai.

Hal itu menggambarkan bahwa masih ada kekhawatiran lembaga atau institusi tentang masih beredarnya NIK yang tidak asli, bukan dari Dukcapil.

Artinya, mungkin masih ada oknum yang coba-coba membuat KTP "tembak" dengan NIK yang aspal (asli tapi palsu).

Sebagai contoh, institusi perbankan pasti menggunakan database NIK dalam rangka untuk mengetahui identitas nasabahnya.

Untuk itu, bank sekarang terpaksa membayar Rp 1.000 setiap kali mengakses NIK dan menjadi pendapatan bagi pemerintah.

Ilustrasi e-KTP|dok. radarbogor.id
Ilustrasi e-KTP|dok. radarbogor.id

Seharusnya, bagi bank tidak ada masalah dengan tarif di atas. Bukankah pemerintah bisa dibilang meniru langkah perbankan?

Seperti diketahui, Fee Based Income (FBI) merupakan salah satu sumber penghasilan yang lazim di dunia perbankan.

Contoh FBI adalah potongan yang dikenakan pada nasabah bila mentransfer uang, baik via ATM maupun via aplikasi di gawainya. 

Ada bank yang mengenakan Rp 2.500, atau lebih besar lagi. Jika mentransfer ke nasabah bank yang sama, ada yang gratis, tapi ada juga yang kena Rp 1.000.

Intinya, FBI menjadi andalan pendapatan bank saat ini, selain tentunya dari penerimaan bunga atas kredit yang diberikan bank pada nasabahnya.

Nah, praktik seperti itulah yang mungkin mengilhami pemerintah untuk mengenakan tarif untuk mengakses NIK.

Apalagi, untuk memelihara sistem yang aman, tentu pemerintah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi lagi polemik soal akses NIK berbayar yang dulu sempat ramai mengemuka di media massa.

Perbankan juga diimbau tidak membebankan tarif NIK kepada nasabah, toh semuanya sudah tetutupi dari FBI yang diterima bank.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun