Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akses Kesehatan Semakin Gampang, Tinggal Pilih yang Mahal atau Murah

8 Februari 2022   06:30 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:21 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelayanan kesehatan bagi pasien rawat inap|dok. Antara Foto/Destyan Sujarwoko, dimuat bisnis.com

"Kesehatan itu mahal", demikian yang sering kita dengar atau baca. Maksudnya, ketika sehat mungkin tidak banyak orang yang menyadari betapa pentingnya menerapkan gaya hidup sehat.

Tapi, begitu mengidap penyakit tertentu, baru sadar bahwa untuk berobat hingga sembuh total, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Makanya kesehatan itu mahal harganya.

Sebetulnya, apakah biaya kesehatan itu memang mahal atau tidak, tentu banyak faktor yang mendasarinya. Selain jenis dan keparahan penyakitnya, tempat berobat juga mempengaruhi.

Soalnya, sekarang banyak rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan yang bagus dengan membidik pasien kelas atas. Di sini tarifnya memang tinggi.

Namun, untuk masyarakat yang ingin biaya murah, sekarang juga gampang mendapat akses kesehatan dengan tersebarnya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Apalagi, sejak adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Dengan iuran kepesertaan yang relatif murah, seharusnya semua orang bisa menjadi peserta.

Tentu, pendaftar harus punya e-KTP dan membuka rekening bank karena mekanisme pembayaran iuran akan didebet dari rekening tersebut.

Adapun besarnya iuran saat ini masing-masing Rp 150.000, Rp 100.000, dan Rp 35.000 untuk kelas I, kelas II, dan kelas III. 

Dengan iuran tersebut, peserta mendapat pelayananan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Kini, peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai sekitar 230 juta jiwa. Artinya, sebagian besar penduduk Indonesia sudah menjadi peserta.

Demikian pula fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, lumayan banyak, sehingga mudah diakses pelayanannya oleh peserta. 

Pada Juli 2021, seperti diberitakan bisnis.com (1/9/2021), BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 22.764 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di seluruh Indonesia.

FKTP tersebut kebanyakan adalah Puskesmas dan Klinik yang akan dikunjungi peserta saat berobat. Jadi, setiap peseta harus memilih FKTP yang diinginkannya.

Jika kondisi pasien membutuhkan pemeriksaan dan konsultasi lebih lanjut di rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya, dokter di FKTP akan memberikan surat rujukan untuk dikirim ke rumah sakit yang sudah jadi mitra BPJS.

Begitulah, meskipun di awal pendirian BPJS Kesehatan pada 2014 cukup banyak masalah yang dihadapi secara sistem operasional, kini kondisinya semakin membaik.

Memang, antrean di puskesmas yang menjadi FKTP biasanya cukup panjang, tapi pengunjung juga sudah mengantisipasinya karena sudah terbiasa. 

Ada juga keluhan pasien yang ingin langsung dilayani rumah sakit besar atau dokter spesialis. Tapi, prosedurnya tidak memungkinkan, tetap melalui rujukan dari FKTP.

Sebetulnya, bila di sebuah puskesmas terlalu banyak peserta yang memilihnya sebagai FKTP, peserta bisa memilih Klinik Pratama yang dekat rumahnya sebagai FKTP.

Lagipula, Klinik Pratama yang sudah menjadi mitra BPJS biasanya akan gigih mencari peserta yang mau menjadikan kliniknya sebagai FKTP.

Soalnya, setiap puskesmas atau klinik akan dibayar oleh BPJS atas dasar jumlah peserta yang terdaftar di sana, yang disebut sebagai kapitasi, meskipun peserta tersebut tidak berobat.

Jika dihitung tarif kapitasi per orang, sebetulnya relatif kecil. Namun, jika di sebuah klinik terdaftar 1.000 orang peserta BPJS, sudah cukup membantu biaya operasional klinik.

Hanya, kalau mengacu pada kondisi di Jakarta, sebagian klinik dan rumah sakit swasta masih belum menerima pasien BPJS. 

Alasannya, yang tahu pasti tentu manajemen masing-masing rumah sakit. Tapi, diduga seperti yang telah disinggung di atas, mungkin karena membidik pasien kelas atas.

Pasien berkantong tebal biasanya enggan atau merasa terganggu bila berobat ke rumah sakit yang dipenuhi antrean pasien BPJS.

Ada juga yang diduga menjadi alasan lain sebuah rumah sakit belum mau bermitra dengan BPJS, konon karena pembayaran dari BPJS adakalanya lama atas tagihan dari RS yang menjadi mitra.

Tapi, ada juga jaringan rumah sakit swasta yang punya beberapa cabang, mendedikasikan salah satu cabangnya sebagai mitra BPJS sebagai wujud tanggung jawab sosialnya.

Sebagai contoh, seorang ibu, sebut saja namanya Tati, yang punya masalah dengan retina mata kirinya. Warga Riau tersebut sudah diperiksa di Pekanbaru dengan saran dokter harus dioperasi, namun Tati masih belum mau dioperasi.

Kebetulan pada Januari 2022 ini, Tati lagi di Jakarta selama satu bulan karena kangen dengan anak, menantu, dan cucunya. 

Tapi, setelah berdiskusi dengan anaknya, Tati merasa mantap untuk operasi mata di Jakarta. Pilihannya ada dua, di RS Cipto dengan fasilitas BPJS Kesehatan atau di sebuah rumah sakit khusus mata milik swasta di Menteng.

Merasa prosesnya akan lama kalau ke RS Cipto, pilihan Tati akhirnya jatuh ke rumah sakit swasta. Setelah diperiksa dokter, ternyata betul, mata Tati harus dioperasi.

Sang dokter bertanya apakah Tati punya jaminan asuransi, yang dijawab Tati bahwa ia punya kartu BPJS Kesehatan. Biaya operasi sekitar Rp 70-80 juta, makanya atas saran dokter sebaiknya dioperasi dengan menggunakan kartu BPJS.

Ternyata,rumah sakit khusus mata yang di Menteng itu, juga punya cabang di Kedoya dan di Tanjung Priuk. Khusus di Tanjung Priuk bisa menerima pasien BPJS.

Nah, akhirnya Tati dioperasi di Tanjung Priuk setelah melewati prosedur standar BPJS dengan meminta rujukan dari sebuah Puskesmas. 

Hanya berselang 10 hari diihitung sejak berobat ke Menteng, Tati sudah dioperasi dengan hasil yang baik. Ternyata tidak sesulit yang diduga meskipun memakai kartu BPJS.

Bahkan, dokter yang mengoperasi Tati di Priuk, sama dengan dokter yang memeriksanya di Menteng, sehingga Tati tidak perlu lagi bercerita dari awal.

Menurut cerita dokter tersebut, kalau Tati memilih operasi di RSCM memang daftar tunggunya bisa lama sekali. Soalnya, orang tidak banyak tahu bahwa rumah sakit swasta yang terkenal mahal itu, punya cabang yang bisa melayani pasien BPJS. 

Sebagai penutup, tak berlebihan rasanya kalau BPJS Kesehatan dianggap sebagai penyelamat bagi banyak orang, meskipun ada kelompok masyarakat kelas menengah ke atas yang gengsi menggunakannya. 

Kesimpulannya, akses kesehatan sekarang ini secara umum semakin gampang. Masyarakat tinggal pilih, yang murah melalui BPJS Kesehatan atau yang mahal di tempat yang memang membidik pasien kelas menengah ke atas.

Melalui BPJS lebih tepat disebut murah, bukan gratis, karena menuntut pesertanya untuk disiplin membayar iuran bulanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun