Alasannya, yang tahu pasti tentu manajemen masing-masing rumah sakit. Tapi, diduga seperti yang telah disinggung di atas, mungkin karena membidik pasien kelas atas.
Pasien berkantong tebal biasanya enggan atau merasa terganggu bila berobat ke rumah sakit yang dipenuhi antrean pasien BPJS.
Ada juga yang diduga menjadi alasan lain sebuah rumah sakit belum mau bermitra dengan BPJS, konon karena pembayaran dari BPJS adakalanya lama atas tagihan dari RS yang menjadi mitra.
Tapi, ada juga jaringan rumah sakit swasta yang punya beberapa cabang, mendedikasikan salah satu cabangnya sebagai mitra BPJS sebagai wujud tanggung jawab sosialnya.
Sebagai contoh, seorang ibu, sebut saja namanya Tati, yang punya masalah dengan retina mata kirinya. Warga Riau tersebut sudah diperiksa di Pekanbaru dengan saran dokter harus dioperasi, namun Tati masih belum mau dioperasi.
Kebetulan pada Januari 2022 ini, Tati lagi di Jakarta selama satu bulan karena kangen dengan anak, menantu, dan cucunya.Â
Tapi, setelah berdiskusi dengan anaknya, Tati merasa mantap untuk operasi mata di Jakarta. Pilihannya ada dua, di RS Cipto dengan fasilitas BPJS Kesehatan atau di sebuah rumah sakit khusus mata milik swasta di Menteng.
Merasa prosesnya akan lama kalau ke RS Cipto, pilihan Tati akhirnya jatuh ke rumah sakit swasta. Setelah diperiksa dokter, ternyata betul, mata Tati harus dioperasi.
Sang dokter bertanya apakah Tati punya jaminan asuransi, yang dijawab Tati bahwa ia punya kartu BPJS Kesehatan. Biaya operasi sekitar Rp 70-80 juta, makanya atas saran dokter sebaiknya dioperasi dengan menggunakan kartu BPJS.
Ternyata,rumah sakit khusus mata yang di Menteng itu, juga punya cabang di Kedoya dan di Tanjung Priuk. Khusus di Tanjung Priuk bisa menerima pasien BPJS.
Nah, akhirnya Tati dioperasi di Tanjung Priuk setelah melewati prosedur standar BPJS dengan meminta rujukan dari sebuah Puskesmas.Â