Kepada semua pembaca tulisan ini, terlebih dahulu izinkan saya untuk mengucapkan "Selamat Tahun Baru 2020". Â Semoga apa yang kita inginkan dapat tercapai.Â
Memang doa menyambut tahun baru selalu standarnya seperti itu. Tercapai semua keinginan atau rencana, semakin sukses, damai, bahagia, dan kata lain yang sejenis.
Tapi berkaca pada pengalaman saya di tahun-tahun sebelumnya, banyak hal yang saya resolusikan yang tidak tercapai, namun oleh Tuhan diganti dengan pencapaian lain yang di luar rencana.
Maka bagi para pembaca yang resolusinya pada tahun 2019, tidak tercapai, jangan buru-buru kecewa. Bahkan kalau kegagalan itu terjadi gara-gara ditolak pihak lain, seperti tidak jadi menikah karena diputuskan kekasih, atau tidak naik pangkat di kantor karena ditolak atasan, jangan mendendam kepada orang lain itu.
Justru kalaupun rasa dendam itu tetap ada, alihkan menjadi dendam yang positif, dengan menjadikannya sebagai titik balik untuk memperoleh sesuatu yang lebih hebat ketimbang resolusi sebelumnya yang tidak tercapai.
Sedikit kilas balik, saya diterima bekerja sebagai staf junior di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang keuangan pada tahun 1986.Â
Dari sekian banyak yang ikut seleksi yang merupakan lulusan S1 dari berbagai perguruan tinggi di tanah air, pada saat itu yang lolos seleksi hanya 13 orang.Â
Kami ber-13 diberi label "angkatan XII" karena sudah ada sebelas angkatan sebelumnya yang masuk program yang di tempat lain disebut sebagai management trainee atau officer development program (ODP).
Salah satu cita-cita saya adalah meraih gelar master di luar negeri. Begitu saya diterima di perusahaan tersebut, saya makin bersemangat karena perusahaan secara rutin setiap tahun membiayai beberapa staf yang lolos seleksi untuk kuliah S2 di bidang yang berkaitan dengan ekonomi dan bisnis di Amerika Serikat (AS), kemudian juga ada yang ke Inggris dan Australia.
Saya dan teman-teman satu angkatan mendapat kesempatan untuk seleksi pada tahun 1991, setelah menghabiskan empat tahun masa kerja.
Meskipun saya berhasil melewati passing grade saat mengikuti Tes Potensi Akademik (TPA), namun akhirnya saya sangat kecewa karena tidak lolos dari tes psikologi.
Saya tidak tahu kenapa saya gagal di tes psikologi. Ada 2 bagian dalam tes ini, yakni tertulis dan wawancara. Dugaan saya saat sesi wawancara, kondisi saya yang baru sembuh dari sakit yang membutuhkan rawat inap selama 2 minggu di sebuah rumah sakit, turut menjadi faktor penyebab. Paling tidak, rasa percaya diri saya mungkin kurang terlihat.
Dari 13 orang tersebut, ada 3 orang yang lolos seleksi. Dua orang dikirim ke AS dan seorang ke Australia. Padahal dalam hati saya merasa tidak kalah dengan ketiga teman saya tersebut. Buktinya, ketika ikut kelas pelatihan selama 3 bulan di tahun pertama kami bekerja, nilai saya Alhamdulillah yang tertinggi.Â
Saya sempat merasa karir saya akan cepat mentok, mengingat senior-senior saya yang sepertinya mendapat fasilitas lewat "jalan tol" adalah mereka yang sudah bergelar master.
Tahun 1992 menjadi masa yang membuat saya hampir putus asa dan sempat terpikir untuk mencari pekerjaan lain. Apalagi bos saya tidak begitu menyukai saya. Beliau terlalu banyak memberikan instruksi, dan tidak semua bisa saya lakukan.
Niat untuk mencari pekerjaan lain, saya urungkan. Soalnya saat itu saya masih rutin setiap bulan melakukan kontrol kesehatan ke seorang dokter spesialis penyakit dalam.Â
Di perusahaan tersebut, kuitansi pembayaran untuk dokter, apotik dan laboratorium, diganti kembali oleh kantor. Jadi kalaupun nanti saya betul-betul pindah kerja, sebaiknya dilakukan setelah betul-betul sehat.
Namun terjadi titik balik dalam karir saya di tahun 1993. Awalnya saya secara tak sengaja dapat kesempatan berbincang-bincang dengan seorang senior yang berbeda divisi dengan saya. Ia relatif sering menulis opini di koran paling terkemuka, Kompas.
Saya yang merasa punya bakat menulis, di sekolah dulu pernah menang lomba mengarang, termotivasi untuk mengikuti jejak senior tersebut. Maka jadilah di tahun itu tulisan saya beberapa kali dimuat halaman opini Kompas.Â
Setelah itu "dunia" saya rasakan berbeda. Bos saya mulai memberikan apresiasi. Saya mendapatkan promosi menjadi wakil kepala bagian.Â
Bahkan pada tahun 1994 saya ikut pelatihan komunikasi bisnis selama 3 bulan di Singapura, dikirim oleh Direksi, bersama belasan senior saya.
Ketika teman-teman saya sudah pulang dari studi S2 di luar negeri, saya tetap bergaul akrab dengan mereka, tanpa rasa minder. Toh juga level jabatan saya sama dengan mereka.
Rasanya saya semakin disayang Tuhan ketika keinginan mengikuti program S2 dengan biaya dinas, tetap berhasil saya raih. Ketika itu di tahun 1996, perusahaan membuka kesempatan bagi karyawan yang memenuhi syarat dan lolos seleksi, untuk ikut S2 di beberapa perguruan tinggi  dalam negeri yang tergolong papan atas.Â
Selama dua tahun, dari 1997 hingga 1999 saya tidak masuk kantor, tapi masuk kampus, dengan tetap menerima gaji. Di lain pihak semua biaya yang berkaitan dengan kuliah di tanggung oleh kantor.
Hal ini sangat saya syukuri, mengingat banyak teman saya yang kuliah S2 dengan biaya sendiri dan ikut program kuliah malam hari atau program kuliah di Sabtu-Minggu.
Meskipun tak ada niat saya untuk adu balap dalam soal karir dengan teman-teman se-angkatan, tapi ternyata saya lebih awal memperoleh promosi pada level-level berikutnya.Â
Justru tiga teman saya yang bergelar master dari luar negeri karirnya terhenti di level kepala bagian atau kepala cabang. Bahkan dua di antaranya mendapat hukuman jabatan karena melakukan fraud.Â
Satu orang teman memang dari dulu, menurut saya, agak "nakal" (metode tes psikologi perlu disempurnakan agar yang punya bibit "nakal" bisa terdeteksi). Sedangkan satu orang lagi sebetulnya orang baik, tapi gara-gara terlalu percaya ke anak buah, malah dikelabui. Sebagai atasan, ia dinilai teledor dan tetap harus bertanggung jawab.
Dengan jabatan yang lebih tinggi, beberapa kali saya dapat kesempatan mengikuti pelatihan singkat berdurasi satu minggu ke luar negeri, antara lain ke Australia, Hongkong, Jepang, AS, dan beberapa negara Eropa.Â
Intinya, dalam bidang apapun, kita jangan terlalu cepat menyerah. Jangan pula gampang menyalahkan orang lain atau menyalahkan kondisi yang di luar kendali kita.
Dendam kepada orang lain?Â
Buang jauh-jauh, jadikan sebagai dendam yang positif, untuk memperbaiki diri sendiri. Karena itulah yang bisa kita kendalikan secara langsung. Kita mau terpuruk atau mau bangkit, sepenuhnya tergantung kita.
Setiap ada rencana yang belum tercapai, atau boleh dikatakan telah gagal, terima dulu kegagalan itu dengan "damai". Terhadap orang lain yang kita anggap sumber kegagalan, maafkan saja.
Setelah itu baru kita menata kembali langkah baru, mencari inspirasi baru sebagai titik balik, sehingga akhirnya berhasil membuktikan bahwa kegagalan itu, seperti kata orang bijak, adalah kesuksesan yang tertunda.
Atau bisa juga bukan kesuksesan yang tertunda, tapi diganti dengan kesuksesan lain yang tak kalah hebat dengan rencana semula yang gagal diwujudkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H