Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Kita Tidak Berhak Memakai Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah?

21 Februari 2016   03:27 Diperbarui: 8 Maret 2023   10:03 12973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan, untuk dikemudian hari tiada lagi tindakan-tindakan penyalahgunaan lambang Bulan Sabit Merah atau pelanggarannya dapat segera di redusir bahkan ditiadakan dari orang atau badan hukum lain yang tidak berhak atau tidak berkepentingan, maka berikut ini kami kemukakan “Sepuluh Alasan Mengapa Orang atau Badan Hukum seperti Yayasan BSMI-TIDAK BERHAK-Menggunakan Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah”, sebagai berikut:

PERTAMA, Indonesia sudah lama memberlakukan UU RI No 59 Tahun 1958 tentang Ikut Sertanya Negara Republik Indonesia Dalam Keempat Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Bahwa UU RI No 59 tahun 1958 ini mengatur penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, maka menjadi ketaatan hukum, moral dan politik bagi semua komponen masyarakat Indonesia untuk wajib menghormati ketentuan UU RI No 59 tahun 1958 itu tanpa kecuali.

Bahwa Indonesia telah menjadi peserta (pihak) dari empat Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan cara aksesi berdasarkan UU RI No 59 Tahun 1958. Keempat Konvensi Jenewa itu yaitu:

  1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949).
  2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).
  3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
  4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12, 1949).

Nah, tentu bagi masyarakat Indonesia, sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional, perlu pula mengetahui bahwa Konvensi Jenewa Tahun 1949 (yang kemudian menjadi UU RI No 59 Tahun 1958) itu, juga merupakan salah satu “Law Makin Treaties” atau perjanjian internasional yang membentuk hukum dengan meletakan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan yang wajib dipatuhi. Oleh karena itu, ketidakpatuhan terhadap ketentuan UU RI No 59 Tahun 1958 sebagai Law Making Treaties tersebut, bisa disebut sebagai suatu perbuatan yang melanggar kewajiban hukum internasional.

Bahwa meskipun Indonesia bukan sebagai pihak penandatangan yang pertama pada saat pembuat kesepakatan itu dilakukan, maka sebagaimana dengan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut menjadi UU RI No 17 Tahun 1985) sebagai "Law Making Treaties" untuk sebuah perjanjian multilateral yang mengikat banyak subyek hukum internasional termasuk negara Indonesia, maka Konvensi Jenewa Tahun 1949 pun membebankan tanggungjawab kepada negara pesertanya untuk wajib melindungi dan menghormatinya. Dengan demikian, Konvensi Jenewa Tahun 1949 itu menurut sifatnya, terasa sangat penting kehadirannya bagi Indonesia karena sejatinya ia adalah representasi kepentingan kemanusiaan.

Bahwa dewasa ini, seperti halnya perjanjian-perjanjian multilateral lainya yang menjadi Law Making Treaties (karena ditandatangani dan disegel dengan cara yang sama oleh wakil-wakil pemerintah berkuasa penuh), maka Konvensi Jenewa Tahun Tahun 1949 dan ketiga protokol-protokol tambahannya (tiga protokol tambahan dari Konvensi tersebut belum sempat diratifikasi), masih menjadi kebutuhan hukum paling penting, karena perannya untuk melindungi para korban konflik bersenjata yang bisa saja terjadi di Indonesia di hari-hari kedepan.

Karena kepentingan kemanusiaan itulah, maka menjadi kewajiban bagi setiap rezim Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mengimplementasikannya dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional. Maksud baiknya ialah, agar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan terjadi ketaatan dan kepatuhan pada aturan hukum tersebut, dan agar setiap komponen bangsa dan negara, termasuk Yayasan BSMI tentunya, wajib menghormati, menaati, dan patuh kepada peraturan perundang-undangan itu.

Bahwa sebagaimana untuk diketahui, persetujuan untuk terikat pada Perjanjian Internasional (Consent to be Bound by a Treaty) sebagai tahap akhir dari pembentukan Perjanjian Internasional, telah diatur berdasarkan Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1986 Tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara Negara Dengan Organisasi Internasional Atau Organisasi Internasional Satu Sama Lain, yang menyebut bahwa dalam perjanjian internasional, suatu negara atau organisasi internasional dapat mengikatkan diri dengan negara dan/atau organisasi internasional lain melalui beberapa cara, di antaranya:

  • Penandatanganan (Signature), diatur dalam pasal 12 Konvensi Wina 1969,
  • Penukaran instrumen-instrumen pembentuk perjanjian (Exchange of Instrumens Constituting a Treaty), diatur dalam pasal 13 dan pasal 16 huruf (a) Konvensi Wina 1969,
  • Peratifikasian (Ratification), diatur dalam pasal 14 ayat 1 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969,
  • Penerimaan (Acceptance), diatur dalam pasal 14 ayat 2 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969,
  • Pemufakatan (Approval), diatur dalam pasal 14 ayat 2 Konvensi Wina 1969,
  • Pengikutsertaan (Accession), diatur dalam pasal 15 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969, dan
  • Khusus untuk organisasi internasional, melalui pembuatan konfirmasi formal (Act of Formal Confirmation). 

KEDUA, pemakaian lambang Palang Merah dan/atau Bulan Sabit Merah WAJIB TERKAIT dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

Bahwa 153 tahun yang lalu, Jean Henry Dunant (1828-1910) warga negara Swiss dan bapak pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, melalui bukunya yang terkenal berjudul: “Un Sovenir De Solferino” atau “a Memory of Solferino” atau “Kenangan dari Solferino”(terbit pada bulan Oktober 1862 yang mengambarkan kengerian perang di Solferino, Italia, tanggal 24 Juni 1859), telah menanamkan visi agung tentang kekuatan karakter sukarelawan yang terus hidup dan semakin kuat di dunia. 

Ya, Henry Dunant, ia dikenal sebagai peletak dasar-dasar organisasi sukarelawan modern untuk tujuan kemanusiaan, dan sebagai orang pertama yang mendapatkan anugerah medali (penghargaan Nobel) perdamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun