Kita sepakat dengan pendapat bahwa minyak dan gas bumi (Migas) merupakan salah satu komponen utama penggerak kehidupan masyarakat di dunia. Bahwa benar, sejak ditemukannya, Migas mulai memegang peranan utama sebagai sumber energi dalam mempercepat perkembangan peradaban manusia kearah kenyamanan dan kemewahannya. Lihat saja industrialisasi dan transportasi yang mengantarkan manusia pada kehidupan modern, tak lepas dari memanfaatkan batu bara, bensin, minyak tanah, minyak diesel, solar LPG, dan sebagainya.
Bertambahnya jumlah penduduk dunia dan semakin membaiknya perekonomian negara-negara berkembang, maka konsumsi Migas terus mengalami peningkatan. Migas juga berperan peting dalam menerangi rumah-rumah, gedung-gedung perkantoran, sekolah dan kampus, melumasi mesin-mesin, menggerakkan kendaraan-kendaraan serta tidak ternilai kegunaannya dalam bidang manufaktur. Namun sayangnya, Migas telah dinyatakan sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (anrenewable). Dia, sebagai energi tidak terbarukan, suatu saat akan habis, dan karena itulah perlu di hemat dan perlu adanya diversifikasi energi.
Indonesia, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, tentu merupakan konsumen Migas dan pasar utama bagi barang-barang impor dari negara lain. Dari kebutuhan hidup sehari-hari seperti beras, terigu, gula, garam sampai pakaian, telepon seluler, teknologi informasi, otomotif, bahkan migas pun negara kita masih mengandalkan impor dari luar negeri, apalagi tahun 2016 Indonesia akan diserbu produk pasar bebas ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) melalui integrasi kerjasama ekonomi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Tentu adalah sebuah ironi bagi negeri yang sangat kaya Sumber Daya Alam (SDA) ini, dimana jutaan rakyanya masih hidup menderita dalam jurang kemiskinan serta semakin kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya, juga kehilangan kemampuan untuk membangun dan mandiri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka jika berhadapan dengan serbuan negara lain nanti.
Untuk mengatasi gempuran produk luar negeri termasuk di sektor Migas maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mengendalikan dan memperkuat peran perusahaan dalam negeri untuk memberdayakan produksi Migas, energi alternatif dan energi terbarukan, agar kita jangan hanya menjadi target pasar luar negeri. Kita harus mewujudkan kemandirian energi di dalam negeri untuk meningkatkan daya saing di sektor Migas dan energi di mata internasional.
Karena itu, PT Pertamina Persero (Pertamina) sebagai perusahaan utama penyedia sumber daya energi terkemuka di Indonesia perlu didukung sepenuhnya agar dapat mewujudkan kemandirian ketahanan energi nasional, misalnya, dengan dukungan regulasi yang memperkuat peran Pertamina untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun modernisasi teknologinya, dan kesempatan untuk melakukan banyak pengujian sumber energi alternatif dan terbarukan agar.
Kita juga berharap agar Pertamina nanti menjadi perusahaan terbaik di bidang eksplorasi, pengolahan dan pemasaran hasil tambang Migas. Pertamina sebagai penyedia energi untuk kebutuhan di dalam negeri sendiri dan dunia, dan dia dapat mengatasi krisis energi seperti energi listrik yang selalu mengancam iklim usaha perekonomian nasional seperti yang selama ini terjadi terutama di luar pulau Jawa.
Antara Harapan dan Realita Kemandirian Energi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Merauke, Papua, pada 30 Desember 2015 kemarin, menulis tujuh Impian Indonesia 2015-2085, yang diunggah Presiden ke laman media sosial. Pada poin keenam dan tujuh, tulis Jokowi, Indonesia diimpikan menjadi negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia-Pasifik serta menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Tentu yang masih menjadi keprihatinan dan sorotan atas impian Presiden Jokowi diatas yang juga merupakan topik-topik yang sangat relevan dengan masalah kebangsaan dan kemandirian bangsa kita adalah soal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), hutang luar negeri, restukturisasi perbankan, lapangan kerja, menghapus kesenjangan untuk kesejahteraan semua komponen bangsa terutama kaum marjinal.
Pemerintahan sekarang harus mereformasi kebijakan ekonominya yang masih berparadigma neoliberal dengan menggantinya menjadi kebijakan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan nasional serta tentu saja konstitusional. Ini agar Indonesia tidak dicemooh sebagai raksasa tidur atau raksasa yang tidak akan pernah bangkit berdiri dan berjalan disaat sumber daya alam kita masih sangat melimpah, karena nilai prospektif Indonesia yang unggul dalam hal SDA ini sekiranya jangan sampai tertinggal dari negara-negara yang kini mengalami lompatan karena bangkit dari kesadarannya, seperti Tiongkok, India, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, padahal mereka justru miskin dari SDA-nya.
Kita sebut saja terus terang bahwa kekayaan alam yang melimpah selama ini banyak dikelola pihak asing, dan itu sangat menguntungan mereka. Inilah yang harus diambil alih menjadi sepenuhnya penguasaan nasional. Kemudian melakukan proteksi penguasaan dan pengembangan sekaligus pemanfaatan energi alternatif seperti panas bumi, hidropower, tenaga surya, dan lain-lain yang masih sangat potensial, yang seyogyanya nanti dapat dikelola oleh perusahaan negara seperti Pertamina atau perusahaan swasta nasional lainnya, untuk membantu pemerintah Indonesia mengurangi impor nasional dan agar dapat meningkatkan produksi sumber daya dan konsumsi energi dalam negeri.
Tentu untuk mengelola sektor migas dan energi alternatif yang melimpah ini, Pertamina membutuhkan dukungan penuh terutama regulasi dari pemerintah, karena selama ini ternyata, dalam hal pengelolaan sumber daya migas, Pertamina, tidak diberi wewenang utama dan terutama bila dibandingkan dengan perusahaan luar negeri seperti Petronas (Malaysia), Shell (Belanda), Chevron (AS), Total (Perancis), ConocoPhillips (AS), Exxon Mobil (AS), CNOOC (China), ENI (Italia), KUFPEC (Kuwait), British Petroleum (Inggris), dan sebagainya. Lihat saja bagaimana Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 justru sangat merugikan Pertamina. Sehingga sampai kapanpun negara ini kelak masih dinyatakan ada, harapan agar bangsa ini memiliki kemandirian energi pasti tidak akan terwujud.
Tetapi, secercah harapan itu sepertinya mulai ada di era pemerintahan Jokowi, namun hanya bila rejim pemerintahan ini tetap konsisten untuk menyelamatkan aset-aset nasional dari cengkeraman perusahaan asing. Karena itulah, kita perlu memberikan apresiasi atas tindakan tegas pemerintahan Jokowi untuk memberantas mafia Migas termasuk membubarkan PT Petral, sehingga Pertamina mampu menghemat 22 Juta Dolar US$. Kita juga patut bersyukur, Persiden Jokowi mendukung sepenuhnya langkah tata kelola yang baik di sektor Migas untuk kepentingan rakyat termasuk mencari orang-orang terbaik yang punya kompetensi dan integritas tinggi dalam melaksanakan tata kelola di sektor Migas itu.
Tentu kebodohan rejim-rejim pemerintah di masa lalu, yang salah mengurus kekayaan alam kita, hendaknya dijadikan pelajaran terus menerus oleh rejim pemerintahan berganti, agar kedepan dikembalikan lagi untuk kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, Pembukaan dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945. Maka dengan memperkuat Pertamina sebagai perusahaan nasional, kita semua berharap Indonesia bisa menjadi bangsa yang percaya diri dan mandiri dalam pemanfaatan Migas dan energi nasional.
Bahwa sebagai sumber daya alam yang sangat strategis bagi kemakmuran kehidupan rakyat, Migas, energi alternative dan energi terbarukan, harus dikuasai sepenuhnya oleh negara agar jaminan kemakmuran rakyat menjadi kenyataan, dan bukan lagi harapan. Itu artinya, penguasaan sektor Migas dan energi mencakup pula aspek pengelolaan, pengendalian dan pemanfaatnya, harus dilakukan secara langsung oleh negara agar kedaulatan dan kemandirian Migas dan energi nasional bisa tercapai.
Namun, aspek kedaulatan dan kemandirian Migas dan energi nasional yang menjadi cita-cita kita terkendala dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang melenceng jauh dari semangat Pasal 33 UUD Tahun 1945 karena tidak menegaskan kepemilikan produksi Migas secara keseluruhan berada pada negara.
Alih-alih memberikan kepercayaan dan penugas eksklusif kepada Pertamina, pemerintah justru menandatangani Letter of Intens (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) tanggal 20 Januari 2000 yang sangat membelenggu, membonsai dan un-bundling (pemisahan kegiatan bisnis) Pertamina sebagai perusahaan milik negara. Posisi Pertamina justru dipersamakan dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang harus bersaing dan ‘berperang’ dengan perusahaan Migas negara lain yang sangat kuat secara modal, Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi.
Tak heran jika mantan menteri Siswono Yudo Husodo, pada salah satu seminar di Semarang tanggal 28 Maret 2008, sempat memaparkan datanya bahwa di bidang ekspoitasi Migas, dari 120 KPS (Kontraktor Profit Sharing), 90 persen adalah milik asing termasuk dari total produksi minyak nasional. Siswono membandingkan Pertamina, Medco dan Chevron, dimana Pertamina hanya mampu menghasilkan 75.000 barrel per hari, Medco 50.000 barrel per hari, sedangkan Chevron berkisar 540.000 barrel per hari.
Karena itu, dalam konteks menciptakan keunggulan dan kemandiran Migas dan energi nasional, diperlukan kebijakan pemerintah pusat termasuk dukungan sistem, regulasi dan sinergitas antar stakeholder pembangunan karena ternyata banyak bukti empiris yang menunjukkan adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berhasil karena di dukung oleh sistem, regulasi dan sinergitas. Sebagaimana Tiongkok, peran negara (baca: Pemerintah) tidak tinggal diam untuk aktif berperan, menangani, menunjang, mengembangkan BUMN-BUMDNnya termasuk melindungi dari persaingan melawan perusahaan asing dan produk barang-barangnya (impor).
Reformasi Regulasi
Sangat menarik mencermati pernyataan Direktur Analisis Peraturan Perundang-Undangan Kementerian/Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas) Diani Sadiawati pada 24 Oktober 2015 di Jakarta bahwa regulasi masih dipandang sebagai salah satu pekerjaan rumah yang harus dibereskan dalam perencanaan pembangunan nasional. Diani mengakui bahwa selain banyaknya produk peraturan perundang-undangan yang dibuat dan berlakukan sejak reformasi 1998, sejumlah peraturan yang di “copy paste” dari jaman penjajahan seperti Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana, KUH Perdata, dan KUH Dagang, masih saja diberlakukan.
Menurut Diani, masih ada ketidaksesuaian antara kebijakan (politik) hukum dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Ada banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, multitafsir, disharmoni atau inkosisten, yang kesemuanya itu justru menganggu iklim investasi atau pertumbuhan ekonomi, seperti misalnya ada regulasi yang mengatur sektor yang sama namun dengan mekanisme yang berbeda. Selain itu katanya, tak ada satu pun lembaga negara yang tahu persis jumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Itu artinya bahwa, pemerintah dan DPR, tidak serius dalam hal pembenahan regulasi.
Karena itu, kalau tidak ada penataan ulang atau perubahan sistem, justru dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penerapan peraturan perundang-undangan tersebut, karena faktanya, di daerah-daerah, peraturan-peraturan terkait pajak dan retribusi semata-mata selalu berorientasi untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tentu saja sangat memberatkan masyarakat. Padahal sejatinya, pembuatan regulasi dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan negara, mendorong perekonomian yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, banyak regulasi dibuat tanpa sinergis dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif serta adanya regulasi yang dibuat kurang berkualitas tapi justru menekankan kuantitas legislasi. Padahal, kualitas dan kuantitas regulasi yang proporsional merupakan jawaban atas persoalan inefisiensi penyelenggaraan negara yang carut marut. Karenanya, untuk mewujudkan sistem regulasi yang diharapkan bagi kemajuan, maka perlu adanya reformasi regulasi atau pembenahan sistem hukum nasional melalui penyelenggaraan strategi nasional reformasi regulasi dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka pendek diarahkan untuk mengendalikan kuantitas regulasi melalui kegiatan simplifikasi (penyerderhanaan) dengan fokus pada bidang pembangunan tertentu yang menjadi prioritas sedangkan untuk jangka panjang diarahkan untuk melakukan pembenahan terhadap kelembagaan, tata cara, dan sumberdaya manusia yang bertanggung jawab atas perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi agar dapat menghasilkan regulasi-regulasi yang berkualitas.
Selain itu, dalam jangka pendek, perlu dilakukan penataan kembali regulasi-regulasi yang sedang berlaku saat ini, sehingga nantinya permasalahan yang terkait peraturan perundang-undangan seperti tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir, kualitas rendah, bertentangan dengan peraturan yang lainnya baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan dibawahnya, termasuk antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dapat diselesaikan.
Kita tentu berterima kasih kepada pemerintahan Jokowi yang kian menyadari bahwa ada banyak hambatan dan permasalahan dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional karena tumpang tindihnya regulasi. Pemerintah telah menemukan kurang lebih 2.700 peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini malah menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir masa kontraknya misalnya, sangat jelas merugikan Pertamina sebagai perusahaan negara. Peraturan menteri ini menganggap Pertamina sama saja dengan perusahaan Migas yang lain ketika ingin mengambil alih pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir. Kewenangan penuh Kementerian ESDM untuk memilih/menentukan perusahaan mana yang akan diberi konsesi pengelolaan migas akan mengerdilkan peran penting Pertamina.
Peraturan menteri itu telah jelas menyatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak memberikan jaminan kepada Pertamina untuk menguasai konsesi wilayah kerja Migas yang akan berakhir, padahal telah ada Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2004 yang berpihak pada kepentingan nasional dalam hal penguasaan sumber Migas nasional. Entah sampai kapan negara ini yang mempunyai cadangan Migas dan energi tapi pemerintahnya masih berpikir pragmatis dengan selalu mengedepankan keberpihakan kepada perusahaan asing.
Karena itu, hal yang mendesak adalah segera mereformasi regulasi. Reformasi regulasi ini harus secara eksplisit mendefinisikan serta menjelaskan cakupan dan batasan kewenangan dari setiap badan, baik badan pemerintah maupun perusahaan negara di sektor Migas dan energi. Jangan lagi ada pernyataan Pemerintah, misalnya seperti pernyataan Direktur Jenderal Migas pada 27 Februari 2015 yang jelas ‘melecehkan’ Pertamina dengan mengatakan, “akan menganalisa proposal Pertamina terkait pengelolaan Blok Mahakam”, dan malah berharap agar Pertamina mau menggandeng Total (milik Perancis) dalam perpanjangan kontrak Blok Mahakam itu.
Jadi, kita perlu undang-undang dan peraturan yang baru yang diharapkan akan mengatur pembagian peran dan tanggung jawab secara tegas dan efektif antara Kementerian ESDM, Pertamina termasuk pengawasan dan penindakannya. Misalnya, kita perlu undang-undang baru sebagai pengganti atau merevisi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi (2003, 2007, 2012) di Mahkamah Konstitusi (MK), di mana MK pada 2012 telah memutuskan pembatalan atas banyaknya pasal-pasal dari undang-undang tersebut, termasuk memutuskan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Memang, pasca pembubaran BP Migas oleh MK, muncul kebingungan mengenai pengelolaan sektor Migas, termasuk tanggung jawab pemerintah atas sektor Migas. Dengan demikian, pasal-pasal baru yang akan mengatur reformasi struktur kelembagaan tata kelola Migas dan reformasi kelembagaan tata kelola Migas dalam UU Migas dan atau peraturan Migas yang baru nanti, seyogyanya tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK lagi, dan lebih menjamin pengelolaan sektor Migas yang transparan, akuntabel, serta didedikasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam UU dan peraturan baru tersebut, peran Pertamina dalam tata kelola Migas Indonesia diperkuat, dibuat lebih efisien, termasuk adanya mekanisme yang jelas dan efektif untuk menjamin pengawasan bagi kinerja Pertamina. Pertamina diberi kewenangan eksklusif dan pertama pada proyek-proyek Migas dan energi. Pertamina harus lebih diberdayakan, berperan dinamis untuk mendapatkan konsesi penuh atau pemegang semua konsesi atas semua proyek di garis depan sektor Migas dan energi agar berdampak besar terhadap kemajuan Pertamina, juga dapat memilih mitra kerja apabila memang diperlukan.
Nah, dalam rangka “Mewujudkan Kemandirian Energi Indonesia Yang Mendunia” pemerintah diharapkan serius memperkokoh kelembagaan sektor Migas dan energi nasional dengan mendukung penuh perusahaan minyak nasional dalam hal ini Pertamina, untuk mengambil alih pengusahaan wilayah kerja Migas yang telah habis masa kontraknya, dan terutama mendorong Pertamina agar berkosentrasi penuh mengembangkan energi baru dan terbarukan, sekaligus meningkatkan kualitas SDM dan memodernisasi teknologinya.
Ya, Pasti!, bersama Pertamina http://www.pertamina.com/, kita optimis bersiap menuju “Kemandirian Energi untuk Indonesia Mendunia”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H