Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Money

Reformasi Regulasi untuk Mewujudkan Kemandirian Energi Indonesia yang Mendunia

31 Desember 2015   21:08 Diperbarui: 31 Desember 2015   21:19 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tentu untuk mengelola sektor migas dan energi alternatif yang melimpah ini, Pertamina membutuhkan dukungan penuh terutama regulasi dari pemerintah, karena selama ini ternyata, dalam hal pengelolaan sumber daya migas, Pertamina, tidak diberi wewenang utama dan terutama bila dibandingkan dengan perusahaan luar negeri seperti Petronas (Malaysia), Shell (Belanda), Chevron (AS), Total (Perancis), ConocoPhillips (AS), Exxon Mobil (AS), CNOOC (China), ENI (Italia), KUFPEC (Kuwait), British Petroleum (Inggris), dan sebagainya. Lihat saja bagaimana Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 justru sangat merugikan Pertamina. Sehingga sampai kapanpun negara ini kelak masih dinyatakan ada, harapan agar bangsa ini memiliki kemandirian energi pasti tidak akan terwujud.

Tetapi, secercah harapan itu sepertinya mulai ada di era pemerintahan Jokowi, namun hanya bila rejim pemerintahan ini tetap konsisten untuk menyelamatkan aset-aset nasional dari cengkeraman perusahaan asing. Karena itulah, kita perlu memberikan apresiasi atas tindakan tegas pemerintahan Jokowi untuk memberantas mafia Migas termasuk membubarkan PT Petral, sehingga Pertamina mampu menghemat 22 Juta Dolar US$. Kita juga patut bersyukur, Persiden Jokowi mendukung sepenuhnya langkah tata kelola yang baik di sektor Migas untuk kepentingan rakyat termasuk mencari orang-orang terbaik yang punya kompetensi dan integritas tinggi dalam melaksanakan tata kelola di sektor Migas itu.

Tentu kebodohan rejim-rejim pemerintah di masa lalu, yang salah mengurus kekayaan alam kita, hendaknya dijadikan pelajaran terus menerus oleh rejim pemerintahan berganti, agar kedepan dikembalikan lagi untuk kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, Pembukaan dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945. Maka dengan memperkuat Pertamina sebagai perusahaan nasional, kita semua berharap Indonesia bisa menjadi bangsa yang percaya diri dan mandiri dalam pemanfaatan Migas dan energi nasional.

Bahwa sebagai sumber daya alam yang sangat strategis bagi kemakmuran kehidupan rakyat, Migas, energi alternative dan energi terbarukan, harus dikuasai sepenuhnya oleh negara agar jaminan kemakmuran rakyat menjadi kenyataan, dan bukan lagi harapan. Itu artinya, penguasaan sektor Migas dan energi mencakup pula aspek pengelolaan, pengendalian dan pemanfaatnya, harus dilakukan secara langsung oleh negara agar kedaulatan dan kemandirian Migas dan energi nasional bisa tercapai.

Namun, aspek kedaulatan dan kemandirian Migas dan energi nasional yang menjadi cita-cita kita terkendala dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang melenceng jauh dari semangat Pasal 33 UUD Tahun 1945 karena tidak menegaskan kepemilikan produksi Migas secara keseluruhan berada pada negara.

Alih-alih memberikan kepercayaan dan penugas eksklusif kepada Pertamina, pemerintah justru menandatangani Letter of Intens (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) tanggal 20 Januari 2000 yang sangat membelenggu, membonsai dan un-bundling (pemisahan kegiatan bisnis) Pertamina sebagai perusahaan milik negara. Posisi Pertamina justru dipersamakan dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang harus bersaing dan ‘berperang’ dengan perusahaan Migas negara lain yang sangat kuat secara modal, Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi.

Tak heran jika mantan menteri Siswono Yudo Husodo, pada salah satu seminar di Semarang tanggal 28 Maret 2008, sempat memaparkan datanya bahwa di bidang ekspoitasi Migas, dari 120 KPS (Kontraktor Profit Sharing), 90 persen adalah milik asing termasuk dari total produksi minyak nasional. Siswono membandingkan Pertamina, Medco dan Chevron, dimana Pertamina hanya mampu menghasilkan 75.000 barrel per hari, Medco 50.000 barrel per hari, sedangkan Chevron berkisar 540.000 barrel per hari.

Karena itu, dalam konteks menciptakan keunggulan dan kemandiran Migas dan energi nasional, diperlukan kebijakan pemerintah pusat termasuk dukungan sistem, regulasi dan sinergitas antar stakeholder pembangunan karena ternyata banyak bukti empiris yang menunjukkan adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berhasil karena di dukung oleh sistem, regulasi dan sinergitas. Sebagaimana Tiongkok, peran negara (baca: Pemerintah) tidak tinggal diam untuk aktif berperan, menangani, menunjang, mengembangkan BUMN-BUMDNnya termasuk melindungi dari persaingan melawan perusahaan asing dan produk barang-barangnya (impor).

Reformasi Regulasi

Sangat menarik mencermati pernyataan Direktur Analisis Peraturan Perundang-Undangan Kementerian/Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas) Diani Sadiawati pada 24 Oktober 2015 di Jakarta bahwa regulasi masih dipandang sebagai salah satu pekerjaan rumah yang harus dibereskan dalam perencanaan pembangunan nasional. Diani mengakui bahwa selain banyaknya produk peraturan perundang-undangan yang dibuat dan berlakukan sejak reformasi 1998, sejumlah peraturan yang di “copy paste” dari jaman penjajahan seperti Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana, KUH Perdata, dan KUH Dagang, masih saja diberlakukan.

Menurut Diani, masih ada ketidaksesuaian antara kebijakan (politik) hukum dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Ada banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, multitafsir, disharmoni atau inkosisten, yang kesemuanya itu justru menganggu iklim investasi atau pertumbuhan ekonomi, seperti misalnya ada regulasi yang mengatur sektor yang sama namun dengan mekanisme yang berbeda. Selain itu katanya, tak ada satu pun lembaga negara yang tahu persis jumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Itu artinya bahwa, pemerintah dan DPR, tidak serius dalam hal pembenahan regulasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun