Karena itu, kalau tidak ada penataan ulang atau perubahan sistem, justru dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penerapan peraturan perundang-undangan tersebut, karena faktanya, di daerah-daerah, peraturan-peraturan terkait pajak dan retribusi semata-mata selalu berorientasi untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tentu saja sangat memberatkan masyarakat. Padahal sejatinya, pembuatan regulasi dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan negara, mendorong perekonomian yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, banyak regulasi dibuat tanpa sinergis dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif serta adanya regulasi yang dibuat kurang berkualitas tapi justru menekankan kuantitas legislasi. Padahal, kualitas dan kuantitas regulasi yang proporsional merupakan jawaban atas persoalan inefisiensi penyelenggaraan negara yang carut marut. Karenanya, untuk mewujudkan sistem regulasi yang diharapkan bagi kemajuan, maka perlu adanya reformasi regulasi atau pembenahan sistem hukum nasional melalui penyelenggaraan strategi nasional reformasi regulasi dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka pendek diarahkan untuk mengendalikan kuantitas regulasi melalui kegiatan simplifikasi (penyerderhanaan) dengan fokus pada bidang pembangunan tertentu yang menjadi prioritas sedangkan untuk jangka panjang diarahkan untuk melakukan pembenahan terhadap kelembagaan, tata cara, dan sumberdaya manusia yang bertanggung jawab atas perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi agar dapat menghasilkan regulasi-regulasi yang berkualitas.
Selain itu, dalam jangka pendek, perlu dilakukan penataan kembali regulasi-regulasi yang sedang berlaku saat ini, sehingga nantinya permasalahan yang terkait peraturan perundang-undangan seperti tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multitafsir, kualitas rendah, bertentangan dengan peraturan yang lainnya baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan dibawahnya, termasuk antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dapat diselesaikan.
Kita tentu berterima kasih kepada pemerintahan Jokowi yang kian menyadari bahwa ada banyak hambatan dan permasalahan dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional karena tumpang tindihnya regulasi. Pemerintah telah menemukan kurang lebih 2.700 peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini malah menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir masa kontraknya misalnya, sangat jelas merugikan Pertamina sebagai perusahaan negara. Peraturan menteri ini menganggap Pertamina sama saja dengan perusahaan Migas yang lain ketika ingin mengambil alih pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir. Kewenangan penuh Kementerian ESDM untuk memilih/menentukan perusahaan mana yang akan diberi konsesi pengelolaan migas akan mengerdilkan peran penting Pertamina.
Peraturan menteri itu telah jelas menyatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak memberikan jaminan kepada Pertamina untuk menguasai konsesi wilayah kerja Migas yang akan berakhir, padahal telah ada Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2004 yang berpihak pada kepentingan nasional dalam hal penguasaan sumber Migas nasional. Entah sampai kapan negara ini yang mempunyai cadangan Migas dan energi tapi pemerintahnya masih berpikir pragmatis dengan selalu mengedepankan keberpihakan kepada perusahaan asing.
Karena itu, hal yang mendesak adalah segera mereformasi regulasi. Reformasi regulasi ini harus secara eksplisit mendefinisikan serta menjelaskan cakupan dan batasan kewenangan dari setiap badan, baik badan pemerintah maupun perusahaan negara di sektor Migas dan energi. Jangan lagi ada pernyataan Pemerintah, misalnya seperti pernyataan Direktur Jenderal Migas pada 27 Februari 2015 yang jelas ‘melecehkan’ Pertamina dengan mengatakan, “akan menganalisa proposal Pertamina terkait pengelolaan Blok Mahakam”, dan malah berharap agar Pertamina mau menggandeng Total (milik Perancis) dalam perpanjangan kontrak Blok Mahakam itu.
Jadi, kita perlu undang-undang dan peraturan yang baru yang diharapkan akan mengatur pembagian peran dan tanggung jawab secara tegas dan efektif antara Kementerian ESDM, Pertamina termasuk pengawasan dan penindakannya. Misalnya, kita perlu undang-undang baru sebagai pengganti atau merevisi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi (2003, 2007, 2012) di Mahkamah Konstitusi (MK), di mana MK pada 2012 telah memutuskan pembatalan atas banyaknya pasal-pasal dari undang-undang tersebut, termasuk memutuskan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Memang, pasca pembubaran BP Migas oleh MK, muncul kebingungan mengenai pengelolaan sektor Migas, termasuk tanggung jawab pemerintah atas sektor Migas. Dengan demikian, pasal-pasal baru yang akan mengatur reformasi struktur kelembagaan tata kelola Migas dan reformasi kelembagaan tata kelola Migas dalam UU Migas dan atau peraturan Migas yang baru nanti, seyogyanya tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK lagi, dan lebih menjamin pengelolaan sektor Migas yang transparan, akuntabel, serta didedikasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam UU dan peraturan baru tersebut, peran Pertamina dalam tata kelola Migas Indonesia diperkuat, dibuat lebih efisien, termasuk adanya mekanisme yang jelas dan efektif untuk menjamin pengawasan bagi kinerja Pertamina. Pertamina diberi kewenangan eksklusif dan pertama pada proyek-proyek Migas dan energi. Pertamina harus lebih diberdayakan, berperan dinamis untuk mendapatkan konsesi penuh atau pemegang semua konsesi atas semua proyek di garis depan sektor Migas dan energi agar berdampak besar terhadap kemajuan Pertamina, juga dapat memilih mitra kerja apabila memang diperlukan.