Mohon tunggu...
Irwan Saputra
Irwan Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Petualang

Bermimpi dan berani gagal

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dalam Qanun Jinayat

3 Januari 2021   14:00 Diperbarui: 3 Januari 2021   14:04 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi badan hukum (www.dosenpendidikan.co.id)

Makalah ini bertujuan untuk melihat dasar penentuan badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dilihat dari konsep bidimensional.

Badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum tidak dikenal dalam hukum Islam klasik. Subjek hukum dalam hukum Islam adalah individu atau disebut (mahkum alaihi) atau orang yang telah dibebani hukum.

Orang-orang yang yang sudah mampu menerima beban hukum ini disebut mukallaf dimana segala bentuk kewajiban, tanggung jawab, hak kebendaan, dan lain sebagainya ditujukan kepada individu sebagai subjek hukum. 

Namun, dengan seiring berkembangnya zaman subjek hukum mengalami perkembangan seperti halnya yang terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, sehingga terjadi pergeseran makna subjek hukum antara ilmu ushul fiqh dengan perundang-undangan hukum Islam.

Qanun Jinayah yang lahir dari amanat Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan bagian dari hukum Islam yang diterapkan di Aceh. Ruang lingkup pemberlakuan qanun ini meliputi, pelaku jarimah, jarimah, dan uqubah (hukuman). Sedangkan jenis jarimah meliputi khamar, maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musaqahah. 

Makalah ini bertujuan untuk melihat dasar penentuan badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dilihat dari konsep bidimensional.

Subjek Hukum

Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah yang disebut mukallaf. Khitab atau tuntutan Allah tersebut dapat berupa hukum taklifi maupun wad`i. Hukum taklifi meliputi ketentuan wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan hukum wad`i meliputi ketentuan sebab, syarat, dan mani’.

Dalam definisi ini, mahkum ‘alaih hanya dipahami kepada orang saja, tidak termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). 

Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau risiko dosa karena melanggar aturan-Nya.

Dalam Islam, setiap individu akan dikenakan pembebanan hukum (taklif) setelah ia cakap untuk bertindak hukum. Para ulama Ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Seseorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka belum berakal, maka mereka dianggap belum bisa memahami taklif dari syara`, termasuk dalam hal ini adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW yang artinya:

Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sembuh (HR. Bukhari)"

Sementara itu, dalam hukum positif subjek hukum adalah yaitu sesuatu yang menurut hukum berhak, berwenang atau mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, atau sesuatu pendukung yang menurut hukum berwenang atau berkuasa bertindak menjadi pendukung hak.4 Dari penjelasan di atas diketahui bahwa dalam hukum Islam klasik subjek hukum hanya terbatas pada individu, lain halnya dengan hukum positif yang memasukkan badan hukum sebagai subjek hukum selain dari individu.

Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat telah memperluas kategori subjek hukum dari selain individu yang dikenal dalam hukum Islam klasik ke badan usaha. Dewasa ini, badan usaha atau perusahaan di kalangan masyarakat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum. Bentuk pengaturan dari badan-badan usaha tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Keseluruhan badan usaha, baik badan usaha yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum disebut sebagai korporasi.

Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur dan karyawan juga merupakan entitas hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban pengganti. Korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi lah yang bisa melakukan kejahatan.

Dalam Qanun Jinayat, badan usaha yang terbukti terlibat melakukan jarimah dikenai hukuman berupa `uqubat ta'zir yang dibebankan kepada: penanggung jawab badan usaha, pelaku, dan pencabutan izin usaha. Adapun badan usaha yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana menurut Qanun Jinayat adalah;

  1. Badan usaha yang dimiliki oleh orang islam.

  2. Badan usaha yang melakukan kegiatan usaha di Aceh.

Ada 3 (tiga) pasal yang mengatur dan mengancam badan usaha yang melakukan jarimah seperti yang diatur dalam Qanun Jinayat. Satu pasal tentang ketentuan pertanggungjawaban pidana (jarimah) yang dilakukan oleh badan usaha, sementara dua pasal lainnya mengatur tentang ancaman hukum terhadap badan usaha yang melakukan jarimah pada hukum jinayat di Aceh.

Pasal 8 ayat 1 dan 2 berbunyi:

  1. `Uqubat cambuk atau penjara untuk jarimah yang dilakukan oleh badan usaha dijatuhkan kepada pelaku dan penanggung jawab yang ada di Aceh.

  2. ‘Uqubat denda untuk Jarimah yang dilakukan oleh badan usaha dijatuhkan kepada perusahaan, pelaku dan atau penanggung jawab yang ada di Aceh.

 Pasal 33 ayat 3, berbunyi:

“Setiap orang dan/atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, diancam dengan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.”

 Pasal 70 berbunyi:

  1. Setiap instansi dilarang memberi izin kepada penginapan, restoran atau tempat- tempat lain untuk menyediakan atau memberi fasilitas terjadinya jarimah sebagaimana diatur dalam qanun ini.

  2. Apabila izin sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tetap diberikan, maka izin tersebut tidak berlaku di wilayah Aceh.

  3. Setiap badan usaha yang melanggar qanun ini dapat dikenakan ‘uqubat tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Dari uraian di atas, kategori subjek mahkum `alaih dalam produk hukum Islam dalam hal ini Qanun Jinayat berkembang menjadi dua kategori, yaitu orang sebagai individu dan badan hukum. Untuk konsep individu merujuk pada konsep mahkum `alaih seperti yang dijelaskan di atas, sementara badan hukum mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku dalam hal ini qanun jinayat.

Sifat Pertanggungjawaban Hukum dalam Islam

Seperti yang telah penulis uraikan di atas, subjek hukum dalam qanun ini tidak terbatas pada individu melainkan juga badan usaha atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum selama pihak tersebut melakukan usahanya di Aceh dan milik orang-orang Islam. Adapun jenis hukuman yang diberikan berupa uqubat ta’zir berupa cambuk dan penjara kepada pelaku dan penanggung jawab, denda hingga pencabutan izin usaha.

Pertanggungjawaban hukum atau pemidanaan dalam Bahasa Arab disebut uqubah yaitu bentuk balasan bagi seorang atas perbuatannya yang melanggar ketentuan hukum syara‘ yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya untuk kemaslahatan dunia.8 Dalam maqashid al- khamsah, tujuan daripada pemidanaan terhadap pelaku jarimah adalah untuk memelihara, a) agama, b) jiwa, c) akal, d) keturunan, dan e) harta benda serta kehormatan.

Qanun Jinayat berasaskan pada keislaman, legalitas, keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan, perlindungan dan hak asasi manusia, dan pembelajaran kepada masyarakat (tadabur). Dalam penjelasan Pasal 2 huruf a Qanun Jinayat dikemukakan bahwa, yang dimaksud dengan asas keislaman adalah ketentuan- ketentuan mengenai jarimah dan uqubah di dalam qanun ini harus berdasarkan pada Alquran dan hadis atau prinsip-prinsip yang diambil dari keduanya. 

Begitu juga kesadaran untuk menjalankan dan mematuhi qanun ini adalah berhubungan dengan ketaatan kepada dua dalil tersebut. Asas inilah yang membawa sifat bidimensional dengan kata lain pemberlakuan qanun ini merupakan bentuk ketaatan umat islam terhadap ajaran Islam.10 Menurut Muhammad Tahir Azhari, asas keislaman dalam mengandung konsep bidimensional yang mencakup dua dimensi, yaitu religius-spritual dan dimensi kemasyarakatan yang bertumpu pada ajaran tauhid (unitas).

Alquran dan Sunnah Rasul yang menjadi sumber hukum Islam merupakan seperangkat kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia berperilaku, baik dalam melaksanakan hubungan dengan Allah, maupun dengan sesama manusia dalam suatu masyarakat atau negara, bahkan hubungan antar negara dan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Islam yang dalam Bahasa Arab disebut al-din mengandung beberapa makna sebagaimana disimpulkan oleh Muhammad Al-Naquib al-Attas, yaitu : 1) keadaan berhutang, 2) kepatuhan, 3) kekuasaan yang bijaksana dan, 4) kecendurangan atau tendensi alamiah.

Bila dikaitkan dengan Islam dalam Alquran maka makna yang paling tepat adalah kepatuhan yang berasal dari kata salima yang juga berarti kedamaian, kesejahteraan, penyerahan diri, penundukan, dan kepatuhan kepada Allah. Orang yang telah menyatakan dirinya tunduk dan patuh pada ketetapan-ketetapan Allah dinamakan muslim,12 dan setiap muslim memiliki konsekuensi dan kewajiban memelihara hubungan dengan Allah, manusia dan lingkungan hidupnya. 

Hal ini berbeda dengan hukum positif, Ismail Muhammad Syah mengatakan hukum positif hanya bertujuan untuk kepentingan duniawi semata yang berkenaan dengan segala macam seluk beluknya, sementara hukum Islam adalah ketetapan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kepentingan manusia lahir dan batin, dunia dan akhirat.14 Berangkat dari itu, pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi sama halnya dengan pertanggungjawaban terhadap subjek hukum mahkum alaih. Dalam kasus yang melibatkan korporasi maka pertanggungjawaban hukum dimintai kepada si pemilik korporasi baik itu hukuman ta`zir berupa cambuk, denda atau dicabutnya izin usaha, tergantung dari jarimah yang dilakukan.

 

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, seiring perkembangan zaman fikih dalam bentuk perundang-undangan dalam hal ini Qanun Jinayat telah memasukkan badan usaha atau korporasi sebagai subjek hukum (mahkum alaih). Selama ini, subjek hukum yang dikenal dalam hukum islam hanya bersifat individu tidak termasuk korporasi, hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan subjek hukum dalam ilmu Ushul Fiqh. Sementara itu, pertanggungjawaban hukum terhadap badan hukum juga bersifat bidimensional, dimana yang bertanggung jawab terhadap jarimah yang dilakukan atas nama badan usaha ditanggung oleh pemilik badan baik itu bersifat uqubat ta`zir berupa cambuk, denda atau pencabutan izin usaha. Dari paparan di atas, pemakalah memberikan saran terkait pergeseran subjek hukum dari individu ke badan usaha, dimana pergeseran ini meninggalkan persoalan berupa masih sangat terbatasnya landasan teoritis dari pendekatan Ushul Fiqh terhadap penentuan badan hukum sebagai subjek hukum sehingga perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap hal yang dimaksud.***

Referensi 

Ali Abubakar dan Zulkarnaini Lubis, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar, Prenada Media, Jakarta, 2019.

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Hasanuddin AF. Dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pustaka al Husna Baru, Jakarta, 2004.

Firdaus, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Rajawali Pers, Depok, 2017.

Imam Jauhari, Hukum Islam, Perdana Publishing, Medan, 2012.

Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta, 2003.

Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta 2013 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung 2007

Hari Sutra Disemadi dan Nyoman Serikat Putra Jaya, Perkembangan Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol.3, No.2, Des 2019, diakses 10 Oktober 2020, http://journal.fhupb.ac.id/index.php/jhmb/article/view/38/38.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun