Puisi: "Rindu Damai di Bawah Awan Abu-Abu"
Di bawah awan abu-abu yang menggumpal,
Merajut luka, hati terasa hampa,
Jerit kesedihan, memenuhi ruang hampa,
Tanah yang merindu, di tengah baku tembak.
Kisah abadi, antara dua tanah suci,
Rindu damai, dalam sunyi yang terkunci,
Wajah-wajah sayu, di tepi barat yang luka,
Hening pilu, tak terucapkan suara dukanya.
Pernah ada waktu, ketika bunga mekar,
Saat jeritan senjata belum menggema,
Namun kini, tiada lagi senyum di sana,
Hanya duka yang mengalir, tak terbendung lagi.
Kaum muda tumbuh di tengah kecamuk,
Bertanya-tanya, apakah ada jalan keluar?
Mimpi mereka terhempas, harapan pudar,
Di antara reruntuhan, masih ada nyanyian damai.
Jerusalem, kota abadi yang pernah bersinar,
Kini memerah oleh kepedihan berkepanjangan,
Tetapi di balik bayang-bayang perang,
Masih ada nyanyian: harapan tak terpadamkan.
Rindu damai mengalun seperti lagu,
Dalam hati setiap anak, ibu, dan bapak,
Di bawah awan abu-abu yang menggumpal,
Mereka tetap merindukan pulang, ke harapan yang abadi.
Biarkanlah puisi ini menjadi doa,
Untuk perdamaian yang tulus dan nyata,
Agar suara hati terdengar dan disadari,
Rindu damai di tanah yang merindu, tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H