Wah, ge-er sekali ini orang. Memangnya saya punya kapasitas khusus di otak untuk menyimpan memori suara orang? Saya memang bisa mengingat suara beberapa teman dekat. Tapi, yang satu ini tidak masuk kategori.
“Dian?”
“Yes!”
“Kita berteman di SMP. Sekarang saya bertugas di kepolisian. Masak masih belum tahu siapa saya?”
Saya pernah bersekolah di Jayapura, Papua. Selama tiga tahun saya menyelesaikan sekolah menengah pertama di sana. Namun, ada hampir 400 orang di angkatan saya. Mana mungkin saya ingat? Lagipula, itu sudah puluhan tahun lalu. Saya juga bukan tipe orang yang peduli dengan pekerjaan apa yang dilakukan orang lain. Yang penting, orang itu baik. Tapi, tidak dengan yang satu ini.
“Saya sungguh tidak ingat. Maaf.”
“Ah, kamu ini bagaimana sih? Kita ‘kan pernah juga ketemu saat reuni…”
Nah, berarti saya pernah bertemu dengannya pada salah satu reuni, tapi saya tak pernah bertanya kepada yang datang apa pekerjaan mereka.
“Ah, kamu payah!”
Lantas sambungan telepon pun berhenti. Saya hanya bengong. Sungguh, kami sudah sama-sama berusia. Semestinya, tahu sopan santun bertelepon, bukan?
Telepon itu memang hanya beberapa menit, tidak sampai dua menit, tapi untuk saya, sama sekali tak ada gunanya. Hanya buang-buang waktu dan membuat kucing-kucing makin kelaparan.