Selama awal Februari santer terdengar, konon PDIP akan jatuh suaranya di Pemilihan Legislatif 2024 dan banyak pakar yang memprediksi PDIP tidak menjadi pemenang pemilu.
Banyak analisa mulai dari analisa yang bersifat empiris hingga bersifat klenik ataupun metafisik berseliweran di medsos, terutama di tiktok dan instagram
 Bahkan muncul tulisan yang bersifat klenik seperti Banteng Nyungsep di Rabu Legi, tulisan itu memprediksi kekalahan PDIP di pemilu dan di kolom komentar muncul komentar-komentar yang berisi terawangan-terawangan ghaib yang seolah-olah membenarkan tulisan itu.
Muncul terawangan serta tafsiran ghaib, yang menyatakan Rabu Legi bukanlah hari yang baik untuk Banteng merumput; konon pada perhitungan primbon, hari itu Elang akan menerkam Banteng sehingga Banteng nyungsep di Rabu Legi.
Bahkan ada sejumlah orang-orang yang mengkait-kaitkan hari pemilu yang kebetulan jatuh pada tanggal 14 Februari 2024, yang kebetulan adalah Hari Valentine kemudian ada juga orang yang mengkaitkan-kaitkan hari pemilu dengan cinta kasih valentine bagi rakyat Indonesia, hal yang sulit dipahami bagi jomblo ortodoks seperti saya dan saya juga tidak memahami apa kaitannya serta untuk apa mengkaitkan Valentine dengan pemilu.
Tapi yang pasti terjadi Banteng tidak nyungsep, tapi nyeruduk dengan perkasa di Rabu Legi.
Sebelum saya lanjutkan tulisan ini perlu saya disclaimer, bahwa saya bukanlah kader ataupun simpatisan PDIP, ini murni penelitian dan pengamatan saya terhadap sikap politik PDIP dan Bu Megawati selama ini.
Jadi tulisan ini bukanlah ditujukan untuk mengglorifikasi kemenangan PDIP kali ini, apalagi menjilat ataupun cari muka terhadap Bu Mega. Sebab dalam hidup ini saya meyakini kita tidak perlu cari muka, sebab muka itu cukup satu dan skincare-nya yang mahal.
Jelas tujuan tulisan ini ialah untuk menganalisa secara objektif mengapa hal ini bisa terjadi. Semoga dari tulisan ini dapat memberikan perspektif baru kepada para pembaca tulisan ini.
Dari semua fenomena ini yang pasti, PDIP menang Pemilu 2024 dengan perolehan suara sekitar 16,82% suara bila menurut hasil quick count LSI Denny JA. Dari perolehan suara kita bisa melihat suara PDIP menurun bila dibandingkan perolehan suara mereka di Pemilu 2019.
Lantas apakah Banteng nyungsep di Rabu Legi seperti yang diramalkan?
Rupanya Banteng tidak nyungsep, cuma kesandung batu kerikil kemudian berlari kencang. Meski suara PDIP menurun, namun mereka tetaplah pemenang pemilu dan menurut UU MD3, partai yang memenangkan pemilu otomatis menjadi Ketua DPR RI.
Terlebih PDIP menurut beberapa prediksi, kemungkinan menjadi oposisi dari pemerintahan Prabowo -- Gibran, sehingga kursi Ketua DPR RI pun berpotensi jatuh ke tangan oposisi.
Perolehan suara ini membuat PDIP kali ini tidak kalah total, seandainya mereka bertarung dalam pertandingan sepakbola skor mereka 2-1, bukan kalah telak.
Akhirnya PDIP pun mencetak sejarah dengan menjadi satu-satunya partai yang hattrick dalam pemilu selama Reformasi sejak 2014. Walhasil Banteng yang diramalkan nyungsep di Rabu Legi, alih-alih nyungsep malahan Banteng nyeruduk dengan perkasa di Pemilu 2024.
Tentunya banyak pihak yang bertanya-tanya mengapa paslon Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka menang dengan 58,47% menurut hasil quick count LSI Denny JA namun perolehan suara Partai Gerindra yang menjadi partainya Pak Prabowo Subianto malahan tidak menjadi pemenang pemilu?
Gabungan suara koalisi partai pengusung 02 hanya membentuk sekitar 46% suara, jumlah yang tidak terlalu memuaskan. Hasil pileg yang berbanding terbalik dengan pilpres, membuat pemerintahan Pak Prabowo Subianto dan Mas Gibran Rakabuming Raka harus membentuk koalisi bila mereka hendak membentuk pemerintahan mayoritas dengan suara 50%+1.
Tentunya PDIP kali ini memiliki daya tawar paling besar, bila mereka diajak bergabung dengan koalisi pemerintahan ataupun seandainya mereka pun menolak menjadi koalisi pun, tetap PDIP memegang kursi Ketua DPR RI yang membuat mereka menjadi oposisi yang tidak bisa diremehkan.
Tentu pihak Prabowo -- Gibran, harus merangkul salah satu partai di koalisi Anies -- Muhaimin maupun Ganjar -- Mahfud, bila ingin membentuk pemerintahan dengan koalisi partai politik mayoritas di parlemen.
Orang-orang yang selama ini memiliki kebencian dan ketidaksukaan kepada PDIP pastinya mengernyitkan dahi tatkala melihat hasil Pemilu 2024 ini.Â
Terutama bagi orang-orang yang selama ini membenci dan tidak menyukai Bu Megawati, terlebih orang-orang yang meremehkan Megawati dan seringkali tersenyum kepadanya dengan urat nadi yang mencibir ketika melihatnya berpidato.
Banyak orang-orang lupa, sayangnya tidak jarang kalangan intelektual dan akademisi di negeri ini pun juga turut luput akan fakta ini: Bu Mega adalah ketua umum parpol terlama sejak masa Reformasi dan belum pernah ada yang mengalahkan rekor ini.
Bahkan Bu Mega bukan saja ketum parpol terlama, namun juga ketum parpol terbesar di Indonesia dan kader-kadernya solid meski terdapat berbagai faksi dalam internal PDIP sendiri.
Banyak buku yang saya baca, termasuk penelitian akademis soal PDIP dan pembahasan soal faksi-faksi di internal PDIP yang memang beragam, namun semua faksi yang beragam itu semua solid di bawah komando Bu Megawati.
Berikut penulis akan uraikan beberapa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi:
1. Banyak pihak yang terlalu meremehkan kapabilitas Bu Megawati sebagai politisi dan menganggapnya bisa jadi Presiden RI ataupun Ketum PDIP hanya karena ia anak Sukarno.
Ia dianggap tidak memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni bila dibandingkan dengan politisi yang lain, tapi satu fakta yang susah dibantah kapabilitas sebagai politisi tidak selalu terkait dengan kapasitas intelektual.
Toh banyak professor dan intelektual yang negara ini punya, tidak banyak dari mereka yang bisa mencapai posisi puncak di politik, bukan?
Hal ini menunjukkan kapabilitas intelektual bukanlah satu-satunya faktor utama bila ingin mencapai jabatan puncak dalam politik.
Perlu adanya insting dan kepekaan politik, dalam hal ini tidak semua bisa. Bu Mega punya insting dan kepekaan politik yang terbilang bagus sehingga ia bisa bertahan hingga hari ini.
Bila memang jawaban dari keberhasilan Bu Mega sebagai politisi karena dia adalah anak Sukarno, kita bisa melihat anak-anak Bung Karno yang lain yang mencoba peruntungan di politik dan mendirikan parpol-parpol lain seperti almarhumah Bu Rahmawati dan Bu Sukmawati, keduanya tidak satupun yang berhasil membuat parpol yang bisa lolos hingga parlemen, apalagi menggoyang posisinya Bu Mega.
Dari sekian banyaknya anak Bung Karno, hanya Bu Mega yang berhasil di dunia politik, itu fakta tak terbantahkan hingga hari ini.
Bu Mega sendiri pernah 2x digoyang dari partainya, pertama lewat peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) karena adanya dualisme antara Suryadi di PDI yang didukung Rezim Orde Baru dengan Megawati yang memenangkan Kongres PDI dan harusnya menjadi Ketua Umum PDI.
Bu Mega akhirnya mendirikan PDI Perjuangan, karena PDI yang seharusnya sah menjadi miliknya direbut secara paksa oleh Suryadi yang seharusnya kalah di Kongres.
PDIP yang dipimpin Bu Mega berhasil memenangkan Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama pasca-reformasi.Kedua ia digoyang dalam Kongres II PDIP di Bali tahun 2005, ia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya sendiri seperti Laksamana Sukardi dan Arifin Panigoro yang hendak mendongkel Megawati.
Mereka merasa kekalahan Megawati di Pilpres 2004 karena ketidakbecusan Bu Mega sebagai Ketum PDIP dan mereka merasa bisa jadi ketum yang lebih baik dari Bu Mega, bahkan beberapa dari mereka ada yang mencoba merapat ke Istana dan berusaha mengantongi dukungan Pak SBY dengan harapan mereka bisa mendongkel Bu Mega.
Kongres II PDIP di Bali, rupanya dimenangkan oleh Bu Mega dan kandidat-kandidat yang lain yang kalah membuat partai tandingan PDIP. Rupanya semua partai tandingan itu tidak ada yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2009.
Kongres II PDIP di Bali tahun 2005, merupakan badai terbesar dalam internal PDIP setelah Kudatuli. Namun begitulah semakin tinggi pohon, semakin deras angin menerjang daun. Setelah 2005, badai itu pun berlalu kongres-kongres PDIP setelahnya Bu Mega selalu menang aklamasi dan tanpa gejolak yang berarti.
Dari uraian ini kita bisa menyimpulkan, Megawati memang punya kualitas bila dibandingkan anak Sukarno yang lain dan anggapan bahwa ia mencapai puncak karena bermodalkan anaknya Sukarno tidak sepenuhnya benar.
Tentunya sebagai politisi senior yang pernah memegang jabatan Presiden Republik Indonesia dan menjadi ketum parpol terlama, Bu Mega pastinya memiliki akal yang panjang.
2. Adanya perubahan strategi dari Bu Megawati dan jajaran internal pengurus DPP PDIP.
Pembahasan ini masih beririsan dengan pembahasan pertama terkait intuisi politik Bu Mega. Bu Mega melihat kans untuk ngotot memenangkan Ganjar sudah sulit dan elektabilitasnya terus menurun.
Elektabilitas Ganjar yang semula tertinggi kemudian menurun terus, karena beberapa blunder dan kesalahan positioning kampanye.
Ganjar bingung harus memainkan narasi sebagai oposisi pemerintah ataupun penerus program pemerintah?
Kalau memainkan sebagai oposisi di barisannya ada Mahfud MD yang jadi Menkopolhukam (meski sekarang sudah resign) dan ada PDIP yang menjadi partai koalisi pemerintah dan Pak Jokowi sendiri berasal dari PDIP.
Sedangkan apabila memainkan peran sebagai penerus Pak Jokowi, sudah Mas Gibran yang merupakan anaknya Pak Jokowi dan sinyal Pak Jokowi sudah jelas ke sana.Â
Walhasil Ganjar -- Mahfud pun bingung, setiap kali menyerang Pak Jokowi kemudian elektabilitasnya menurun dan setiap kali berusaha memuji atau mengasosiasikan diri dengan Pak Jokowi; para pemilih yang puas dengan kinerja Pak Jokowi cenderung tidak percaya.
Hal ini terlihat jelas di basis suara Pak Ganjar di kalangan non-Muslim yang semula mendukungnya, ketika awal Februari sekitar lebih dari 50% suara non-Muslim beralih ke Pak Prabowo.
Mayoritas non-Muslim dari sejak 2014 adalah pendukung fanatik Pak Jokowi, karena Pak Jokowi dianggap toleran terhadap mereka.
Menyerang Pak Jokowi dianggap seperti menyerang mereka, walhasil mereka memindahkan suara ke Pak Prabowo karena dianggap ia pun toleran sebab ia punya kakak dan adik yang berbeda agama dengan Pak Prabowo.
Bu Mega akhirnya mengubah fokus dari pemenangan Ganjar -- Mahfud MD ke pemenangan PDIP di Pemilu 2024.
Bu Mega tetap memajukan Ganjar dan menunjukkan bahwa ia menolak kalah dengan Pak Jokowi dan masih ada itikad untuk melawan Pak Jokowi & siap bertarung di pilpres.
Namun nyatanya sudah muncul sejak akhir tahun lalu beberapa baliho PDIP tanpa wajah Ganjar -- Mahfud, apa yang bisa kita simpulkan? Bahwa PDIP telah mengevaluasi ulang pencalonan Ganjar. Bu Mega nampaknya memegang teguh pepatah: "apa yang tidak dapat kau gapai semua, jangan kau tinggalkan semua."Â
Bu Mega sudah mengikhlaskan pilpres dan mengincar kemenangan di pileg. Dengan tidak mundur di Pilpres 2024, para donor kampanye Ganjar -- Mahfud MD menjadi yakin bahwa PDIP serius untuk bertarung dan siap mengalokasikan dana. Namun di satu sisi dana-dana pemenangan yang difokuskan untuk pemenangan legislatif, alih-alih pemenangan pilpres.
Ganjar tetap dimajukan, sebab menurut teori coattail effect (efek ekor jas), parpol yang akan mendapatkan kenaikan suara di pemilihan legislatif ialah parpol yang memiliki kandidat capres/cawapres. Jadi Ganjar tetap dimajukan dengan harapan dapat menaikkan atau mempertahankan suara partai biar tidak turun.
Di sini kita bisa melihat kepiawaian Bu Mega sebagai ahli stratak, dia tidak lagi menggunakan ajaran Sun Tzu namun menggunakan ajaran Toyotomi Hideyoshi, yang kita bisa lihat bila kita membaca novel Taiko (2012).
Novel Taiko ini merupakan novel sejarah tentang kehidupan Shogun Toyotomi Hideyoshi (1537 -- 1598) yang mempersatukan Jepang setelah Nobunaga Oda (1534 -- 1582).Â
Hideyoshi bisa mencapai puncak karier politiknya dengan menggunakan strategi dan taktik, main panjang. Sama seperti Bu Megawati yang hingga kini tetap bertahan dalam derasnya badai perpolitikan Indonesia, karena Bu Mega sendiri bermain panjang.
Untuk bisa bermain panjang, kita butuh hal yang oleh Bung Karno katakan sebagai "kesabaran revolusioner" dan Bu Mega sendiri selama ini memiliki "kesabaran revolusioner." Soal kesabaran revolusioner ini pernah ditegaskan oleh Bu Mega sendiri ketika membuka Kongres PDIP di Bali pada tahun 2015.
Rupanya kesabaran revolusioner ini kembali berbuah pada Pemilu 2024 ini, PDIP tampil sebagai pemenang pemilu. Menurut UUD MD3, PDIP berhak menjadi Ketua DPR RI dan di sini PDIP memiliki bargaining position terhadap pemerintahan Prabowo -- Gibran. Setidaknya kalau dalam pertandingan sepakbola, skor kali ini 2-1, sekalipun kalah bukan kalah telak.
3. Terjadinya split-ticket voting (konstituen partai memilih yang berbeda dengan yang diusung oleh partainya) di antara para pemilih PDIP.
Hal yang tidak diprediksi sebelumnya oleh barisan pengusung Prabowo -- Gibran, bahkan juga oleh koalisi Ganjar -- Mahfud, rupanya terdapat split-ticket voting yang cukup besar sekitar 33% pemilih PDIP memilih Prabowo -- Gibran. Meski terdengarnya positif untuk hasil elektoral pilpres Prabowo -- Gibran, namun tidak secara pileg untuk Prabowo -- Gibran.
Seandainya 33% suara ini memilih parpol pengusung Prabowo -- Gibran, bisa jadi bukan PDIP yang menang di DPR RI. Paling tidak di sini kita bisa melihat bahwa PDIP mampu menjaga loyalitas konstituennya agar tetap memilih PDIP.
4. Kerja caleg-caleg PDIP yang mumpuni dalam menjaga basis pemilihnya dan juga loyalitas pemilih PDIP.
Para caleg dari PDIP banyak melakukan kampanye dan kerja-kerja politik untuk mempertahankan suara mereka dan loyalitas pemilih mereka, terutama di waktu-waktu yang krusial yang hari-hari sebelum masa kampanye berakhir.
Para caleg PDIP sadar, bahwa dukungan terhadap paslon Prabowo -- Gibran sangat kuat di masyarakat, bahkan juga di daerah-daerah yang selama ini menjadi kandang Banteng seperti Bali dan Jawa Tengah. Mereka sadar bila salah langkah, mereka bisa saja tidak terpilih kalau terlalu terasosiasi oleh paslon Ganjar -- Mahfud.
Banyak caleg-caleg PDIP adalah para politisi yang sudah malang melintang di dunia politik dan telah berpengalaman, mereka banyak melakukan kerja-kerja politik terutama di detik-detik akhir menjelang masa kampanye berakhir, namun juga berhasil menjaga perasaan konstituennya yang memilih paslon lain yang tidak diusung oleh PDIP. Walhasil beberapa caleg PDIP bisa lolos di daerah-daerah yang merupakan basis pemilih paslon Prabowo -- Gibran.
PDIP selama ini pun banyak terasosiasikan dengan Sukarno dan juga ideologi Sukarnoisme, jadi banyak sekali aktivis ataupun kelompok pengagum Sukarno juga memilih partai ini dan loyal karena faktor ideologi, juga citra PDIP sebagai "partaine wong cilik" sebab PDIP lah yang pada awal Reformasi banyak memberikan kesempatan kepada petani, tukang becak, ataupun nelayan untuk menjadi caleg PDIP.
Cuma dalam pemilu kali ini mereka tidak menyukai Ganjar -- Mahfud, jadi mereka memilih PDIP karena sudah suka dengan partainya atau sudah terbiasa milih PDIP jadi susah pindah ke lain hati.
5. Status keanggotaan Jokowi di PDIP yang masih abu-abu.
Tidak jelasnya status keanggotaan Gibran Rakabuming Raka dan Jokowi di PDIP juga turut mempengaruhi suara PDIP tidak turun drastis. Gibran Rakabuming Raka, kita tahu telah keluar dari PDIP dan Bobby Nasution sendiri malahan dipecat.
Meski Gibran Rakabuming Raka keluar dari PDIP dan konon disebut-sebut mengembalikan KTAnya, namun ia tidak pernah bikin suatu pidato pernyataan yang tegas ke publik kalau dia keluar dari PDIP dan langsung bergabung ke partai lain, maka partai lain ini akan mendapatkan tamabahan suara karena coattail effect dari sosok Gibran sebagai cawapres.
Hal yang sama juga dengan Pak Jokowi, ia sendiri masih berstatus anggota PDIP karena ia sendiri menunggu dipecat oleh PDIP dan berharap bisa memainkan narasi dizalimi.Â
Namun PDIP sudah kapok dengan cara ini, karena dulu Bu Mega memecat Pak SBY dan ia menggunakan narasi bahwa ia dizalimi kemudian ia menang di Pilpres 2004.
Oleh karena status Pak Jokowi yang masih menjadi kader PDIP, tentunya masih ada pengagum Pak Jokowi yang akhirnya memilih PDIP. Kita anggap saja, bahwa Pak Jokowi masih punya faksi pendukungnya di PDIP meski tidak dominan dan mereka-mereka ini memilih Prabowo -- Gibran
Lain ceritanya kalau Pak Jokowi secara tegas keluar dari PDIP dan masuk partai lain, mungkin saja suara PDIP jatuh dan partai lain yang dimasuki Pak Jokowi itu suaranya naik serta split-ticket voting bisa saja tidak terjadi.
Demikian analisis ini dibuat berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis sendiri, semoga tulisan ini bisa menjelaskan mengapa PDIP bisa di legislatif meski di pilpres mereka kalah.
Fenomena ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita pentingnya untuk mengambil keputusan ataupun manuver politik berdasarkan data-data yang teruji secara empiris. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H