Penderitaan saudara kita di Palestina seakan tidak pernah berakhir. Setiap berganti tahun atau bahkan persemester selalu ada peperangan baru yang memakan jumlah korban dan meluluh lantakkan kediaman mereka.
Setiap tahunnya, anak-anak kehilangan orangtuanya.Orangtua kehilangan anak-anaknya. Keluarga kehilangan tempat tinggal, mereka terlunta-lunta seperti orang yang hidup di pengasingan di tanah sendiri.
Kebiadaban Israel dan sikap tak acuh sebagian muslim seolah menyatu dan hasilnya Palestina selalu terjajah. Meraka termarjinalkan, terampas hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah, sebagai manusia yang sama seperti kita. Tapi mereka selalu bersabar.
Israel dan Sikap Kita
Israel memang biadab. Tidak usah diperdebatkan lagi. Al-Qur’an dan kitab-kitab samawi sudah mengingatkan kita akan hal itu.Jangankan kita orang biasa, bahkan para nabi yang diutus kepada mereka saja selalu berusaha untuk mereka bunuh. Nabi Harun as., Yahya as., Nabi Isa as., termasuk nabi kita Muhammad saw.
Tapi yang lebih tidak masuk akal lagi adalah sikap lemah mayoritas kita sebagai muslim terhadap agresi yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Baik secara politik, militer mapun ekonomi.
Israel sendiri adalah negara kecil yang baru berdiri tahun 1948. Padahal, jumlah populasi Yahudi di seluruh dunia hanya 0,22% dari total jumlah populasi dunia,—bandingkan dengan jumlah populasi umat muslim yag mencapai 22.43%.
Kemudian, dari segi geografis, Israel berada ditengah-tengah teritorial negara-negara teluk Arabia, yang mayoritas merupakan negara-negara muslim petro dollar penghasil minyak. Sayangnya, kekuatan yang diatas angin itu tidak berarti apa-apa buat Palestina. Tidak ada tekanan berarti buat kelancangan Israel.
Mereka (negara-negara Arab) dan kita juga sebagai sesama Muslim, tidak jauh berbeda. Hanya bisa berdoa, menyumbang dana, dan menekan secara doplomatik. Itupun setelah perang berkobar.
Padahal jika kita mau bersatu, berjuang sesuai kemampuan dan potensi masing-masing, saat ini juga Israel bisa hengkang dari bumi Palestina.
Akibat Lemahnya Persatuan
Coba kita renungi. Dahulu ketika orang-orangYahudi berniat mendirikan negara Israel di Palestina, kalau bukan karena bantuan sekutu dan lampu hijau yang diberikan sebagian negara muslim sendiri, tidaklah mungkin mereka mampu bercokol sampai saat ini.
Mungkin mereka—sebagian negara muslim—memperoleh sedikit keuntungan tatkala memberikan lampu hijau kepada mereka (Israel dansekutu), tapi keuntungan yang diperoleh tentu tidaklah sebanding dengan kerugian yang didapat.
Penjajahan di bumi Palestina, korban peperangan tiada henti, Masjidil Aqsha yang ternoda, termasuk menurunya elektabilitas keamanan politik dan ekonomi, yang bukan saja di Palestina tetapi juga menjalar ke negara-negara Arab di kawasan, dan bahkan efek dominonya terasa ke seluruh negara-negara di dunia, khususnya umat muslim termasuk Indonesia. Itulah salahsatu gambaran dari kerugian-kerugian yang kita dapatkan saat ini.
Kesalahan Harus Diperbaiki
Baiklah, kita anggap misalnya kesalahan itu sebagai dosa lama. Tetapi nasi yang sudah menjadi bubur bukan berarti tidak bisa memberi manfaat, sebaliknya tinggal memberi kecap, krupuk, dan irisan daging justru rasanya lebih sedap walaupun tidak semengenyangkannya nasi.
Artinya, ketika seseorang berbuat satu kesalahan,bukan berarti harus duduk termangu diam meratapi kesalahan sehingga mendatangkan kesalahan yang baru. Tapi justru berbuatlah kebaikan yang lebih agar dapat menutupi kesalahan-kesalahan itu.
Siapa Yang Menguatkan Israel??
Sokongan terbesar Israel jelas Amerika. Dan mayoritas negara-negara, Arab khususnya, takut bukan kepada Israelnya tapi terlebih karena ada AS. di belakangnya.
Pendirian Israel sendiri merupakan kehendak politik AS. setidaknya agar negara-negara Arab sulit untuk bersatu, karena secara letak geografisnyapun Isarel tepat di tengah-tengah mereka. Sedang Amerika,memanfaatkan kesempatan ini untuk menguasai sumber-sumber minyak di kawasan,sambil menancapkan kekuatan politik dan militernya di kawasan. Intinya, Israel adalah negara boneka AS. sekaligus pengintai di kawasan agar negara-negara Muslimtidak besatu. Sehingga kepentingan ekonomi mereka tidak terganggu.
Betul memang AS. adalah negara superpower alias adidaya. Tapi pertanyaanya, siapa gerangan yang mengadidayakan AS.?! Jawabannya adalah kita. Ternyata kita sendiri yang mengadidayakannya. Bukan orang lain.
Kitalah yang dengan rela menyumbang berton-ton emas, berjuta-juta barel minyak, yang kemudian mereka jual kembali kepada kita. Mengonsumsi produk-produk mereka dari mulai makanan, pakaian, hiburan bahkan idiologi mereka.
Kita sekolahkan generasi-generasi kita ke sana dengan suka cita. Dari calon raja, militer, guru, agamawan kita sekolahkan disana. Hasilnya sebagian besar mereka menjadi duta-duta adidaya di negara kita sendiri.
Jumlah mereka tidak lebih banyak dari jumlah kita.Tetapi perwakilan dan duta-duta mereka tesebar luas, dan bahkan kita sendiri bangga dengan kehadiran mereka.
Kekayaan mereka tidak lebih banyak dari jumlah kekayaan yang tertanam di negara-negara kita, tetapi kita lebih nyaman dikelola mereka, dan kita terima beres walaupun harus membelinya kembali.
Nah, jika presiden dan menteri-menterinyanya hasil didikan mereka, militer, media, bahkan ulama-ulama keagamaan juga hasil didikan mereka. Sudah dapat dibayangkan peta perjuangan mereka berkiblat ke arah mana?!
Dampaknya, tatkala kita ditindas oleh negara adidaya, seperti halnya Palestina oleh Israel dan sekutunya, kita tidak bisa berbuat banyak. Hanya doa yang bisa dipanjatkan, mengirimkan obat-obatan dan makanan. Bukan berbuat sesuatu yang lebih prinsipil yang bukan hanya mengobati perang sesaat, tapi mencegah perang selama-lamanya.
Memang ini bukanlah perkara mudah, apalagi ditengah-tengah ekeonomi yang sangat bergantung kepada mereka. Di tengah-tengah utusan-utusan mereka—baik asing dan orang pribumi—yang dengan gigihnya mempromosikan agenda dan menggiring pemikiran kita untuk menyutuji, mengikuti dan mendukung visi-misi mereka.
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Dahulu mungkin ada aksi heroik, seperti raja Faisal yang memboikot pasokan minyak Saudi ke Amerika. Jelas Amerika kelimpungan,seperti ikan tanpa air. Dulu ada Sukarno yang berani menekan kebijakan-kebijakan politik Amerika. Salah satunya dengan melancarkan nasionalisasi perusahaan-prusahaan migas asing di Indonesia. Atau Mesir, dan beberapa negara lainnya yang saat itu bersatu menekan Israel.
Sekarang, gerakan-gerakan itu tidak pernah terlihat lagi. Permasalahannya bukan tidak berani, tapi memang tidak ada niat samasekali. Wong yang menjadi pemimpin-pemimpin dari mulai birokrasi, pendidikan, militer bahkan agama di negara-negara muslim adalah didikan mereka. Jadi mau bagaimana lagi. Apa yang bisa diharapkan?!
Warga Palestina adalah makhluk-makhluk pilihan yang penyabar. Walaupun hidup dalam kesempitan dan peperangan tapi tetap bertahan engganuntuk mengungsi.
Ketika mereka ditanya kenapa enggan mengungsi, ke Yordan atau negara tetangga lainnya? Mereka menjawab: “Jika kami lari dari tanah ini (Palestina), maka siapa lagi yang akan menjaga masjid Al-Aqsha? Siapalagi yang akan menjaga tanah wakaf umat Islam? Biarkan kami tetap di sini,mewakili kalian (seluruh umat Islam di dunia)”
Tidakkah kita sadar bahwa mereka di sana sebenarnya sedang mewakili kita, melindungi tanah suci Palestina, menggantikan kewajiban kita menjaga warisan umat.
walaupun dengan modal persenjataan yang sangat minim, dan kekuatan militer yang sedikit. Tetapi dengan modal keyakinan dan kepasrahan yang melangit membuat mereka berani tak takut mati. Mengharap syahid.
Ironis, tatkala mereka mempersiapkan kematian mulia, sementara kita lebih mempersiapkan diri agar lebih hidup sejahtera didunia.
Mari kita dukung perjuangan mereka dengan doa,harta, dan apa pun yang bisa kita berikan. Tetapi ingat, di antara dukungan terbesar adalah persatuan umat.
Mungkin saja, doa telah dipanjatkan, kucuran dana teriliunan telah mengalir ke Palestina yang datang dari berbagai belahan dunia.Tetapi tanpa persatuan, peperangan akan terus terjadi, korban jiwa, dan rasa sakit hati umat muslim akan terus berlanjut.
Saya tidak mengajak untuk anti-Barat, tetapi janganlah kita terlampau bangga, kagum dengan sesuatu yang datang dari Barat, terutama budaya dan idiologi mereka. Karena sesuatu yang kita kagumi akan mudah menjadi cinta. Jika dasarnya adalah cinta maka, manis atau pahit, panas atau dingin, benar atau sesat akan tetap di telan juga.
Sekarang mari berjabat tangan. Lepaskanlah sejenak atribut golongan, partai, madzhab dan lainnya untuk sebuah persatuan. Perbedaan memang selalu ada, tetapi alasan untuk bersatu tentu lebih luas dari sekedar perbedaan-perbedaan yang kita punya.
Jakarta, 13 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H