"Kok nggak dihabiskan antibiotiknya? Ini masih ada sisa loh."
"Ah, aku udah nggak sakit kok. Batuk dan flu sudah hilang. Badanku rasanya udah fit lagi."
***
"Duh, batukmu tambah parah ya kedengarannya. Lebih baik kamu ke dokter deh."
"Iya nih. Tapi kalau ke dokter pasti aku disuruh istirahat. Tiga hari lagi mau rapat koordinasi. Aku harus nyiapin bahan presentasi. Nanti aku ke apotek aja deh beli antibiotik biar cepet sembuh."
Pembaca sekalian pernah bertemu dengan situasi di atas? Atau jangan-jangan punya pengalaman pribadi sebagai pasien seperti kondisi di atas? Hati-hati lho, bayang-bayang resistensi antimikroba akan menghantui kita.
Apa Itu Resistensi Antimikroba
Resistensi Antimikroba (Antimicrobial Resistance) sebetulnya bukan hal baru. Namun semakin hari isu AMR semakin meningkat dan pastinya semakin mengkhawatirkan.
Menurut WHO, Resistensi Antimikroba digambarkan sebagai suatu kondisi dimana bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan.
Hal ini menyebabkan obat-obatan atau antimikroba (antibiotik/antivirus/antifungi/antiparasit) yang ada tidak lagi efektif melawan mikroba tersebut.Â
Akibatnya penyakit infeksi akan semakin sulit untuk diobati, penyebaran penyakit semakin meningkat, memperparah penyakit, hingga meningkatkan risiko kematian.
WHO menyatakan bahwa AMR sebagai satu dari 10 ancaman kesehatan publik. Diperkirakan AMR bertanggung jawab langsung terhadap 1.27 juta kematian global pada tahun 2019 dan berkontribusi terhadap 4.95 juta kematian.
Secara global terdapat 34,500 kasus kematian yang disebabkan oleh AMR dan 133,800 kasus kematian yang terkait dengan AMR pada tahun 2019.
Selain itu dikutip dari healthdata.org, AMR menjadi penyebab kematian tertinggi keempat di Indonesia pada tahun 2019 setelah penyakit kardiovaskular, neoplasma (tumor/kanker), penyakit ginjal dan diabetes.
Adapun lima mikroba patogen yang sangat diwaspadai di Indonesia karena keterkaitannya dengan kematian akibat AMR antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Acinetobacter baumannii, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae.
Colistin adalah satu-satunya pengobatan lini terakhir untuk penyakit yang mengancam jiwa akibat infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae resistensi karbapenem (yaitu E. coli, Klebsiella, dll).
Bakteri resisten terhadap colistin juga telah terdeteksi di beberapa negara dan wilayah, yang menyebabkan infeksi dimana tidak ada pengobatan antibiotik yang efektif saat ini.
Tahun 2019, indikator AMR baru dimasukkan ke dalam kerangka pemantauan SDG (Sustainable Development Goals).
Indikator ini memonitor frekuensi infeksi aliran darah karena dua patogen yang resisten terhadap obat tertentu yakni Staphylococcus aureus resisten Methicilin (MRSA); dan E.coli resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga (3GC).
Penyebab Resistensi Antimikroba
Mekanisme kerja antimikroba dalam tubuh dibagi menjadi beberapa kelompok antara lain menghambat sintesis dinding sel; depolarisasi membran sel; menghambat sintesis protein; menghambat sintesis asam nukleat; dan menghambat metabolisme bakteri.
Sementara itu berdasarkan kelompok bakterinya, antibiotik dibagi menjadi dua kategori yakni antibiotik spektrum luas (broad spectrum) dan antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum).
Antibiotik spektrum luas bekerja terhadap kelompok bakteri gram positif dan negatif, sementara antibiotik spektrum sempit bekerja terhadap kelompok bakteri gram negatif saja atau gram positif saja.
Ketika resistensi terjadi, maka mikroba tidak lagi merespon terhadap mekanisme-mekanisme kerja dari antimikroba ini. Hal ini umumnya terjadi akibat penggunaan antimikroba yang salah (misuse) dan/atau penggunaan yang berlebihan (overuse).
Berikut beberapa faktor penyebab terjadinya resistensi antimikroba:
1. Penggunaan obat yang irasional
Keberhasilan suatu pengobatan ditentukan oleh rasionalisasi penggunaannya, yakni tepat obat, tepat dosis, dan tepat indikasi. Kasus resistensi antimikroba seringkali terjadi ketika dokter kurang tepat dalam menetapkan diagnosis dan/atau meresepkan antibiotik spektrum luas sebagai lini pertama pengobatan yang sebetulnya tidak perlu. Atau ketika dokter meresepkan antibiotik padahal penyebabnya adalah virus yang seharusnya diobati dengan antivirus.
Selain itu fakta bahwa tenaga kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek dapat menyerahkan antimikroba kepada pasien secara bebas tanpa resep dokter juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko AMR di Indonesia.
Konsep swamedikasi (pengobatan oleh diri sendiri) disalahartikan karena sebetulnya swamedikasi hanya diperbolehkan dilakukan untuk mengatasi gejala penyakit ringan dengan menggunakan obat-obat golongan obat bebas terbatas, obat bebas, obat bahan alam (OBA), dan suplemen kesehatan.
Jadi artinya obat keras seperti antibiotik tidak seharusnya diserahkan oleh tenaga kefarmasian kepada pasien yang melakukan swamedikasi. Apalagi jika tidak disertai dengan informasi dan edukasi yang jelas.
Fenomena ini bahkan semakin meluas di era digitalisasi dimana kini akses masyarakat semakin dipermudah karena banyak e-commerce yang menjual antibiotik secara online tanpa mempersyaratkan resep dokter.
2. Kepatuhan Pasien
Resistensi antimikroba juga dipengaruhi oleh ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan antimikroba sesuai dengan resep atau petunjuk dokter dan apoteker.Â
Sering ditemukan pasien tidak patuh ketika seharusnya dia meminum antimikroba yang diresepkan hingga habis karena merasa sudah sehat. Akibatnya mikroba yang menginfeksi tubuhnya tidak betul-betul mati dan malah menyesuaikan diri (bermutasi).
Lebih parahnya lagi, antimikroba yang tersisa diberikan kepada orang lain yang menurut mereka memiliki gejala penyakit yang mirip atau sama, padahal belum tentu orang lain tersebut betul-betul membutuhkan antimikroba.
Selain itu tidak jarang ditemui pasien yang melakukan diagnosis sendiri (self diagnose) kemudian membeli antimikroba secara mandiri tanpa resep dokter dengan alasan ingin cepat sembuh.
Biasanya mereka melakukan hal ini ketika sebelumnya pernah mendapatkan resep antimikroba tertentu untuk mengatasi gejala penyakit yang dialami.
3. Penggunaan antimikroba yang tidak terkontrol pada hewan ternak
AMR tidak hanya disebabkan oleh faktor manusia, tetapi juga dari hewan ternak. Selama bertahun-tahun antibiotik digunakan pada pakan hewan untuk mengobati dan mencegah penyakit.
Sebagai contoh antibiotik digunakan pada pakan unggas untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang terdapat pada usus unggas.
Cara ini diharapkan dapat membantu agar usus unggas dalam kondisi sehat sehingga tidak mengganggu penyerapan nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan unggas (growth promotor).
Namun penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol pada hewan ternak akan menyebabkan terbentuknya residu antimikroba pada daging hewan ternak dan akan berpotensi menyebabkan AMR pada manusia yang mengkonsumsi hewan ternak tersebut.
Penyebaran resistensi antimikroba ini dapat meluas ketika manusia memiliki akses yang terbatas pada WASH yaitu clean water (air bersih), sanitation (sanitasi) dan hygiene (higiene). Atau ketika antimikroba yang rusak atau kedaluwarsa dibuang secara sembarangan yang berpotensi mencemari tanah dan air.
Ancaman Serius Resistensi Antimikroba sebagai Silence Pandemic
Resistensi antimikroba adalah ancaman yang sangat serius dan tidak bisa kita sangkal. AMR dapat berpotensi besar menjadi silence pandemic (pandemi senyap) jika tidak dilakukan pengendalian distribusi maupun penggunaan secara lebih ketat dan tepat oleh seluruh lapisan stakeholder.
Beberapa ancaman serius yang dapat terjadi akibat AMR misalnya:
1. Memperlama waktu penyembuhan serta meningkatkan biaya pengobatan dan biaya perawatan.
2. Penyakit infeksi akan semakin sulit disembuhkan, sementara penemuan antimikroba baru yang lebih poten membutuhkan waktu yang lama karena membutuhkan uji pre-klinik dan uji klinik untuk membuktikan keamanan (safety), khasiat (efficacy), dan mutunya (quality).
3. Meningkatkan risiko kematian akibat sepsis (infeksi sistemik) pada proses prosedur medis seperti tindakan bedah, kemoterapi, hingga transplantasi organ.
Tahun 2024 WHO memperbaharui Daftar Prioritas Bakteri Patogen (Bacterial Pathogen Priority List) yang pertama kali ditetapkan pada tahun 2017.Â
Penyusunan daftar ini bertujuan untuk memandu alokasi sumber daya; penelitian dan pengembangan antibakteri baru; dan mendukung pengembangan strategi efektif untuk mencegah, mengendalikan, dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh patogen prioritas.
Selain itu dalam penggunaan antibiotik, ada pedoman khusus yang harus diterapkan. Jadi tenaga kesehatan tidak bisa sembarangan menentukan antibiotik untuk mengobati penyakit infeksi, melainkan harus sesuai dengan lini atau prioritasnya. Pada tahun 2017 WHO pertama kalinya memperkenalkan The AWaRe Classification, yang terdiri dari 3 kelompok daftar golongan antibiotik yaitu:
1. Access
Merupakan kelompok antibiotik yang memiliki aktivitas melawan berbagai patogen rentan yang umum dijumpai dan menunjukkan potensi resistensi lebih rendah dibandingkan kelompok antibiotik lainnya. Direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama atau kedua untuk sindrom menular,
2. Watch
Merupakan kelompok antibiotik yang memiliki potensi resistensi lebih tinggi sehingga diprioritaskan sebagai target utama dalam penatagunaan dan pemantauan. Direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama atau kedua untuk sindrom menular,
3. Reserve
Merupakan kelompok antibiotik yang disediakan untuk pengobatan infeksi yang dikonfirmasi atau diduga disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap beberapa obat.
Antibiotik kelompok ini harus diperlakukan sebagai pilihan terakhir dengan mempertimbangkan asas risiko-manfaat yang menguntungkan dan terbukti dapat melawan pathogen prioritas tinggi dalam BPPL yang ditetapkan WHO,
Tujuan penggunaan The AWaRe Classification adalah sebagai alat bantu bagi penyusun kebijakan, peneliti, dan penyedia layanan kesehatan untuk mendukung kegiatan peresepan, pemantauan, dan penatalayanan antibiotik.
Upaya Pencegahan AMR
Upaya pencegahan AMR harus diketahui dan melibatkan seluruh pihak secara komprehensif mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan dan tenaga kefarmasian, hingga masyarakat/pasien. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemerintah
Berkaca pada situasi saat ini, pemerintah sebagai regulator perlu memperketat kembali regulasi yang mengatur distribusi dan penggunaan antimikroba.Â
Selain itu edukasi dan kampanye berkelanjutan tentang bahaya penggunaan antimikroba secara sembarangan dan risiko AMR perlu dilakukan kepada tenaga kesehatan, tenaga kefarmasian, peternak, dan masyarakat umum.
2. Pelaku usaha
Pelaku usaha dibidang farmasi dan obat hewan juga perlu mengutamakan kesehatan masyarakat umum dan tidak semata-mata mengutamakan keuntungan atas penjualan produk antimikroba.
Selain itu peternak juga harus aware bahwa penggunaan antibiotik untuk hewan ternak hanyalah untuk pengobatan dan bukan sebagai growth promotor dengan tujuan memperoleh keuntungan semata.
3. Tenaga medis dan tenaga kefarmasian
Kedua profesi ini dituntut untuk selalu mengutamakan kesehatan masyarakat dalam menjalankan pekerjaannya. Oleh sebab itu kedua profesi ini juga harus terus memperbaharui ilmu pengetahuan yang dimilikinya, termasuk jika berkaitan dengan tata laksana dan pengobatan penyakit infeksi.
Selain itu edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga harus terus dilakukan supaya awareness masyarakat terhadap penggunaan antimikroba dan risiko AMR semakin meningkat.
4. Masyarakat/pasien
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat/pasien saat menggunakan antimikroba misalnya:
- Gunakan antimikroba sesuai resep dokter dan selalu habiskan antimikroba yang diresepkan. Jangan ragu bertanya kepada apoteker terkait cara penggunaan dan penyimpanan antimikroba. Jangan melakukan swamedikasi dengan membeli antibiotik berdasarkan self diagnose. Antimikroba bukan 'obat dewa' yang bisa menyembuhkan segala penyakit.
- Dapatkan antimikroba dari sarana yang resmi untuk menjamin keaslian produknya.
- Jangan sharing antimikroba dengan orang lain karena kondisi tubuh dan penyakit masing-masing orang berbeda.
- Jangan buang antimikroba yang sudah rusak atau kedaluwarsa dengan sembarangan. Rusak lebih dulu kemasan lalu buang ke tempat sampah yang tidak berisiko mencemari tanah maupun air.
Resistensi antimikroba adalah ancaman serius bagi seluruh umat manusia di bumi. Jangan biarkan ancaman-ancaman ini menjadi kenyataan yang berdampak pada keberlangsungan kehidupan umat manusia di masa depan.
Tanya obat, tanya apoteker. Cherio!
Referensi
The Lancet | WHO BPPL 2024 | WHO AWaRe | Healthdata.org | AMR OverviewÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H