Jadi artinya obat keras seperti antibiotik tidak seharusnya diserahkan oleh tenaga kefarmasian kepada pasien yang melakukan swamedikasi. Apalagi jika tidak disertai dengan informasi dan edukasi yang jelas.
Fenomena ini bahkan semakin meluas di era digitalisasi dimana kini akses masyarakat semakin dipermudah karena banyak e-commerce yang menjual antibiotik secara online tanpa mempersyaratkan resep dokter.
2. Kepatuhan Pasien
Resistensi antimikroba juga dipengaruhi oleh ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan antimikroba sesuai dengan resep atau petunjuk dokter dan apoteker.Â
Sering ditemukan pasien tidak patuh ketika seharusnya dia meminum antimikroba yang diresepkan hingga habis karena merasa sudah sehat. Akibatnya mikroba yang menginfeksi tubuhnya tidak betul-betul mati dan malah menyesuaikan diri (bermutasi).
Lebih parahnya lagi, antimikroba yang tersisa diberikan kepada orang lain yang menurut mereka memiliki gejala penyakit yang mirip atau sama, padahal belum tentu orang lain tersebut betul-betul membutuhkan antimikroba.
Selain itu tidak jarang ditemui pasien yang melakukan diagnosis sendiri (self diagnose) kemudian membeli antimikroba secara mandiri tanpa resep dokter dengan alasan ingin cepat sembuh.
Biasanya mereka melakukan hal ini ketika sebelumnya pernah mendapatkan resep antimikroba tertentu untuk mengatasi gejala penyakit yang dialami.
3. Penggunaan antimikroba yang tidak terkontrol pada hewan ternak
AMR tidak hanya disebabkan oleh faktor manusia, tetapi juga dari hewan ternak. Selama bertahun-tahun antibiotik digunakan pada pakan hewan untuk mengobati dan mencegah penyakit.
Sebagai contoh antibiotik digunakan pada pakan unggas untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang terdapat pada usus unggas.