Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Tantangan Pelaku Usaha Sektor Farmasi di Era Jaminan Produk Halal

19 Maret 2024   07:00 Diperbarui: 19 Maret 2024   13:02 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Dilansir dari laman kemenag.go.id, sekitar 87.2% penduduk Indonesia beragama Islam. Menurut data sensus tahun 2020 seperti yang tercantum dalam laman BPS, jumlah penduduk Indonesia tercatat 270.203.917 jiwa. Ini berarti ada sekitar 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Dilansir laman worldpopulationreview.com, Indonesia berada dalam urutan kedua dari 10 negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Jika dikaitkan dengan sektor ekonomi, ini menjadikan Indonesia sebagai pasar produk halal global terbesar di dunia.

Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, menjadi payung hukum utama terkait kebijakan jaminan produk halal di Indonesia. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan yang diharamkan.

Kewajiban sertifikasi produk halal ini dilakukan melalui beberapa tahap, dimulai tahap pertama yaitu 1) Produk makanan dan minuman; 2) Bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong produk makanan dan minuman; 3) Hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Tenggat waktu sertifikasi halal pada tahap pertama ini adalah 17 Oktober 2024. Sedangkan penahapan selanjutnya meliputi kategori produk seperti pada bagan terlampir.

Timeline Pelaksanaan Penahapan Kewajiban Sertifikasi Halal (Sumber: BPJPH)
Timeline Pelaksanaan Penahapan Kewajiban Sertifikasi Halal (Sumber: BPJPH)

Sebagai seorang farmasis, tentu perhatian saya tertuju pada penahapan kewajiban sertifikasi halal produk farmasi yakni 1) Obat Tradisional (Obat Bahan Alam), Suplemen Kesehatan, dan Kuasi di tanggal 17 Oktober 2026, serta 2) Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras (kecuali Psikotropika) di tanggal 17 Oktober 2034.

Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan pelaku usaha sektor farmasi di Indonesia dalam memenuhi regulasi ini? Apa saja tantangan yang mungkin dihadapi para pelaku usaha dan regulator dalam mengimplementasikan ketentuan ini?

Sekilas tentang Sistem Jaminan Produk Halal

Setelah UU nomor 33 tahun 2014 terbit, salah satu perubahan yang paling mendasar adalah proses sertifikasi halal yang dilakukan melalui sinergi dari tiga pihak yaitu :

1. Badan Penyelenggara Jaminan produk Halal (BPJPH)

Bertanggung jawab untuk menetapkan regulasi, menerima dan memverifikasi pengajuan produk yang akan disertifikasi halal, serta menerbitkan sertifikat dan label halal.

2. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Berwenang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Ketetapan halal ini akan digunakan sebagai dasar BPJPH dalam menerbitkan sertifikat halal produk.

3. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)

Bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk yang dilakukan oleh auditor halal yang dimiliki LPH.

Bicara tentang produk halal tidak hanya sebatas proses produksinya saja, tetapi juga pemilihan bahan baku dan bahan kemas (termasuk proses perolehan bahan bakunya); fasilitas dan peralatan yang digunakan; hingga proses penyimpanan dan pendistribusiannya. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu standar atau pedoman jaminan mutu produk untuk memastikan kehalalan produk.

Sebelumnya, Sistem Jaminan Halal (SJH) / Halal Assurance System (HAS 23000) adalah standar yang dijadikan pedoman sertifikasi halal di Indonesia yang diterbitkan oleh LPPOM MUI. Ada 11 kriteria yang harus dipenuhi untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah terbitnya UU nomor 13 tahun 2014 tadi, BPJPH menetapkan 5 kriteria sebagai standar Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) / Halal Product Assurance System (HPAS). Kriteria tersebut antara lain:

1. Komitmen dan Tanggung Jawab (mencakup Kebijakan Halal, Tim Manajemen halal, dan Pelatihan)

2. Material

3. Proses Produk Halal (mencakup fasilitas produksi, Standard Operational Procedure (SOP), dan penanganan produk tidak sesuai)

4. Produk, termasuk sistem ketertelusuran

5. Monitoring dan Evaluasi (mencakup audit internal dan tinjauan manajemen).

Kriteria SJPH (Sumber: halalmui.org)
Kriteria SJPH (Sumber: halalmui.org)

Lalu apa saja isu dan tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku usaha dalam memenuhi dan mengimplementasikan ketentuan sertifikasi produk halal ini?

Tantangan Pelaku Usaha Sektor Farmasi

Seperti yang sudah sering saya singgung pada artikel yang lalu-lalu. Obat merupakan komoditi yang high regulated (memiliki standar regulasi yang tinggi), karena pada dasarnya obat adalah racun. Obat dapat bersumber dari bahan alami (tumbuhan, hewan), maupun sintesis bahan kimia. Oleh sebab itu seluruh proses produksi dan rantai distribusinya perlu diatur secara ketat. Mulai dari pemilihan bahan baku (formulasi), proses pembuatan, pengujian mutu, pengemasan, penyimpanan, hingga pendistribusian.

Bicara tentang produksi obat tidak lepas dari standar Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) / Good Manufacturing Practice (GMP). Sedangkan distribusi produk obat juga tidak lepas dari standar Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) / Good Distribution Practice (GDP). Kedua standar ini ditetapkan oleh regulator seperti BPOM dan/atau WHO untuk memastikan keamanan, mutu, dan khasiat obat tetap terjamin hingga sampai di tangan pasien.

Dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Sistem Jaminan Produk Halal, tentunya tantangan pelaku usaha di bidang produksi dan distribusi obat semakin bertambah. Apa saja tantangan itu?

1. Ketergantungan pada importasi bahan baku obat

Pengembangan produk halal harus dimulai dari pemilihan bahan baku. Faktanya, perolehan bahan baku obat di Indonesia 90% masih bergantung dari luar negeri (impor). Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karena teknologi dan fasilitas produsen dalam negeri belum memadai untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri.

2. Sertifikasi halal produsen bahan baku obat luar negeri

Untuk memproduksi produk obat halal, pemilihan dan perolehan bahan baku dan bahan kemas juga harus tersertifikasi halal. Namun karena perolehan bahan baku obat masih melalui importasi, tidak semua produsen bahan obat luar negeri tersertifikasi halal oleh lembaga halal yang diakui oleh BPJPH/MUI. Sesuai PP 39/2021, produk halal dari luar negeri harus tersertifikasi halal dari BPJPH atau lembaga halal luar negeri (LHLN) yang diakui BPJPH.

Update terakhir per Maret 2023 seperti yang tercantum dalam laman BPJPH, baru ada 16 LHLN yang bersepakat dengan BPJPH untuk lingkup farmasi dan produk kimia. Diantaranya berasal dari negara Malaysia, China, India, Pakistan, Australia, USA, Brazil, dan Kanada. Daftar ini bisa bertambah di kemudian hari.

3. Traceability kehalalan bahan obat impor yang belum tersertifikasi halal

Pemilihan bahan baku adalah salah satu proses penting saat akan membuat produk halal. Dan salah satu kriteria dalam SJPH tadi adalah traceability. Setiap bahan baku yang digunakan harus bisa diidentifikasi dan ditelusuri kehalalannya. Masalahnya belum semua bahan obat impor tersertifikasi halal, karena bisa jadi proses sintesisnya belum bisa memenuhi kriteria halal. Oleh sebab itu akan ada potensi pelaku usaha kesulitan dalam mengidentifikasi kehalalan produk yang dibeli.

4. Produk farmasi tidak didesain sebagai produk halal sejak awal

Sebelum beredar di masyarakat, suatu produk obat harus diregistrasikan lebih dulu ke BPOM sebagai bentuk pengawasan pre-market. Pada proses pendaftaran ini, industri farmasi wajib melaporkan seluruh bahan baku yang digunakan dalam pembuatan obat. Akan menjadi tantangan besar bagi industri farmasi jika sejak awal produk yang dikembangkan tidak didesain sebagai produk halal.

Ketika mereka harus mengubah bahan baku digunakan untuk produk yang sudah beredar, industri farmasi harus melakukan reformulasi, mengulang uji stabilita, bahkan bisa jadi mengulang uji bioavailabilitas dan/atau uji klinik. Hal ini tentunya akan berdampak pada cost produksi, waktu pengembangan, bahkan berpotensi menyebabkan kelangkaan obat di pasar.

5. Fasilitas produksi / distribusi produk halal

Selain itu, proses pembuatan produk halal juga memerlukan fasilitas khusus (dedicated) supaya produk yang dihasilkan tidak terkontaminasi bahan non-halal. Termasuk juga peralatan produksi yang digunakan. Pun jika fasilitas produksi tidak dedicated, harus ada sistem yang menjamin tidak terjadinya kontaminasi silang dari bahan non-halal/haram.

Sama halnya dengan sarana distribusi (Pedagang Besar Farmasi /PBF). Selain harus memiliki sistem mutu yang dapat menjamin integritas dan mutu produk farmasi, PBF juga harus memiliki sistem yang bisa menjamin area penyimpanan dan transportasi yang digunakan tidak berpotensi menyebabkan kontaminasi silang dari bahan non-halal/haram.

Tentunya, pembuatan fasilitas halal ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Baik itu fasilitas baru maupun fasilitas existing yang harus direnovasi.

Tantangan Apoteker sebagai Tenaga Profesional

Sarana produksi dan distribusi produk farmasi, maupun pelayanan kefarmasian tidak lepas dari peran penting apoteker sebagai tenaga profesional di bidang farmasi.

Pertanyaan berikutnya, seberapa siap apoteker-apoteker di Indonesia dalam menghadapi era jaminan produk halal, khususnya produk farmasi?

Tentu kedepannya, apoteker perlu meningkatkan kompetensi mereka terkait sistem jaminan halal dan bagaimana penerapannya dalam proses produksi dan distribusi produk obat, tanpa harus mengorbankan standar-standar mutu dan keamanan yang sudah ada.

Dalam hal ini, ketiga pihak yang berperan penting dalam proses sertifikasi halal tadi (BPJPH, MUI, & LPH) bisa bekerja sama untuk mengadakan program pelatihan bagi para apoteker. Bukan hanya sebagai penyelia halal, tetapi juga apoteker-apoteker penanggung jawab yang menjadi personel kunci dalam menjamin keamanan, mutu, dan khasiat obat. Selanjutnya, apoteker-apoteker tersebut dapat memberikan pelatihan internal kepada personel-personel terkait di perusahaan.

Penutup

Walaupun kewajiban sertifikasi halal untuk produk obat terkesan masih cukup lama, ini akan menjadi PR besar bagi seluruh stakeholder karena justru persiapan implementasinya membutuhkan waktu yang panjang. Jadi semakin cepat dimulai, akan semakin baik. Pelaku usaha bersama seluruh stakeholder harus segera memikirkan upaya dan kebijakan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan-tantangan tadi.

Bagaimana cara untuk mendorong percepatan produksi bahan obat di dalam negeri, pengembangan fasilitas dan produk farmasi halal, proses sertifikasi halal yang tidak berbelit-belit, hingga biaya sertifikasi yang wajar. Selain itu kita tentu harus tetap terbuka terhadap kemungkinan adanya sumber bahan obat atau proses tertentu yang mungkin tidak bisa memenuhi kriteria halal.

Referensi :

MUI | Kemenag 

Hutagaluh, O. dkk. 2023. Tantangan Sektor Industri Halal Prioritas di Indonesia. Jurnal Alwatzikhoebillah Vol. 9.

Kasri, R. A. dkk. 2021. Intention to Consume Halal Pharmaceutical Products: Evidence from Indonesia. Journal of Islamic Marketing: Emerald Publishing Ltd.

Hakim, U.H. & Anggraeni, F. 2023. Industri Farmasi dalam Kajian Produk Halal: Pendekatan Systematic Literature Review. Journal of Indonesian Sharia Economics.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun