Ada yang menarik ketika belakangan ini saya melihat media sosial saya. Oh, tak hanya media sosial. Beberapa platform berita online juga sudah mengangkat topik ini beberapa kali.Â
Pembaca sekalian sudah mendengar istilah Quiet Quitting? Jujur, saya sendiri baru kali ini mendengarnya.Â
Setelah saya coba pahami, menurut saya pribadi isu ini cukup menarik karena menyoroti tren budaya bekerja di kalangan kaum muda saat ini.Â
Melihat situasi perekonomian yang serba tidak pasti seperti saat ini, bukan tidak mungkin fenomena ini akan merebak lebih luas.Â
Saya mencoba menggali lebih banyak informasi dari beberapa sumber dan menghubungkannya dengan beberapa pengalaman pribadi. Jadi apa sebenarnya Quiet Quitting itu?
What is Quiet Quitting?
Secara harfiah, Quiet Quitting berarti 'berhenti diam-diam'. Istilah ini mengacu pada sebuah tren dalam konteks pekerjaan dan saat ini melanda para kaum muda yang bekerja di dunia korporasi.Â
Jadi jika disesuaikan konteksnya, Quiet Quitting berarti bekerja seperlunya sesuai jobdesc yang diminta oleh atasan atau perusahaan, tidak lebih. Istilah sederhananya, "Do your job, take your pay, and go home" (lakukan pekerjaanmu; ambil gajimu dan pulang).
Well, menurut saya sebetulnya fenomena ini bukan merupakan sesuatu hal yang baru-baru amat. Tanpa disadari, sebagian dari kita bahkan mungkin pernah melakukannya.Â
Untuk menarik lebih banyak perhatian, fenomena ini di-branding dengan istilah yang lebih kekinian sehingga terdengar lebih menarik dan inspiratif di kalangan generasi milenial dan generasi Z yang saat ini mendominasi usia produktif.
Namanya juga Quiet Quitting, seseorang melakukan gerakan mundur teratur dalam menjalankan pekerjaannya.Â
Ada tanda-tanda downgrade di sini, tapi sebetulnya bukannya tidak dapat dideteksi sama sekali meski berlangsung secara diam-diam.Â
Ada tanda-tanda yang sebetulnya bisa diamati, Ketika seorang pekerja melakukan Quiet Quitting seperti:
1. Menarik diri dari kehidupan sosial lingkungan kerja
Quiet Quitters pelan-pelan akan menarik diri dari kegiatan bersosialisasi di tempat kerjanya. Tidak selalu langsung berubah menjadi seseorang yang anti-sosial, tapi paling tidak mereka mulai mengurangi frekuensi sosialisasinya. Misal chit-chat dengan rekan sekantor di pantry, atau hang out setelah jam kerja. Hal ini terjadi karena menurut mereka hal tersebut tidak ada faedahnya.
2. Mengurangi partisipasi dalam event perusahaan
Beberapa perusahaan ada yang aktif mengadakan acara-acara yang tujuannya untuk training/pengembangan karyawan, maupun refreshing seperti acara gathering karyawan.Â
Kegiatan ini bisa diadakan saat hari kerja atau di luar jam kerja, misal akhir minggu. Nah jika ada opsi, para Quiet Quitters ini memilih untuk tidak mengikuti acara atau kegiatan sejenis, terutama jika dilaksanakan di luar jam kantor.
3. Menolak lembur atau pekerjaan di luar jam kantor
Berkomitmen menyelesaikan pekerjaan adalah salah satu bentuk integritas seseorang dalam menjalani pekerjaannya.Â
Jika pekerjaan sudah mendekati deadline, cara yang paling umum untuk menyelesaikannya adalah overtime atau bekerja lembur.Â
Bahkan di beberapa sektor perusahaan, ada saja periode-periode tertentu yang membuat karyawannya harus bekerja lembur karena workload dan pressure yang tinggi.Â
Nah para Quiet Quitters ini tentu tidak mau repot-repot mengorbankan waktu pribadinya demi pekerjaan. Boro-boro lembur sampai malam apalagi sampai berhari-hari, pulang lewat dari jam kerja saja merasa berat hati.
4. Berkurangnya inisiatif dalam bekerja
Salah satu faktor yang dapat membuat seseorang dipromosikan dalam pekerjaannya adalah kesadaran diri untuk berinisiatif. Memberikan sumbangsih berupa pemikiran atau inovasi yang bermanfaat. Baik untuk dirinya sendiri, maupun departemen/divisi untuk mendukung kemajuan perusahaan.Â
Nah, para Quiet Quitters ini juga tidak mau repot-repot berinisiatif untuk melakukan hal itu. Pokoknya lakukan pekerjaan sesuai jobdesc yang telah disepakati di awal, tidak lebih. Minimum target.
Faktor yang Mempengaruhi Quiet Quitting
Nah, sebetulnya kenapa dan bagaimana tren ini bisa muncul? Faktor apa saja yang mempengaruhi para pekerja melakukan Quiet Quitting? Kebetulan sekali, saya sudah melihat fenomena ini dengan mata kepala saya sendiri.Â
Jadi menurut saya Quiet Quitting sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari beberapa hal berikut ini:
1. Perlawanan dari tren hustle culture
Hustle culture yang merupakan suatu budaya bekerja berlebihan, di mana untuk mencapai tujuan tertentu seseorang rela bekerja sepanjang waktu.Â
Mendedikasikan hidupnya untuk bekerja, menempatkan pekerjaan di atas segalanya, hingga tanpa disadari kebiasaan itu justru merusak kesehatan fisik dan mental orang yang menjalaninya.
Nah, Quiet Quitting ini muncul sebagai bentuk perlawanan dari hustle culture tadi dengan alasan untuk mencapai work-life balance demi kesehatan fisik, mental, serta menjaga relasi dengan orang lain di luar pekerjaan.
2. Kompensasi kerja yang tidak sesuai
Semua pekerja tentulah mengharapkan kompensasi yang sesuai dengan beban atau risiko kerja mereka. Dan idealnya, jobdesc dan kompensasi yang akan didapat oleh pekerja seperti gaji berbagai komponen tunjangan, diinformasikan pada saat awal rekrutmen. Jika kedua belah pihak sepakat, tentunya tidak akan masalah.
Quiet Quitters akan muncul ketika seiring berjalannya waktu, kompensasi yang didapat berbeda dengan yang telah disepakati sebelumnya. Atau ketika workload ditambah, tapi gaji segitu-segitu aja. Padahal biaya hidup dan cicilan cenderung naik. Sudah mencoba speak up dan mencoba negosiasi tapi tidak ada tanda-tanda di-acc. Â
3. Penurunan kompensasi
Sebetulnya penurunan kompensasi karyawan terbilang jarang terjadi. Jadi kalau sampai suatu perusahaan menurunkan kompensasi karyawannya, pastilah disebabkan oleh suatu kondisi yang betul-betul serius.Â
Faktor yang mempengaruhinya bisa dari penurunan kinerja karyawan itu sendiri, atau justru dari eksternal seperti situasi perekonomian yang memburuk.
Pandemi Covid19 adalah suatu contoh nyata yang memukul kondisi perekonomian dunia dan menjatuhkan perekonomian banyak negara.Â
Gara-gara pandemi, banyak perusahaan yang sangat terpaksa harus menurunkan gaji karyawannya, bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja dengan cara merumahkan hingga melakukan PHK karyawannya supaya perusahaan bisa tetap bertahan.
Karyawan yang menerima penurunan kompensasi pada awalnya mungkin masih merasa bersyukur karena masih bisa bekerja meski gajinya berkurang. Tapi ketika hal ini berlangsung terus menerus tanpa ada kejelasan, maka cepat atau lambat tindakan Quiet Quitting pun muncul dari karyawan.
4. Lingkungan kerja/atasan yang toksik
Selain kompensasi, salah satu hal yang membuat seseorang memutuskan untuk bertahan di pekerjaannya adalah lingkungan kerja dan karakter atasan.Â
Jadi ketika seseorang terjebak dalam lingkungan kerja atau atasan yang toksik, sangat mungkin ia melakukan Quiet Quitting. Apalagi ketika tidak ada hal yang bisa ia lakukan untuk dapat mengubah hal itu.
Apapun faktor yang mempengaruhinya, Quiet Quitting merupakan suatu tindakan yang kebanyakan diambil seseorang secara sadar. Baik ketika ia sedang berusaha mencari pekerjaan pengganti yang sesuai atau justru merasa too tired to continue, but too poor to quit.
Quiet Quitting, Yay or Nay?
Jujur saya pribadi berpendapat bahwa tindakan Quiet Quitting lebih banyak minusnya dibanding plusnya.Â
Saya agak mengkhawatirkan pengaruh media sosial yang luar biasa ini, akan mendorong timbulnya gerakan massal terutama bagi orang-orang yang gemar latah, mengikuti tren tanpa memahami esensinya.Â
Jika tren Quiet Quitting merebak lebih luas lagi, tentu hanya akan menimbulkan kerugian di kedua belah pihak (pelaku usaha & karyawan). Dan bukan tidak mungkin kondisi ekonomi yang saat ini sudah turun akibat pandemi, malah jadi sulit bangkit.
Quiet Quitting mungkin tidak masalah untuk dilakukan, jika kita memang sudah memperoleh pekerjaan pengganti yang lebih sesuai.Â
Tapi percayalah, Quiet Quitting hanya akan menurunkan performa kita di mata atasan dan perusahaan. Bukan tidak mungkin bahwa Quiet Quitters justru akan masuk dalam daftar teratas karyawan yang akan di PHK karena (sorry to say) mereka dianggap membebani perusahaan.Â
Belum lagi jika ada atasan yang tidak segan untuk menuliskan rekomendasi yang buruk tentang kinerja para Quiet Quitters dan menyulitkan mereka untuk memperoleh pekerjaan selanjutnya.
Mungkin memang masuk akal dan manusiawi ketika para Quiet Quitters bersembunyi di balik alasan work-life balance atau ketidaksesuaian kompensasi. Bagaimanapun kita bekerja bukan untuk menjadi sukarelawan, melainkan untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak.Â
Tapi sebelum kita melakukan hal itu ada baiknya kita lebih dulu berintrospeksi. Apakah kita sudah mengerahkan usaha maksimal kita atau cuma sekadar ikut-ikutan tren. Dalam bekerja tentu tidak akan selalu mulus dan lancar, jadi kita perlu kegigihan dan ketekunan untuk bisa bertahan atau melompat lebih tinggi.
Memulihkan kondisi keuangan perusahaan pasca-pandemi memang bukan suatu hal yang mudah. Jadi sebelum tren Quiet Quitting ini berkembang semakin tidak terkendali, ada baiknya para pelaku usaha juga lebih jeli, peka, dan berempati terhadap kondisi karyawannya.Â
Jika kedua pihak saling peduli, maka fenomena Quiet Quitting ini juga akan quiet disappear (diam-diam menghilang).
Cherio!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H