Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Fenomena Quiet Quitting, Yay or Nay?

5 September 2022   07:00 Diperbarui: 5 September 2022   10:37 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alex Kotliarskyi via unsplash.com

Bahkan di beberapa sektor perusahaan, ada saja periode-periode tertentu yang membuat karyawannya harus bekerja lembur karena workload dan pressure yang tinggi. 

Nah para Quiet Quitters ini tentu tidak mau repot-repot mengorbankan waktu pribadinya demi pekerjaan. Boro-boro lembur sampai malam apalagi sampai berhari-hari, pulang lewat dari jam kerja saja merasa berat hati.

4. Berkurangnya inisiatif dalam bekerja

Salah satu faktor yang dapat membuat seseorang dipromosikan dalam pekerjaannya adalah kesadaran diri untuk berinisiatif. Memberikan sumbangsih berupa pemikiran atau inovasi yang bermanfaat. Baik untuk dirinya sendiri, maupun departemen/divisi untuk mendukung kemajuan perusahaan. 

Nah, para Quiet Quitters ini juga tidak mau repot-repot berinisiatif untuk melakukan hal itu. Pokoknya lakukan pekerjaan sesuai jobdesc yang telah disepakati di awal, tidak lebih. Minimum target.

Faktor yang Mempengaruhi Quiet Quitting

Nah, sebetulnya kenapa dan bagaimana tren ini bisa muncul? Faktor apa saja yang mempengaruhi para pekerja melakukan Quiet Quitting? Kebetulan sekali, saya sudah melihat fenomena ini dengan mata kepala saya sendiri. 

Jadi menurut saya Quiet Quitting sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari beberapa hal berikut ini:

1. Perlawanan dari tren hustle culture

Hustle culture yang merupakan suatu budaya bekerja berlebihan, di mana untuk mencapai tujuan tertentu seseorang rela bekerja sepanjang waktu. 

Mendedikasikan hidupnya untuk bekerja, menempatkan pekerjaan di atas segalanya, hingga tanpa disadari kebiasaan itu justru merusak kesehatan fisik dan mental orang yang menjalaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun