Nah, Quiet Quitting ini muncul sebagai bentuk perlawanan dari hustle culture tadi dengan alasan untuk mencapai work-life balance demi kesehatan fisik, mental, serta menjaga relasi dengan orang lain di luar pekerjaan.
2. Kompensasi kerja yang tidak sesuai
Semua pekerja tentulah mengharapkan kompensasi yang sesuai dengan beban atau risiko kerja mereka. Dan idealnya, jobdesc dan kompensasi yang akan didapat oleh pekerja seperti gaji berbagai komponen tunjangan, diinformasikan pada saat awal rekrutmen. Jika kedua belah pihak sepakat, tentunya tidak akan masalah.
Quiet Quitters akan muncul ketika seiring berjalannya waktu, kompensasi yang didapat berbeda dengan yang telah disepakati sebelumnya. Atau ketika workload ditambah, tapi gaji segitu-segitu aja. Padahal biaya hidup dan cicilan cenderung naik. Sudah mencoba speak up dan mencoba negosiasi tapi tidak ada tanda-tanda di-acc. Â
3. Penurunan kompensasi
Sebetulnya penurunan kompensasi karyawan terbilang jarang terjadi. Jadi kalau sampai suatu perusahaan menurunkan kompensasi karyawannya, pastilah disebabkan oleh suatu kondisi yang betul-betul serius.Â
Faktor yang mempengaruhinya bisa dari penurunan kinerja karyawan itu sendiri, atau justru dari eksternal seperti situasi perekonomian yang memburuk.
Pandemi Covid19 adalah suatu contoh nyata yang memukul kondisi perekonomian dunia dan menjatuhkan perekonomian banyak negara.Â
Gara-gara pandemi, banyak perusahaan yang sangat terpaksa harus menurunkan gaji karyawannya, bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja dengan cara merumahkan hingga melakukan PHK karyawannya supaya perusahaan bisa tetap bertahan.
Karyawan yang menerima penurunan kompensasi pada awalnya mungkin masih merasa bersyukur karena masih bisa bekerja meski gajinya berkurang. Tapi ketika hal ini berlangsung terus menerus tanpa ada kejelasan, maka cepat atau lambat tindakan Quiet Quitting pun muncul dari karyawan.
4. Lingkungan kerja/atasan yang toksik