Jadi ceritanya gara-gara baca ceritanya Mpok Ani yang ditulis Engkong Felix Tani beberapa waktu lalu, jujur saya merasa miris sekaligus prihatin dengan apa yang dialami Mpok Ani. Karena salah pakai salep, matanya jadi bengkak. Harusnya itu salep anulaki, eh pas dipakai ke mata, jadilah demikian.
Saya kurang yakin dengan apa yang terjadi sebenarnya sampai Mpok Ani bisa salah pakai salep, tapi ada dua kemungkinan penyebab yang saya perkirakan.
Pertama label kemasan salep sudah tidak lengkap dan bisa jadi juga kemasannya mirip-mirip salep mata. Jadi Mpok Ani tidak bisa memastikan itu salep yang benar atau bukan. Apalagi matanya sedang sakit, boro-boro bisa baca tulisan di kemasan yang biasanya font size-nya kecil.
Kedua, Mpok Ani sudah sangat mengantuk sehingga tidak sempat membaca label kemasan. Jadi hajar bleh. Sambil berharap keesokan paginya matanya sudah tak sakit lagi.
Oleh sebab itu sebagai seorang apoteker saya jadi tergerak untuk menulis artikel ini, semata-mata ingin berbagi pengetahuan tentang penyimpanan obat yang baik dan benar. Jadi apa yang dialami Mpok Ani tidak terulang kepada pembaca sekalian.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menyimpan Obat di Rumah
Seperti judul artikel ini, saya perlu menekankan bahwa obat sejatinya adalah racun. Karena regimen-lah (komposisi jenis, jumlah, dan frekuensi pemakaian) yang membuat obat memiliki manfaat terapi pengobatan bagi pasien.
Selain regimen, cara penyimpanan pun harus diperhatikan. Kenapa? Karena cara penyimpanan yang salah, bisa menyebabkan obat tidak memberikan efek terapi (efikasi) yang diharapkan.
Penyimpanan yang saya maksud di sini adalah dalam konteks rumah tangga. Kalau penyimpanan di sarana distribusi dan sarana pelayanan sih tidak perlu dibahas sekarang lah ya, karena sudah jelas ada standarnya.
Justru yang perlu diperhatikan adalah cara penyimpanan obat di rumah, karena tidak semua aware dengan masalah ini. Kesannya receh ya? Tapi kenyataannya penting lho.
Jadi apa saja sih hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat di rumah?
1. Baca label kemasan dengan seksama
Pada kemasan obat, pasti ada informasi tentang kondisi penyimpanan yang disarankan. Instruksi ini biasanya dicetak tebal. Beberapa contohnya akan saya sebutkan di bawah. Dengan membaca instruksi penyimpanan pada label, kita bisa menentukan di mana baiknya obat disimpan.
2. Perhatikan kondisi suhu & kelembaban tempat penyimpanan
Masih menyambung poin nomor 1, pembaca mungkin pernah membaca beberapa instruksi penyimpanan obat seperti berikut: 'Simpan di bawah suhu 30C dan terlindung dari cahaya' atau 'Simpan pada suhu sejuk dan hindari sinar matahari langsung', dan sebagainya.
Ingat instruksi ini tidak asal dicantumkan lho karena semuanya telah diperhitungkan berdasarkan data hasil studi stabilita obat.
Perlu diingat bahwa Indonesia memiliki iklim yang hangat dan lembab sepanjang tahun. Dan umumnya obat cenderung tidak stabil jika disimpan di suhu tinggi (panas) dan lembab. Oleh sebab itu perhatikan juga area rumah mana yang suhu ruangannya cenderung panas dan lembab.
Kalau dilihat di film-film, banyak yang menyimpan obat di lemari kamar mandi. Menurut hemat saya cara ini justru kurang tepat karena kondisi kamar mandi umumnya lembab.
Jika kondisi penyimpanan obat tidak sesuai, obat akan rusak meskipun belum kedaluwarsa. Misal warnanya memudar atau berubah kecokelatan karena teroksidasi (misal pada tablet Vitamin C yang terkena sinar matahari), berbau tengik (misal pada bentuk sediaan salep), lembab dan lengket (misal bentuk sediaan obat padat), dan lain sebagainya.
Selain kondisi fisiknya yang rusak, bisa jadi potensi/efikasinya pun menurun. Dengan demikian obat tidak dapat memberikan efek terapi yang diharapkan.
3. Simpan dalam kemasan asli dengan label yang lengkap
Nah ini penting. Hindari betul menyimpan obat tanpa label identitas dan jangan konsumsi obat yang identitasnya tidak jelas untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Jika label/kemasan asli dilepas saat menyimpan obat (misal dengan alasan hemat space penyimpanan), kita tidak tahu apakah di kemudian hari kita masih bisa mengingat itu obat apa. Dan bisa jadi anggota keluarga lain jadi salah mengambil obat. Ujung-ujungnya tragedi Mpok Ani tadi akan terulang. Ngeri kan?
Tidak hanya itu, penggunaan kemasan obat sendiri juga sudah diperhitungkan dalam menjaga stabilitasnya. Jika dikeluarkan dari kemasan aslinya, bisa jadi obat akan cepat rusak.
4. Kunci tempat penyimpananan obat & jauhkan dari jangkauan anak-anak
Mungkin pembaca sering juga membaca instruksi penyimpanaan obat seperti, 'Tutup botol rapat-rapat dan jauhkan dari jangkauan anak-anak'. Nah ini harus betul-betul dipatuhi. Jika ada anak-anak di rumah, sebaiknya obat disimpan di lemari terkunci yang sulit dijangkau anak-anak.
Banyak anak yang susah minum obat, tapi tidak sedikit juga yang suka minum obat karena diberi perisa (flavour) sehingga terasa enak. Tentu kita tidak ingin anak-anak kita temukan sedang asyik minum sirup Paracetamol rasa stroberi saat kita tinggal memasak di dapur kan?
5. Pisahkan obat
Dalam menyimpan obat-obatan di rumah, sebetulnya tidak perlu banyak pemisahan. Contoh, obat untuk anak-anak dan dewasa, atau obat untuk pria dan wanita, atau obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras.
Obat untuk dewasa dan anak-anak umumnya ditentukan oleh regimen dosis yang bisa dibaca pada label atau leaflet kemasan, namun masih merupakan obat yang sama. Begitu juga dengan obat khusus untuk pria dan wanita, maupun obat bebas, obat bebas terbatas, maupun obat keras. Semua informasinya sudah tertera di label kemasan atau leaflet.
Intinya selama kita menyimpan obat seperti poin nomor 3 dan 4 tadi, saya rasa sudah cukup aman untuk mencegah drug misuse (salah penggunaan).
Kecuali area penyimpanan kita mencukupi seperti di apotek, pemisahan obat cukup meliputi obat dalam dan obat luar.
Obat dalam maksudnya obat yang penggunaannya secara oral (masuk ke dalam saluran pencernaan), sedangkan obat luar adalah yang pemakaiannya secara topikal (di permukaan tubuh).
Mengapa penyimpanan obat dalam dan obat luar sebaiknya dipisah?
Meski tidak semua, obat luar banyak yang berbau tajam seperti minyak kayu putih atau minyak gosok, krim pereda nyeri otot, antiseptik (alkohol atau povidone iodine), dan lainnya. Obat-obat semacam ini dikhawatirkan bocor dan merusak obat dalam lainnya jika penyimpanannya disatukan.
6. Perhatikan Expired Date, kondisi obat dan FEFO
Sebelum menggunakan obat, senantiasa perhatikan tanggal kedaluwarsa dan kondisi obat. Apalagi jika obat sudah disimpan lama, bisa jadi kita lupa ada obat yang sudah expired.
Menurut Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), tanggal kedaluwarsa adalah tanggal yang diberikan pada tiap wadah produk (umumnya pada label) yang menyatakan sampai tanggal tersebut produk diharapkan masih tetap memenuhi spesifikasinya, bila disimpan dengan benar.
Nah, tanggal kedaluwarsa/shelf life (umur simpan) obat ini telah ditentukan berdasarkan data hasil studi stabilitas yaitu serangkaian uji yang didesain untuk mendapatkan jaminan stabilitas suatu obat yang dikemas dengan bahan kemas tertentu, disimpan dalam kondisi tertentu, dan pada rentang waktu tertentu.
Jangan lupa perhatikan juga kondisi obat sebelum digunakan. Seperti poin 2 tadi, cara penyimpanan yang salah berpotensi membuat obat menjadi rusak.
Selain itu dalam hal penyimpanan dan pengeluaran obat, ada yang namanya metode FEFO (First Expired First Out). Nah cara ini bisa juga diterapkan di rumah apabila terdapat obat yang sama dengan tanggal kedaluwarsa berbeda. Gunakan lebih dulu obat dengan tanggal kedaluwarsa yang pendek. Tujuannya tentu untuk mencegah timbulnya limbah obat kedaluwarsa.
Kalau sudah kedaluwarsa gimana? Ya dibuang dong ya. Tapi buangnya juga tidak boleh sembarangan.
Baca juga: Jangan Sembarangan Membuang Obat, Kenali "Dagusibu" agar Obat Anda Tak Disalahgunakan
7. Perhatikan Obat-Obat LASA
LASA singkatan dari Look Alike Sound Alike. Maksudnya, beberapa obat ada yang memiliki tampilan (Look Alike) atau nama/lafal (Sound Alike) yang mirip-mirip.
Tanpa bermaksud promosi, salah satu contoh obat Look Alike misalnya Lactulax (Lactulose; untuk mengatasi konstipasi) dan Ikalep (Sod Valproate; untuk mengatasi kejang).
Contoh lain obat dengan kemasan mirip sebenarnya lumayan banyak. Terutama obat-obat generik yang desain kemasannya sederhana; obat dengan zat aktif sama namun berbeda kekuatan; atau obat-obat yang dibuat oleh produsen yang sama.
Sedangkan contoh obat Sound Alike misalnya Paracetamol (antipiretik/penurun demam) dan Salbutamol (obat asma); Ibuprofen (antipiretik) dan Ketoprofen (antiinflamasi non-steroid); Amitriptyline (antidepresan) dan Aminophyllin (untuk pengobatan penyakit saluran pernafasan); Aptor (Acetosal; sebagai analgesik/penghilang rasa sakit) dan Lipitor (Atorvastatin; sebagai antikolesterol), dan lainnya.
Di apotek atau instalasi farmasi rumah sakit, obat semacam ini masuk dalam kategori high-alert sehingga perlu perhatian ekstra (misal diberi penanda), untuk mencegah medication error saat penyiapan dan penyerahan obat ke pasien.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kita juga menyimpan obat-obat LASA di rumah. Apalagi orang awam terkadang agak sulit mengingat nama-nama obat. Itulah mengapa membaca label obat sangat penting . Mungkin pembaca sekalian tahu contoh obat LASA lainnya?
Nah, kira-kira begitulah serba-serbi tentang penyimpanan obat. Sekarang coba cek di rumah masing-masing, apakah kita sudah menyimpan obat dengan baik dan benar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H