Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Uniknya Persamaan Orang Batak dan Orang Korea

27 September 2020   15:27 Diperbarui: 28 September 2020   09:44 2589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dokumentasi pribadi

Oke, sebenarnya ini hanya sekadar pikiran random saya akibat terlalu banyak nonton drama Korea selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Selain WFH (Work from Home), tentunya mau tak mau saya harus pintar-pintar mencari kegiatan atau hiburan selama di rumah -- terutama saat hari libur -- supaya otak saya tidak tumpul dan tetap waras.

Beberapa kegiatan hiburan yang sering saya lakukan selama di rumah saja lumayan beragam. Mulai dari kegiatan yang produktif dan bermanfaat seperti menulis, membaca, belajar memasak, dan tidy up, hingga kegiatan receh yang membuat saya mager seperti nonton film, scrolling media sosial, dan tentunya nonton drama Korea dengan berbagai macam genre.

Sebagai penggemar drama Korea, entah sudah berapa banyak judul dan episode yang saya selesaikan. Drama Korea pertama yang saya tonton berjudul Autumn in My Heart yang dibintangi Song Hye Kyo, Song Seung Hun, Han Chae Young, dan Won Bin. Bagi yang sudah pernah nonton, pasti tahu bagaimana sedihnya jalan ceritanya. 

Sejak drama itulah, saya jadi penggemar setia drama-drama berikutnya dan saya selalu rajin mencari rekomendasi drama apa saja yang menarik perhatian saya untuk ditonton. 

Mulai dari yang bertema komedi romantis, persahabatan, keluarga, misteri, dan thriller, hingga saeguk (sejarah). Dan karena itulah saya jadi tertarik dengan budaya masyarakat Korea.

Beruntungnya saya, bertahun-tahun kemudian akhirnya saya sempat juga menginjakkan kaki di Negeri Ginseng tersebut dan melihat langsung budaya, tradisi, gaya hidup orang-orang di sana. Meski hanya berupa kunjungan singkat, tetap saja menambah wawasan saya tentang kehidupan masyarakat Korea Selatan.

Dan sejauh pengamatan saya, rupanya ada lumayan banyak persamaan budaya, tradisi, dan gaya hidup masyarakat Korea Selatan dan orang Batak. Masa sih? Yah karena kebetulan saya juga boru Batak, saya merasa familiar dan tidak asing dengan budaya, tradisi, dan gaya hidup mereka. Apa saja itu? 

Budaya garis patriarki

Baik orang Korea maupun orang Batak, sama-sama menganut sistem patriarki dimana kaum pria lebih diutamakan daripada wanita. Baik dari segi pendidikan, karier, kedudukan, dan jabatan, hingga warisan, pria mendapatkan privilege dibandingkan wanita.

Selain itu, setelah menikah wanita harus mengikuti suaminya dan mengabdi pada keluarga suaminya. Anak-anak yang dilahirkan pun akan mengikuti marga dari pihak ayah, sementara istri tetap menggunakan marganya sendiri (tidak berubah mengikuti marga suami).

Namun seiring perkembangan zaman, meski keduanya tetap menganut sistem patriarki, kini kedudukan wanita mulai lebih diperhitungkan. Kalau dulu wanita dituntut untuk segera menikah begitu usia mencukupi dan diharapkan untuk fokus mengurus keluarga setelah menikah, sekarang wanita lebih bebas untuk menunda pernikahan demi mencapai impiannya dalam hal pendidikan maupun karier.

Selain itu, kini peluang wanita dalam berkarier juga lebih besar dan posisi-posisi penting pun mulai banyak dipegang oleh wanita. Maka tidak heran, standar usia pernikahan wanita Korea dan boru Batak juga mulai bergeser naik.

Sama-sama punya marga

Orang Batak dan orang Korea sama-sama memiliki marga yang disematkan pada namanya. Bedanya cuma peletakannya. Kalau orang Korea diletakkan di depan nama, orang Batak diletakkan di belakang nama.

Dulu ada aturan di Korea yang melarang pernikahan dengan marga yang sama. Aturan tersebut diatur dalam Hukum Sipil Korea pasal 809. Sama seperti orang Batak, pernikahan dengan marga yang sama pun dilarang secara adat. 

Terutama marga-marga yang sudah menetapkan perjanjian atau ikrar bahwa pria dan wanita dengan marga tertentu tidak boleh menikah (namarpadan). Misal marga Sitorus dan Hutajulu, Sinambela dan Panjaitan, dan lainnya. 

Lalu ada juga kelompok marga Parna (keturunan Raja Naiambaton) yang jumlahnya sangat banyak. Itulah mengapa kalau muda-mudi Batak bertemu, yang ditanya pertama kali adalah marga/boru. Supaya jangan terlanjur cinta, eh ternyata dilarang secara adat.

Seiring perkembangan zaman, pada tahun 2005 pasal 809 tersebut diperbaharui dan Korea Selatan mengizinkan pernikahan dengan marga yang sama. Hal ini disebabkan oleh faktor urbanisasi yang memungkinkan kesempatan orang Korea dengan marga yang sama untuk bertemu dan jatuh cinta lebih besar. 

Terutama pada tiga klan terbesar yakni Kim dari Gimhae, Park dari Milyang dan Lee dari Jeonju. Contohnya kayak pernikahan Song - Song couple yang kemarin heboh itu (Song Joong Ki dan Song Hye Kyo), meski akhirnya mereka bercerai juga sih.

Orang Batak pun kini ada yang menikah dengan marga yang serumpun (dengan catatan tidak ada perjanjian adat di antara kedua marga), padahal boleh dikatakan marga serumpun itu memiliki kekerabatan kakak-adik pada tingkat leluhur. 

Pernikahan dengan marga serumpun ini dianggap dapat mengganggu tatanan dasar/sistem kekerabatan masyarakat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu. Meski demikian, fenomena ini memang terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan/sosial dan tentunya faktor cinta.

Contoh terdekat, karena saya boru Gultom, marga yang serumpun dengan Gultom adalah marga Samosir/Harianja, Pakpahan, dan Sitinjak, yang merupakan keturunan Raja Sonang. 

Di kampung Bapak di Onan Runggu (Pulau Samosir) sudah banyak pernikahan antara marga Samosir dan Pakpahan, Gultom dan Harianja, dan lainnya.

Budaya menghormati yang lebih tua

Satu hal yang paling mencolok yang saya lihat dari budaya orang Korea adalah sikap yang sangat menghormati orang yang lebih tua. Terlihat dari bagaimana mereka lebih mendahulukan orang-orang tua, misal saat makan atau minum bersama, pemberian salam secara formal, mendengarkan nasihat, dan lainnya.

Tidak hanya pada orang-orang tua, tetapi juga pada orang yang lebih tua, misal kakak/abang, senior, rekan kerja atau atasan, dan lainnya. Hal ini juga tercermin pada bagaimana orang-orang yang lebih tua memiliki panggilan khusus dari orang-orang yang lebih muda. Pada budaya orang Batak pun kurang lebih sama. 

Punya panggilan yang berbeda terhadap anggota keluarga

Pernah dengar sebutan Hyung, Eonni, Samchon, Imo? Pembaca yang suka nonton drama Korea seperti saya pastinya tidak asing dengan istilah ini dong ya?

Yah, orang Korea memiliki panggilan yang berbeda terhadap anggota keluarga. Hyung (panggilan dari adik laki-laki kepada kakak laki-laki), Noona (panggilan adik laki-laki kepada kakak perempuan), Oppa (panggilan adik perempuan kepada kakak laki-laki), Eonni (panggilan adik perempuan kepada kakak perempuan), Samchon (Paman/Om), Imo (Bibi/Tante) dan lainnya.

Orang Batak juga sama, memiliki panggilan berbeda terhadap anggota keluarga tertentu. Sebagai contoh, Tulang (panggilan terhadap saudara laki-laki dari pihak Ibu), Inangtua (panggilan terhadap kakak perempuan ibu), Bapa Tua (panggilan terhadap kakak laki-laki dari ayah), Bapa Uda (panggilan terhadap adik laki-laki dari ayah), Namboru (panggilan terhadap saudara perempuan dari pihak ayah). Panggilan terhadap istri atau suami dari mereka juga disesuaikan.

Pendidikan nomor satu

Dalam budaya orang Batak, ada pandangan bahwa pendidikan adalah hal yang nomor satu. Tak peduli apapun latar belakang pendidikan orangtua, apapun pekerjaan orangtua, mereka selalu mengutamakan pendidikan anaknya. 

Betapapun sulitnya mencari uang, para orangtua Batak selalu mengusahakan supaya anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya. Sejalan dengan ungkapan populer Batak: Anakkon hi do hamoraon di au (anakkulah kekayaanku).

Kurang lebih sama dengan kebudayaan orang Korea yang sangat concern dengan pendidikan. Anak-anak sekolah di Korea Selatan seringkali pulang dari sekolah atau tempat belajar hingga larut malam, terutama ketika mereka sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk universitas. 

Tidak heran juga, dulu angka bunuh diri sempat tinggi di kalangan siswa/siswi karena tekanan pendidikan yang keras semacam ini.

Menunda pernikahan sebelum mencapai kemapanan

Salah satu faktor kaum muda Korea menunda pernikahan adalah faktor kemapanan. Saat ini umumnya mereka berusaha untuk lebih dulu meraih karier dan kehidupan yang cukup mapan sebelum akhirnya menikah. 

Mereka mempertimbangkan tingginya biaya hidup yang diperlukan ketika mereka memutuskan untuk berkeluarga. 

Dan salah satu caranya adalah menekan pengeluaran seminim mungkin, misal biaya tempat tinggal. Biaya sewa dan deposit tempat tinggal (misal apartemen) di Korea Selatan lumayan tinggi, apalagi jika ingin membeli rumah tapak.

Maka tidak heran ketika mereka masih single dan merantau ke kota, mereka lebih memilih menyewa apartemen berukuran kecil demi menghemat pengeluaran.

Bahkan saat ini Goshiwon (kos-kosan) yang berukuran super kecil cukup laku di kalangan para karyawan yang baru mulai bekerja demi menghemat pengeluaran. Selain harganya murah, umumnya tidak memerlukan deposit.

Kurang lebih sama dengan orang-orang Batak, kaum muda saat ini (terutama yang merantau) umumnya mengutamakan kemapanan karier dan finansial sebelum memikirkan pernikahan. 

Biaya pernikahan adat Batak di kota yang lumayan tinggi, hingga jaminan kehidupan setelah menikah menjadi faktor utama mengapa mereka ingin memperoleh kemapanan lebih dulu sebelum menikah.

Suka makanan pedas

Kalau nonton film atau drama Korea, saya selalu merasa takjub melihat adegan saat mereka makan. Mereka sanggup makan makanan pedas (dan panas pula) dengan cepat. 

Meski wajahnya terlihat menderita saking pedasnya, tapi tetap saja dimakan. Waktu saya berkunjung ke Seoul pun, cukup banyak makanan yang saya jumpai yang menggunakan cabai.

Sama seperti orang Korea, orang Batak juga menyukai makanan pedas. Apalagi jika menggunakan rempah khas Batak yakni Andaliman. Rasa pedas-getir menjadikan makanan khas Batak terasa lebih unik dan spesial.

Tapi anehnya meski saya juga orang Batak, saya tidak terlalu menyukai makanan pedas. Meskipun begitu, ada level-level pedas tertentu yang masih bisa diterima oleh lidah saya. 

Bagi saya, rasa pedas menutup semua rasa makanan yang lain dan kebetulan perut saya memang tidak kuat menerima makanan pedas, sekuat apapun saya mencobanya supaya terbiasa. Oleh sebab saya tidak suka makanan pedas, saya jadi sering diledek 'Batak KW' deh.

Suaranya keras meski hatinya tidak

Kalau dengan orang Batak yang sedang berkumpul, biasanya suara mereka mengobrol bisa terdengar hingga ke ujung jalan saking kerasnya. Apalagi kalau semuanya berebut ingin bicara. 

Orang yang tidak terbiasa mendengar, pastilah mengira mereka sedang marah atau bertengkar, padahal sebenarnya mereka hanya bersemangat. Kalau gak keras suaranya gak afdol. Begitulah kira-kira. Tapi meskipun suara orang Batak ini lantang-lantang, percayalah hati mereka lembut kok. Uhuy!

Orang Korea pun tipikalnya sama. Suara mereka lantang ketika berbicara. Mereka tidak segan berteriak meski dalam suasana pembicaraan yang santai. Pokoknya kalau gak keras gak seru lah.

Para wanitanya tangguh

Saya melihat para wanita Korea adalah wanita yang tangguh. Kegigihan mereka bersaing dalam dunia pendidikan dan pekerjaan cukup mengesankan. Bahkan para ibu yang sambil bekerja pun (baik yang masih memiliki suami maupun single mother), mampu mengurus anak-anaknya sambil mencari uang.

Sama seperti boru Batak, meski hidup di tengah budaya patriarki, mereka tetap mampu membuktikan dirinya dapat diperhitungkan. Baik dalam pendidikan, karier, mengurus keluarga, hingga pengetahuan soal adat.

Well, persamaan-persamaan ini mungkin tidak mutlak dan bisa jadi ditemukan pada suku lainnya. Dan tanpa bermaksud berpihak pada suku tertentu, sekali lagi ini hanya pemikiran random saya yang kebetulan saya temukan, amati dan bandingkan dengan apa yang saya alami sebagai boru Batak yang tertarik dengan kebudayaan Korea Selatan. Kalau kalian punya contoh lainnya, ketik di kolom komentar yah!

Horas! Annyeong!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun