Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ingat, Dexamethasone Belum Dinyatakan sebagai Obat Covid-19!

19 Juni 2020   13:00 Diperbarui: 20 Juni 2020   02:59 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir 2019 dan telah mewabah di Indonesia selama kurang lebih empat bulan belakangan, betul-betul mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Tidak perlulah lagi saya ceritakan seperti apa dampaknya pada kesehatan dan kehidupan sosial masyarakat, perekonomian, pariwisata dan lainnya.

Pandemi ini bahkan mampu 'memaksa' kita untuk menerapkan tatanan hidup baru atau istilah bekennya saat ini: New Normal alias Kenormalan Baru.

Selama beberapa bulan terakhir, kita dipaksa untuk mengurangi aktivitas di luar rumah dan berinteraksi secara langsung dengan orang banyak.

Kebijakan Social Distancing dan Physical Distancing pun diterapkan. Semua harus tinggal di rumah kecuali ada urusan yang benar-benar penting.

Berdiam di rumah, sementara di luar sana kasus positif Covid-19 terus naik membuat masyarakat 'gerah' dan serba salah. Di satu sisi masyarakat takut terinfeksi, tapi di sisi lain kebingungan bagaimana harus bertahan hidup jika terus diam di rumah.

Selama itu pula, entah berapa banyak kabar hoax tersebar tentang seperti apa gejala dan bagaimana penularan Covid-19, hingga apa saja yang harus dikonsumsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Masyarakat sempat chaos karena ada yang panic buying, sehingga beberapa komoditi seperti masker, hand sanitizer dan suplemen kesehatan yang mengandung Vitamin C mendadak hilang dari pasar. Kalaupun ada yang jual, harganya sudah tidak masuk di akal.

Menunggu Obat dan Vaksin Covid-19

Berhubung Covid-19 ini adalah jenis corona virus baru yang belum ada obat maupun vaksinnya, orang-orang langsung pada heboh setiap kali ada berita tentang obat yang dapat menyembuhkan pasien yang positif Covid-19. Contoh Obat HIV seperti Lopinavir dan Ritonavir, hingga Anti-Malaria seperti Klorokuin dan Hidroksiklorokuin.

Bahkan plasma darah dari pasien yang sudah sembuh pun (penyintas), sempat menjadi kandidat karena dianggap memiliki antibodi.

Saya pun sempat heran ketika banyak pemberitaan bahwa banyak masyarakat yang membeli Hidroksiklorokuin, bahkan menyetok obat tersebut.

Padahal Hidroksiklorokuin adalah Obat Keras yang pembelian dan penggunaannya harus disertai resep dokter.

Namun sayananya hingga saat ini obat-obat tersebut belum terbukti efektif. Bahkan WHO telah menginstruksikan untuk menghentikan penggunaan Klorokuin maupun Hidroksiklorokuin sebagai obat Covid-19, karena setelah diteliti lebih lanjut, obat ini tidak efektif untuk Covid-19. Maka harapan masyarakat tentang penemuan obat Covid-19 kembali pupus.

Dexamethasone BELUM Terbukti sebagai Obat Covid-19

Beberapa hari belakangan, Dexamethasone sedang naik daun. Obat yang sering dijuluki sebagai 'Obat Dewa', bahkan 'Obat Warung', ini mendadak terkenal dan diberitakan di berbagai media.

Apa yang ingin saya tegaskan pada artikel saya kali ini adalah, Dexamethasone BELUM dinyatakan terbukti berkhasiat untuk menyembuhkan pasien Covid-19.

Sesuai hasil penelusuran saya, Dexamethasone baru terbukti dapat mengurangi potensi kematian pasien Covid-19 yang parah, yakni yang membutuhkan dukungan oksigen dan ventilator.

Kesimpulan ini diperoleh setelah tim RECOVERY (The Randomised Evaluation of Covid-19 Therapy) dari Universitas Oxford di Inggris, melakukan Uji Klinik secara acak terhadap 11.500 pasien yang terdaftar di 175 rumah sakit NHS di Inggris.

Total ada 2104 pasien yang diberikan 6 mg Dexamethasone per hari selama 10 hari, dibandingkan dengan 4321 pasien yang tidak mendapatkan tambahan obat Dexamethasone.

Hasil penelitian menujukkan angka kematian tertinggi pada kelompok pasien yang tidak mendapatkan Dexamethasone adalah pasien yang membutuhkan ventilator (41%), pasien yang menggunakan oksigen (25%) dan pasien yang tidak membutuhkan dukungan pernafasan (13%).

Sementara itu, pada kelompok pasien yang mendapatkan Dexamethasone, angka kematian berkurang hingga 1/3 pada pasien yang membutuhkan ventilator dan 1/5 pada pasien yang menggunakan oksigen.

Namun pada pasien yang tidak membutuhkan dukungan pernafasan, pemberian Dexamethasone tidak berpengaruh.

Hasil penelitian awal ini menunjukkan bahwa Dexamethasone baru sebatas membantu survival pasien Covid-19 yang parah dengan mengatasi radang akibat infeksi Covid-19. Bukan untuk mencegah atau menyembuhkan (membunuh virus) Covid-19.

Jangan Gunakan Dexamethasone Secara Sembarangan

Oleh sebab itu, saya berharap masyarakat tidak mengulang tindakan seperti yang terjadi ketika Klorokuin dan Hidroksiklorokuin diduga berefek terhadap penyembuhan pasien Covid-19, yakni dengan membeli dan mengkonsumsi Dexamethasone secara sembarangan, atau bahkan di-stok pula.

Apalagi mentang-mentang disebut 'Obat Warung', belinya benar-benar di warung atau di tempat-tempat yang tidak terjamin keasliannya.

Alasan mengapa obat ini disebut 'Obat Warung' adalah karena harganya yang murah. Tak kalah murah dengan golongan Obat Bebas yang bisa dibeli di minimarket macam Paracetamol.

Perlu diingat bahwa Dexamethasone yang telah digunakan sejak tahun 60an ini, merupakan obat golongan kortikosteroid.

Itu berarti Dexamethasone termasuk dalam kategori Obat Keras, yang pembelian dan penggunaannya harus disertai resep dokter.

Dexamethasone mendapat julukan 'Obat Dewa' karena memang digunakan untuk mengatasi berbagai macam keluhan pasien, mulai dari inflamasi (radang), reaksi elergi pada kulit, nyeri, batuk-pilek. Pokoknya kalau pakai Dexamethasone, gejalanya pasti berkurang dengan cepat.

Meski begitu, perlu diketahui juga bahwa Dexamethasone memiliki sederet efek samping yang harus diwaspadai. Mulai dari mual-muntah, dispepsia (rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, bisa karena naiknya asam lambung/maag), kenaikan gula darah dan berat badan (karena peningkatan nafsu makan), hipertensi, gangguan irama jantung, dan lainnya.

Penggunaan jangka panjang juga dapat menyebabkan moon face (pembengkakan wajah) hingga gangguan siklus menstruasi dan pengeroposan tulang.

Meski begitu kita tetap harus menyambut baik penemuan awal ini. Dan diharapkan akan ada penelitian lebih lanjut dan lebih jauh lagi terkait efikasinya dalam perawatan pasien Covid-19.

Referensi:

Medscape | Oxford | WHO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun