Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Aroma Karsa, Tak Bisa Berpaling dari Aromanya

14 Maret 2018   13:22 Diperbarui: 14 Maret 2018   17:22 3591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Baca buku teh meni ripuh!"

(baca buku kok rempong banget)

Suami saya berkomentar, ketika sepagian ini saya berkali-kali berganti posisi duduk. Dari duduk, setengah duduk, berbaring, menyamping, terus begitu.

"Soalnya jarang-jarang bisa baca buku bagus begini, novel Indonesia lagi." Balas saya.

Pasangan hidup saya sudah sangat paham kalau sedang memegang buku bagus, lagak saya seperti cacing kepanasan. Antara kepengen terus baca, berusaha menekan ekspektasi biar ga ketinggian (soalnya suka kecewa, hiks) dan ketakutan dengan ending.

Apa?

Ketakutan macam apa itu?

Ending sebuah tulisan, asli, sering membuat saya jeri. Baik menuliskan tulisan sendiri, atau membaca karya orang lain.

Buat saya, menuliskan sesuatu itu tidak susah, yang sulit itu menuntaskan kisah.

Berapa sering coba, ketika kita asyik membaca sebuah kisah yang hebat, kemudian ketika tiba di ending, reaksi kita adalah, "Duuuuh ... kok gini sih??" atau endingnya berupa satu kata alay yang bergema di kepala "B-ajah".

Saya adalah penggemar Dee dari sejak awal. Waktu "Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh" terbit, saya penasaran setengah mati, karena ada begitu banyak referensi ilmiah yang Dee masukkan ke sana, yang saya tidak paham. Setelah membaca Akar, Petir, Partikel, Gelombang, akhirnya saya baru bisa merangkai apa maunya Dee. Buat saya, dia hebat sekali. Bisa membuat semacam "universe" ala-ala Marvel/ DC, menggabungkan pelbagai folklore, ilmu empiris dan dibumbui drama percintaan dan kehangatan hubungan antara manusia.

Superb!

Tiba di "Intelijensi Embun Pagi" (IEB) yang merupakan penutup serial "Supernova", saya deg-degan. Sebab untuk kisah se-grande Supernova, endingnya harus semanis tanah basah dan wewangian setelah hujan.

Setelah membacanya, jujur saya katakan, ekspektasi saya ketinggian.

Meskipun IEB tetap saya nikmati, dan kuliti dari awal sampai akhir, ending yang saya harapkan berbeda dari yang Dee sajikan. Kurangnya adegan action yang saya rindukan, cerita yang greget di awal sampai pertengahan menjelang akhir, namun ditutup dengan ending yang ... oh ya udah.

Maafkan saya, Mbak Dee. Saya memang pembaca yang terlalu rakus. Dikasih hati, eh mintanya jantung.

Tak lama setelah gaung IEB perlahan memudar, saya mendapat kabar tentang novel baru.

Ya ampun, produktif sekali Mbak Dewi Lestari Simangunsong ini.

"Aroma Karsa" (AK) adalah buku Dee yang ke-12. Lewat buku ini, Dee ingin menghidupkan kembali rasa deg-degan ketika dulu menantikan cerita bersambung di majalah Hai!.

Untung Dee ga bilang, "menantikan cerita bersambung di sinetron", kalau iya, saya batal ngefans kayaknya.

AK diterbitkan pertamakali dalam bentuk digital secara bersambung. Lucu ya? Semacam "Dilan" yang dulu tayang di blognya Surayah Pidi Baiq, sebelum akhirnya dibukukan.

Saya menahan diri untuk tidak ikut-ikutan berlangganan si buku digital ini.

Mengapa?

Sebab saya ingin menikmati bukunya secara utuh dalam wujud, kertas dan sampul. Membauinya seperti kebahagiaan menikmati uang saat gajian tiba. Ehh.

Dasar Hedonis.

Kemarin siang, buku AK datang diantarkan mamang ekspedisi ke depan pintu rumah. Eksekusi membaca baru bisa saya mulai pukul 21.00 tadi malam, setelah beres mengerjakan semua tugas, baik domestik maupun profesional.

Membaca pukul 21.00 -- 24.00. Saya sulit berhenti. Hanya kantuk yang kemudian membuat saya menyerah.

Pukul 08.00 pagi saya mulai lagi, di halaman 300-an.

Mulai gelisah, sebab ini buku terlalu bagus untuk diabaikan, namun saya terlalu takut untuk menghadapi ending. Tidak seperti rangkaian Supernova, yang ketika saya beres membaca "Petir" misalnya, saya tidak usah khawatir sebab nanti masih ada lanjutannya.

AK tidak, ia hanya berjumlah 696 halaman saja.

Pukul 10.30 Aroma Karsa selesai dibantai.

Saya bernapas lega.

Selamat, Mbak Dee. Kamu sudah membuatku bahagia.

Awalnya, saat membuka beberapa lembar awal, saya otomatis teringat pada Jean Baptiste Grenouille dari "Perfume: A story of a Murderer". Kemampuannya untuk membeda-bedakan bau, sekaligus mengklasifikasikannya, terlalu mirip dengan karakter Jati Wesi di Aroma Karsa.

Saya sempat tertegun, sebab saya tak ingin penulis kesayangan saya terjebak meniru gaya penulis lainnya. Namun toh, tak ada lagi yang namanya originalitas murni di dunia ini.

Everyone is basically writing/saying/singing something that they have read/seen/listened.

Dugaan saya salah, Alhamdulillah.

Jati Wesi memang mirip Jean Baptiste Grenouille. Selebihnya, semuanya berbeda.

Sekali lagi saya terbuai dengan kisah yang Dee bangun. Membaca Aroma Karsa seperti didongengi dengan suara jernih dan lembut. Bersama berlembar-lembar halamannya, saya ikutan menyelam ke kedalaman wawasan seorang Dee. Folklore, filosofi, budaya, humanisme, kekayaan diksi. Semuanya melebur, ibarat nikmatnya makan Cheese Cake, yang baru keluar dari kulkas, lembut di mulut, meleleh di hati.

Tempo hari saya pernah menulis soal pentingnya kebiasaan membaca bagi seorang penulis. Saya yakin, Dee adalah salah satu penulis yang amat gemar membaca. Sebab semua jalinan kata yang ia kelindankan bersama-sama, membunyikan lebih dari sekadar diksi yang menarik, tema yang kuat digarap, melainkan juga luasnya pengetahuan yang Dee punya.

Kekuatan Dee tak hanya terletak pada cermatnya ia memilih kata, namun juga proses kawin silang yang ia lakukan ketika mengkombinasikan pelbagai genre dalam tulisan. Petualangan, romance, misteri dan filosofi kehidupan. Seakan membaca Dan Brown dengan gaya Lima Sekawan.

Pagi ini, setelah 5 jam saja menamatkan Aroma Karsa, saya bisa tersenyum dengan senang. Sebab beres membaca novel yang bagus itu, seperti mendapati tanggal merah di akhir pekan. Lega sekaligus bahagia. Tak peduli kau lagi punya duit atau tidak.

Terima kasih ya Mbak Dee.

*kemudian menatap buku "Origin" nya Dan Brown, yang sudah sebulan dan belum juga selesai ditamatkan.

Premis cerita:

Raras Prayagung, pewaris kerajaan bisnis "Kemara" sudah lama mencari-cari sesuatu yang dinamai "Puspa Karsa". Tanaman yang diyakini memiliki aroma yang begitu memabukkan sehingga bisa menaklukan siapapun yang ia mau (mirip cincin di TLOTR).

Nasib membawa Raras berkenalan dengan Jati Wesi, pemuda liat yang besar diantara gunungan sampah TPA Bantar Gebang, Bekasi. Jati memiliki hidung sakti yang bisa memilah-milah aroma, bahkan mengklasifikasikannya. Raras percaya Jati bisa membantunya, menyibak misteri Puspa Karsa sekaligus menemukannya.

Perjalanan keduanya, kemudian juga memertemukan Jati dengan Tanaya Suma, putri satu-satunya Raras, yang sama sepertinya. Memiliki penciuman yang berbeda dari manusia pada umumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun