Awalnya, saat membuka beberapa lembar awal, saya otomatis teringat pada Jean Baptiste Grenouille dari "Perfume: A story of a Murderer". Kemampuannya untuk membeda-bedakan bau, sekaligus mengklasifikasikannya, terlalu mirip dengan karakter Jati Wesi di Aroma Karsa.
Saya sempat tertegun, sebab saya tak ingin penulis kesayangan saya terjebak meniru gaya penulis lainnya. Namun toh, tak ada lagi yang namanya originalitas murni di dunia ini.
Everyone is basically writing/saying/singing something that they have read/seen/listened.
Dugaan saya salah, Alhamdulillah.
Jati Wesi memang mirip Jean Baptiste Grenouille. Selebihnya, semuanya berbeda.
Sekali lagi saya terbuai dengan kisah yang Dee bangun. Membaca Aroma Karsa seperti didongengi dengan suara jernih dan lembut. Bersama berlembar-lembar halamannya, saya ikutan menyelam ke kedalaman wawasan seorang Dee. Folklore, filosofi, budaya, humanisme, kekayaan diksi. Semuanya melebur, ibarat nikmatnya makan Cheese Cake, yang baru keluar dari kulkas, lembut di mulut, meleleh di hati.
Tempo hari saya pernah menulis soal pentingnya kebiasaan membaca bagi seorang penulis. Saya yakin, Dee adalah salah satu penulis yang amat gemar membaca. Sebab semua jalinan kata yang ia kelindankan bersama-sama, membunyikan lebih dari sekadar diksi yang menarik, tema yang kuat digarap, melainkan juga luasnya pengetahuan yang Dee punya.
Kekuatan Dee tak hanya terletak pada cermatnya ia memilih kata, namun juga proses kawin silang yang ia lakukan ketika mengkombinasikan pelbagai genre dalam tulisan. Petualangan, romance, misteri dan filosofi kehidupan. Seakan membaca Dan Brown dengan gaya Lima Sekawan.
Pagi ini, setelah 5 jam saja menamatkan Aroma Karsa, saya bisa tersenyum dengan senang. Sebab beres membaca novel yang bagus itu, seperti mendapati tanggal merah di akhir pekan. Lega sekaligus bahagia. Tak peduli kau lagi punya duit atau tidak.
Terima kasih ya Mbak Dee.
*kemudian menatap buku "Origin" nya Dan Brown, yang sudah sebulan dan belum juga selesai ditamatkan.