Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Senja Selalu Menepati Janji

29 April 2023   02:16 Diperbarui: 29 April 2023   08:22 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya muak dengan senja. 

Senja selalu datang untuk menghadirkan inspirasi yang tidak ada akhirnya. Senja membanjiri perasaan dan ingatan tentang kata-kata indah yang entah apa gunanya. Lalu aku menulis kata-kata mutiara yang terdengar penuh makna. Meskipun pada satu waktu sebelum aku terlelap. Kata-kata itu telah lenyap dihapus kesedihan hidup yang tidak bisa diobati hanya dengan kata-kata.

Orang bilang cerpen harus punya cerita. Cerpen ini belum tentu ada ceritanya. Belum tentu bercerita cinta, asmara dan kata-kata indah tentang senja. Belum tentu tentang orang-orang yang mendapatkan pencerahan ketika senja.

Kata orang, senja adalah tentang kenangan. Omong kosong. Kata-kata indah tentang senja hanyalah bualan. Mereka yang berkoar soal senja dan kata-kata indah. Belum tentu hidupnya indah. Bisa jadi sengsara, lalu menyerah begitu saja pada kenyataan dan berlindung dari kata-kata senja.

Saya bingung, kenapa ada orang yang sebegitu fanatiknya pada senja. Pada malam yang indah. Pada purnama yang cuma peristiwa alam yang terjadi sebulan sekali. 

Kenapa orang-orang begitu terkesima pada senja. Karena bagi saya, senja hanyalah senja. Hanyalah sebuah waktu dimana siang berganti malam, di tengah-tengah itu ada senja. Itu saja.

Hidup ini tidak melulu tentang senja. Lebih banyak, hidup itu tentang bangun pagi, bekerja menghasilkan uang untuk biaya hidup. Hidup itu tidak melulu tentang senja. Jangan lari dari kenyataan dan berlindung pada buaian kata-kata indah tentang senja. Hidup tidak semudah itu. 

Bangun dari mimpi indah dan bekerjalah. Karena hanya dengan bekerja, segala kata-kata indah tentang cinta bisa diwujudkan. Berdiam diri memandangi senja sambil memupuk harapan, hayalan dan angan-angan. Pada saat tertentu, akan kamu sesali. Kenapa hidupmu terlalu banyak mimpi dan terlalu sedikit mimpi yang menjadi nyata.

Hidup ini tidak cuma tentang senja. Hidup ini tentang bergegas menyelesaikan pekerjaan. Larut dalam kesibukan. Berpeluh untuk memperjuangkan hidup. Bertarung melawan tantangan nyata. Bukan bertengkar dengan angan-angan hampa.

"Lihat itu Si Budi, hidupnya sekarang sudah enak. Sudah berkeluarga. Mapan. Bahagia." Kata Ibuk kepada Wawan.

Wawan hanya diam sambil mengunyah makanan. Sekelebat Ibuk berbalik badan dan kembali ke dapur. Lalu mencuci piring. 

Perasaan jengkel, selalu dibanding-bandingkan dengan Budi. Meskipun rasanya ingin sekali menyudahi makan meskipun belum selesai. Ada perasaan tak tega pada Ibuknya. Dalam sepiring nasi dadar di hadapannya. Ada cinta yang tak bisa diukur dengan kata. Ada perasaan sayang yang tak terhingga dari sang Ibuknya. Ada seorang Ibu yang ingin hidup anaknya mapan, bahagia, berkeluarga. Seperti orang-orang sukses lainnya.

Makanan harus dihabiskan. Usianya sudah tiga puluh. Membantah ucapan Ibu adalah dosa besar. Apapun yang dikatakan Ibunya, Wawan harus siap, harus menelannya bulat-bulat. Lalu menjalankan hidup seperti yang ia inginkan.

***

Sampai di puncak gunung. Wawan segera menyetel perlengkapan lukisnya. Tak peduli dengan tenda yang belum terpasang. Apalagi hanya soal makanan. 

Kata-kata Ibunya benar-benar merenggut ketenangan batinnya. Alat lukis telah siap. Wawan duduk dan larut dalam lukisannya. Di hadapannya adalah alam yang luas bebas. Hamparan keindahan. Inspirasi tanpa batas.

Meski berhadapan dengan inspirasi alam yang luas tanpa batas. Lukisan Wawan tak jelas. Tak beraturan. Tak sedikitpun menggambarkan alam yang terbentang. Abstrak.

Seniman adalah manusia bebas, begitulah prinsip Wawan. Ia tak mau dikekang oleh siapapun. Ia tidak mau menjadi "anak buah". Ia tak mau disuruh-suruh. Ia ingin menjadi manusia bebas.

Soal uang, memang ia belum menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupinya. Tapi kebahagiaan adalah nomor satu. Melukis membuatnya bahagia. Titik.

***

Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lukisan itu berakhir tak beraturan, tidak merefleksikan apa-apa, sampah. Persis lima jam lebih lima puluh sembilan menit. Ia terduduk dan hanyut dalam warna, kuas dan kanvas. Seseorang yang tidak mengerti seni berpikir bahwa setiap lukisan yang tidak indah adalah sampah. Wawan tidak peduli.

Ia bangkit dari duduknya. Membanting kuas di tangannya. Lalu menghempaskan tubuhnya ke Bumi. Dan termenung.

Senja telah datang dengan ketenangan. Angin memeluk tubuhnya yang membara dibakar dendam. Kata-kata Ibuk memang benar tapi menyakitkan. Mengingat Budi dan kesuksesannya. Mengingat Karno dengan kemapanannya. Mengingat Friska dengan usaha butiknya yang maju pesat.

Lalu mengingat galerinya yang hampir tidak pernah dikunjungi orang. 

Ingin sekali ia tidak peduli dengan keberhasilan orang-orang itu, teman-temannya, yang dulu berangkat sekolah bersama dari SD sampai SMA. Berasal dari tempat yang sama. Sekolah yang sama persis. Namun, perjalanan yang berbeda. 

Wawan berbantal kedua tangannya memandang langit senja. Kemarahannya telah ia tumpahkan pada lukisan. Namun senja, telah melukiskan wajah ibunya. Wawan tak bisa berkata-kata. Ia berpaling, matanya terpejam, tumpahlah air mata yang ia tahan.

Ia sendirian. Selalu. Karena cara inilah ia memperoleh inspirasi, ketenangan untuk melukis.

Air mata itu bukan soal menyesal telah memilih jalan sebagai seniman. Terkadang air mata adalah cara yang tepat untuk berhenti berkata-kata dan melepas semua beban. Setegar apapun manusia di muka Bumi. Air matanya adalah kejujuran.

Memang pahit hidup ini. Passion tidak serta merta membuat orang bahagia. Pada momen tertentu. Orang ingin berhenti berambisi dan menjalani hidup tanpa tuntutan apapun.

***

Senja belum selesai. Air mata itu mengantarnya pada mimpi indah. Hingga tengah malam, gawainya bergetar membangunkannya.

Drrrrt. Drrrrt. Drrrrt.

"Halo." Wawan mengangkat telepon.

"Kamu dari mana aja. Ibukmu meninggal."

***

Perasaan tak karuan menghujam dadanya. Seketika membuatnya bangkit dan bergegas turun gunung. Ia tak peduli lukisannya masih terpampang, tas tendanya tergeletak. Perlengkapan kemahnya sudah hilang dari pikirannya. Wawan menuruni gunung, praktis hanya gawai yang ia bawa. Semuanya ia tinggal di atas sana. Tidak penting. Yang terpenting adalah Ibuk. 

Wawan harus segera bertemu Ibuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun