Ia bangkit dari duduknya. Membanting kuas di tangannya. Lalu menghempaskan tubuhnya ke Bumi. Dan termenung.
Senja telah datang dengan ketenangan. Angin memeluk tubuhnya yang membara dibakar dendam. Kata-kata Ibuk memang benar tapi menyakitkan. Mengingat Budi dan kesuksesannya. Mengingat Karno dengan kemapanannya. Mengingat Friska dengan usaha butiknya yang maju pesat.
Lalu mengingat galerinya yang hampir tidak pernah dikunjungi orang.Â
Ingin sekali ia tidak peduli dengan keberhasilan orang-orang itu, teman-temannya, yang dulu berangkat sekolah bersama dari SD sampai SMA. Berasal dari tempat yang sama. Sekolah yang sama persis. Namun, perjalanan yang berbeda.Â
Wawan berbantal kedua tangannya memandang langit senja. Kemarahannya telah ia tumpahkan pada lukisan. Namun senja, telah melukiskan wajah ibunya. Wawan tak bisa berkata-kata. Ia berpaling, matanya terpejam, tumpahlah air mata yang ia tahan.
Ia sendirian. Selalu. Karena cara inilah ia memperoleh inspirasi, ketenangan untuk melukis.
Air mata itu bukan soal menyesal telah memilih jalan sebagai seniman. Terkadang air mata adalah cara yang tepat untuk berhenti berkata-kata dan melepas semua beban. Setegar apapun manusia di muka Bumi. Air matanya adalah kejujuran.
Memang pahit hidup ini. Passion tidak serta merta membuat orang bahagia. Pada momen tertentu. Orang ingin berhenti berambisi dan menjalani hidup tanpa tuntutan apapun.
***
Senja belum selesai. Air mata itu mengantarnya pada mimpi indah. Hingga tengah malam, gawainya bergetar membangunkannya.
Drrrrt. Drrrrt. Drrrrt.