Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Senja Selalu Menepati Janji

29 April 2023   02:16 Diperbarui: 29 April 2023   08:22 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawan hanya diam sambil mengunyah makanan. Sekelebat Ibuk berbalik badan dan kembali ke dapur. Lalu mencuci piring. 

Perasaan jengkel, selalu dibanding-bandingkan dengan Budi. Meskipun rasanya ingin sekali menyudahi makan meskipun belum selesai. Ada perasaan tak tega pada Ibuknya. Dalam sepiring nasi dadar di hadapannya. Ada cinta yang tak bisa diukur dengan kata. Ada perasaan sayang yang tak terhingga dari sang Ibuknya. Ada seorang Ibu yang ingin hidup anaknya mapan, bahagia, berkeluarga. Seperti orang-orang sukses lainnya.

Makanan harus dihabiskan. Usianya sudah tiga puluh. Membantah ucapan Ibu adalah dosa besar. Apapun yang dikatakan Ibunya, Wawan harus siap, harus menelannya bulat-bulat. Lalu menjalankan hidup seperti yang ia inginkan.

***

Sampai di puncak gunung. Wawan segera menyetel perlengkapan lukisnya. Tak peduli dengan tenda yang belum terpasang. Apalagi hanya soal makanan. 

Kata-kata Ibunya benar-benar merenggut ketenangan batinnya. Alat lukis telah siap. Wawan duduk dan larut dalam lukisannya. Di hadapannya adalah alam yang luas bebas. Hamparan keindahan. Inspirasi tanpa batas.

Meski berhadapan dengan inspirasi alam yang luas tanpa batas. Lukisan Wawan tak jelas. Tak beraturan. Tak sedikitpun menggambarkan alam yang terbentang. Abstrak.

Seniman adalah manusia bebas, begitulah prinsip Wawan. Ia tak mau dikekang oleh siapapun. Ia tidak mau menjadi "anak buah". Ia tak mau disuruh-suruh. Ia ingin menjadi manusia bebas.

Soal uang, memang ia belum menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupinya. Tapi kebahagiaan adalah nomor satu. Melukis membuatnya bahagia. Titik.

***

Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lukisan itu berakhir tak beraturan, tidak merefleksikan apa-apa, sampah. Persis lima jam lebih lima puluh sembilan menit. Ia terduduk dan hanyut dalam warna, kuas dan kanvas. Seseorang yang tidak mengerti seni berpikir bahwa setiap lukisan yang tidak indah adalah sampah. Wawan tidak peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun