Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-bayang Erisa

22 Juni 2020   04:56 Diperbarui: 22 Juni 2020   05:07 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Langit biru yang dilengkapi awan-awan tebal diiringi suara angin riuh yang menyejukan hati yang marah. Bentangan savana terhunus angin menggelembang bagai ombak tenang di samudera yang luas serta dalam. 

Matahari yang masih saja setia dengan terik dan suara angin masih saja riuh. Ku tatap jauh sebuah sebuah sudut bumi dari savana yang membentang lingkar. Kira-kira 180 derajat oleh mata. Padanya ku serahkan semua rasa dengki. 

Ku tarik napas kemudian rumput mengikuti bergelombang.Ku sandarkan punggungku pada sebuah pohon yang berdiri tegak dan tumbuh ditengah hamparan savana. 

Aku letakkan tas kayu yang berisi alat lukis di sampingku sementara rasa haus akibat terlalu lama berjalan ditengah savana, aku teguk sisa air yang ku ambil di sungai tadi. Tapi, matahari masih saja terik meski haus kini sudah memudar. 

Aku memandang lukisan lamaku, aku ambil kemudian ku pandangi. Tiba-tiba aku teringat pada waktu ketika aku berhasil memberikan lukisan ini pada Erisa, dia bawanya dan dia peluknya lukisanku. Kemudian membayar dengan senyuman manisnya dan sedikit bahasa isyarat yang artinya terima kasih banyak. 

Erisa tidak bisa berbicara sama sekali, bahkan bahasa isyaratnya pun tidak pandai dan masih sulit dipahami, aku mengajarinya sedikit demi sedikit. 

Tapi, Erisa begitu cantik, dengan kulitnya yang hitam legam dan gelang yang dipakainya tanda dia milik tuannya dan gelang yang satunya aku berikan sebagai tanda dia milikku. 

Namun, Erisa kini dijual Tuannya karena perkebunan kapas milik Tuannya baru saja dibakar oleh pesaingnya. Sobek pada lukisan ini karena aku mengambilnya dari Ayahku, Si Tuan jalang yang menjual belahan jiwaku pada begundal pengepul para manusia.

Angin tiba-tiba semakin kencang dan mataharipun menuju ke tempat ia tenggelam. Tenggelam bersama langit biru dan awan bisa saja mendung ditinggalkan matahari dan langit kebiruan. Angin kencang itu membawa kenangan tentang Erisa namun kesedihannya ditinggalkan. 

Dua tetes air mataku jatuh pada kanvas. Erisa, semoga engkau bahagia dengan Tuan barumu. Savana ini begitu tenang dan sangat memabukan. Engkau bisa menyaksikannya sendiri, mungkin membayangkannya dari kapal yang engkau tumpangi saat ini, yang tujuannya entah kemana. Tapi yang jelas di bawah pohon ini dari savana yang membentang luas aku merindukanmu. Seperti Ophelia merindukan Hamlet atau seperti Hamlet yang merindukan Ophelia.

Erisa, kalau saja lukisan ini masih saja dipelukkanmu aku tidak akan mungkin menemui savana ini. Aku akan melihatmu saat kau memetik kapas bersama temanmu. Savana ini ikut menyaksikan aku merindukanmu, Erisa. 

Mataharinya tidak enggan cepat turun, anginnya semakin kencang. Hamparan rumput hijau ini terus diayun dengan oleh angin, menari dan sinar matahari semakin menguning dan menyorot dari sudut tenggelamnya. 

Mungkin, Erisa tenggelam bersama kapalnya dan Si Pengepul itu atau Erisa sedang memeluk Si Pengepul itu. Sebagaimana ia memeluk lukisanku, mungkin tangannya sudah fasih berbahasa.

Sinar matahari semakin menyorot ke pohon, aku, serta tas kayu berisi alat lukis. Sudah menyinari, sekarang aku beri sinar itu isyarat cinta. Dari jariku yang tidak sempurna. Tapi cinta ini begitu sempurna untukmu, Erisa.

Senja sudah mau tiba, pohon ini satu-satunya di hamparan savana yang luas membentang dan cakrawala hadir bersama senja yang hangat. 

Sejak senja itu tiba aku mulai sadar, kalau memikirkan kamu dan masa lalu adalah hal yang sia-sia. Bagi hatiku, pikiranku, dan kamu yang  mungkin sudah tenggelam atau mahir berbahasa. Saat ini yang harus aku lakukan adalah terus melangkah, entah kemana yang pasti tidak untuk putar arah ke belakang.

Ku pakai tas kayuku, menghadap ke arah pohon itu. Terus aku taruh lukisan itu di bawah dan ku sandarkan ke pohon sebagaimana tadi aku bersandar. Setelah mundur empat langkah, aku tatap pohon itu dan menyaksikan lukisan itu. Sebagai penhormatan untuk Erisa, kesayangan aku. 

Aku tertawa kemudian menangis untuk itu. Sudah cukup, aku harus berjalan memikul lukisan ini. Aku berjalan dengan arah yang tidak jelas, dengan perasaan yang tidak karuan.Ini semua tentang, Erisa.

Ku putuskan untuk kembali ke pohon itu, dan mengikatkan dengan tambang ke pohon itu. Akhirnya, lukisan itu sudah diikat di pohon. Semoga saja keilanganmu bukanlah suatu perkara sulit. Kemudian sekarang aku benar-benar melangkah, tidak akan aku putar arah. 

Walaupun aku harus menyesal dan menikmati perjalanan penuh penderitaan. Senjanya sudah merah membara, disudut cakrawala dan savana yang tenang. Karena angin sudah mulai lelah mengiringi.

Aku berjalan sambil memikul tas kayu penuh lukisan dan dua kanvas kosong. Bayangan tentang kapal tenggelam dan Erisa lama-lama memudar. Aku begitu serius dengan langkah kakiku. Ia tak pernah berhenti sampai senja mulai sedikit menghilang dan meningggalkan rona violet di angkasa. 

Aku harus terus mengembara karena cinta tidak bisa ditemukan di tempat cinta itu hilang. Jejak demi jejak membekas di atas savana. Sepatu but ini sudah mulai usang nampaknya, celana bahan ini juga sudah mulai robek, kemeja ini masih saja biru meski nampak lusuh. Tas kayu ini masih nampak gagah meski aku akan menambah tiga kanvas kosong yang nanti akan ku beli di toko alat lukis.

Savana ini terlalu luas tapi aku harus berjalan meski aku sudah mulai lelah. Aku harus tetap pada pendirian, yaitu melangkah. Karena itulah yang aku bisa lakukan dengan kakiku. Dari melangkah aku bisa memikirkan, menanyakan pikiran, dan melupakan tujuan. Savana saat ini menjadi saksi atas langkah hari ini. 

Barangkali, Erisa akan senang berjalan di atas savana ini atau ternyata tenggelam di laut adalah tujuan Erisa. Jika dari tadi hanya ada dua pilihan dan menu dalam pikiran, mengapa aku harus membuat pilihan itu. Aku bisa memikirkan pilihan untuk tidak memikirkan hal itu apa karena Erisa juga memikirkan hal yang sama, sehingga laut dan savana saling bekerjasama dan diantara keduanya tidak ada yang benar dan salah.

Aku ingin sekali saja bertemu dengan Erisa dan berbicara dengannya tentang perasaanku. Aku ingin sekali Erisa mengetahui bahwa aku telah tenggelam terlalu dalam di samudera perasaan, aku sangat ingin sekali bersama Erisa untuk hanya sekedar menikmati donat dan ayunan di pagi hari. 

Aku ingin sekali mengajak Erisa ke gereja pada waktu minggu. Ah, semua keinginan itu sekarang sudah tenggelam bersama kapal yang membawa para budak untuk dijual. Hidupmu begitu berat, Erisa. Saking beratnya aku juga ikutan menanggungnya. Sudah tas ini berat ditambah aku harus memikirkan kamu. Memikirkan lukisan itu yang sekarang aku ikat di pohon.

Semakin aku melangkah semakin berat juga beban yang aku bawa rupanya tubuh tidak bisa dipaksakan sesuai kehendak pikiran. Savana masih luas, kalau saja di ujung savana itu adalah tempat aku akan terus melangkah. Tapi boro-boro tempat singgah, yang menerangi kali ini hanyalah bintang-bintang mungil yang bercahaya pada malam. Aku hamparkan tubuhkku pada savana sesudah aku menaruh tasku. Ku lihat semua bintang-bintang ini. 

Aku berbicara pada bintang dengan bodohnya. Savana begitu luas bintang, tapi savana tempat merebahkan terindah untuk melihatmu. Sekarang jawab aku apakah Erisa, masih hidup?. Betapa bodohnya aku, hanya karena kehilangan cinta aku jadi bicara dengan benda yang bersinar-sinar malu ini.

Mungkin karena aku tidak pernah bicara pada Erisa jadinya aku bicara pada bintang. Ada ataupun tidak adanya Erisa, aku selalu menerka-nerka apa yang dipikirkannya cuman bedanya sekarang aku tidak melihatnya. 

Coba lihat, bintang itu berkedip-kedip, aku berharap salah satu dari jutaan bintang yang aku lihat malam ini jatuh. Tapi sayangnya, harapan akan berakhir pada kesia-sian. Maksudku, kali ini aku terus putar balik terus ke belakang dan berjalan ke depan. Padahal aku harus melawan harapan dan pilihan-pilihan yang disediakan itu oleh entah apa namanya. 

Pada kenyataannya orang berusaha sering menuju pada kegagalan. Di savana yang luas ini, aku berhasil membuat suatu perubahan besar yaitu tidak lagi bertemu dengan pohon dan lukisan itu lagi. Yang tinggal di tanganku ini hanya gelang yang selalu ku kenang. Milik, Erisa. Sekarang milikku. Aku ini milik Erisa. Tidak boleh ada yang memilikiku seharusnya, tapi sekarang aku adalah milik malam dan savana yang menghampar luas ini.

Kegelapan dan bintang kini meremang-remang. Udara dingin, Savana menjadi hangat. Bintang yang bersinar-sinar itu yang jumlahnya jutaan atau bahkan miliyaran tidak mampu membuatku hangat. Mungkin aku akan tetap kedinginan sampai savana ini dipenuhi embun pagi. Ku rasakan dalam-dalam sandaran di atas savana, dingin masih menyelimuti. 

Aku tak boleh dikalahkan rasa dingin karena perasaanku lebih kuat dari pada dinginnya malam. Aku kedinginan, Erisa. Sementara kau tenggelam dalam samudera yang jauh lebiih dingin. Hentikan permainan ini tolong, aku sangat ingin bertem denganmu, Erisa. Hadirlah dalam mimpiku malam ini. 

Bersama dengan pakaianmu yang basah karena air laut itu membasahkanmu. Aku ingin berbicara denganmu yang sudah fasih berbahasa isyarat, tapi kau harus susah-susah mengerti aku karena jariku tidak sempurnya. Erisa, bagaimana lautan itu memelukmu, mendekapmu hingga kamu tidak bisa bernapas. 

Lupakan dingin dan sepi, aku sangat merindukanmu malam ini. Jauh di savana yang tidak akan kamu temui, karena kamu telah tenggelam bersama kapal itu. Mungkin salah satu budak di kapal itu telah mengebom kapal itu dan membuat kapal itu tenggelam. Aku tidak bisa menyelamatkanmu, Erisa. Bersama dingin malam ini dan bintang remang aku memikirkan kamu. Bawa aku untuk mengerti duniamu.

Savana ini terlalu kencang menariku ke alam tidur. Mataku tertahan dalam pandangan kabur tentang mimpi indah denganmu. Bulan sekarang telah berada di sebelah bintang yang berkedip-kedip itu. Cahaya sinarnya memabukkan dan rasa kantuk serta lelah ini berkecamuk menjadi satu. 

Perasaan rindu juga ikut membantu untuk menidurkanku. Esok hari aku harus melalangkah, membeli kanvas baru. Melukis kapalmu yang tenggelam dan menggambarkan proses pengeboman kapal yang dilakukan temanmu. Erisa, kali ini aku ingin benar-benar tidur. Esok nanti akan aku gambarkan bagaimana aku harus memasung diriku di pinggir sungai hanya untuk merasakan penderitaanmu sebelum dibawa ke kapal yang di bom itu. 

Tapi, sungguh. Kali, ini aku benar-benar ingin tidur dan keesokannya setelah aku bangun aku tidak lagi memikirkan hal bodoh dan delusi konyol tentang kamu, kapal dan Si Pengebom. Aku tidak akan pernah sempurna di matamu tapi kamu begitu sempurna sampai aku tidak akan benar-benar tidur. 

Bayangkan penderitaanku, untuk tidur saja aku butuh usaha ekstra. Itulah perasaanku, yang tidak pernah dinyatakan dalam bahasa indah manapun di dunia ini. 

Tapi lewat lukisan kapas bercak merah yang aku ikat di pohon itu aku tidak benar-benar serius menggambarnya, seharusnya gambarnya adalah aku menggenggam tanganku. Tapi apa daya, jariku hanya mahir untuk menggambar itu, dan hanya itu yang aku bisa untuk mendapatkan pelukanmu. Aku takut memelukmu, ayahku bisa marah besar dengan apa yang kita lakukan. 

Maafkan aku, kalau cambukan itu mengenai punggungmu karena ulahku mengunjungimu waktu malam. Sekarang aku hanya ingin tidur.

Mata ini tidak kuat lagi menanggung beban-beban masalalu dan bayangan kosong itu. Tidak ada gunanya, aku menipu diriku terus. Mata mulai terpejam dan aku masih memanggili namamu. Tiga kali ku panggili namu. Erisa, Erisa, Erisa. Mimpikan aku dalam tidurmu kalau kamu masih hidup dan datangi aku kalau kamu memang benar-benar tenggelam. 

Erisa Cassandra, atas nama indahmu itu, aku menginginkan mimpi indah malam ini. Hadirlah, walau dalam mimpi aku juga tidak mengatakan apa-apa. Selamat tidur, Erisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun