Mataharinya tidak enggan cepat turun, anginnya semakin kencang. Hamparan rumput hijau ini terus diayun dengan oleh angin, menari dan sinar matahari semakin menguning dan menyorot dari sudut tenggelamnya.Â
Mungkin, Erisa tenggelam bersama kapalnya dan Si Pengepul itu atau Erisa sedang memeluk Si Pengepul itu. Sebagaimana ia memeluk lukisanku, mungkin tangannya sudah fasih berbahasa.
Sinar matahari semakin menyorot ke pohon, aku, serta tas kayu berisi alat lukis. Sudah menyinari, sekarang aku beri sinar itu isyarat cinta. Dari jariku yang tidak sempurna. Tapi cinta ini begitu sempurna untukmu, Erisa.
Senja sudah mau tiba, pohon ini satu-satunya di hamparan savana yang luas membentang dan cakrawala hadir bersama senja yang hangat.Â
Sejak senja itu tiba aku mulai sadar, kalau memikirkan kamu dan masa lalu adalah hal yang sia-sia. Bagi hatiku, pikiranku, dan kamu yang  mungkin sudah tenggelam atau mahir berbahasa. Saat ini yang harus aku lakukan adalah terus melangkah, entah kemana yang pasti tidak untuk putar arah ke belakang.
Ku pakai tas kayuku, menghadap ke arah pohon itu. Terus aku taruh lukisan itu di bawah dan ku sandarkan ke pohon sebagaimana tadi aku bersandar. Setelah mundur empat langkah, aku tatap pohon itu dan menyaksikan lukisan itu. Sebagai penhormatan untuk Erisa, kesayangan aku.Â
Aku tertawa kemudian menangis untuk itu. Sudah cukup, aku harus berjalan memikul lukisan ini. Aku berjalan dengan arah yang tidak jelas, dengan perasaan yang tidak karuan.Ini semua tentang, Erisa.
Ku putuskan untuk kembali ke pohon itu, dan mengikatkan dengan tambang ke pohon itu. Akhirnya, lukisan itu sudah diikat di pohon. Semoga saja keilanganmu bukanlah suatu perkara sulit. Kemudian sekarang aku benar-benar melangkah, tidak akan aku putar arah.Â
Walaupun aku harus menyesal dan menikmati perjalanan penuh penderitaan. Senjanya sudah merah membara, disudut cakrawala dan savana yang tenang. Karena angin sudah mulai lelah mengiringi.
Aku berjalan sambil memikul tas kayu penuh lukisan dan dua kanvas kosong. Bayangan tentang kapal tenggelam dan Erisa lama-lama memudar. Aku begitu serius dengan langkah kakiku. Ia tak pernah berhenti sampai senja mulai sedikit menghilang dan meningggalkan rona violet di angkasa.Â
Aku harus terus mengembara karena cinta tidak bisa ditemukan di tempat cinta itu hilang. Jejak demi jejak membekas di atas savana. Sepatu but ini sudah mulai usang nampaknya, celana bahan ini juga sudah mulai robek, kemeja ini masih saja biru meski nampak lusuh. Tas kayu ini masih nampak gagah meski aku akan menambah tiga kanvas kosong yang nanti akan ku beli di toko alat lukis.