Bersama dengan pakaianmu yang basah karena air laut itu membasahkanmu. Aku ingin berbicara denganmu yang sudah fasih berbahasa isyarat, tapi kau harus susah-susah mengerti aku karena jariku tidak sempurnya. Erisa, bagaimana lautan itu memelukmu, mendekapmu hingga kamu tidak bisa bernapas.Â
Lupakan dingin dan sepi, aku sangat merindukanmu malam ini. Jauh di savana yang tidak akan kamu temui, karena kamu telah tenggelam bersama kapal itu. Mungkin salah satu budak di kapal itu telah mengebom kapal itu dan membuat kapal itu tenggelam. Aku tidak bisa menyelamatkanmu, Erisa. Bersama dingin malam ini dan bintang remang aku memikirkan kamu. Bawa aku untuk mengerti duniamu.
Savana ini terlalu kencang menariku ke alam tidur. Mataku tertahan dalam pandangan kabur tentang mimpi indah denganmu. Bulan sekarang telah berada di sebelah bintang yang berkedip-kedip itu. Cahaya sinarnya memabukkan dan rasa kantuk serta lelah ini berkecamuk menjadi satu.Â
Perasaan rindu juga ikut membantu untuk menidurkanku. Esok hari aku harus melalangkah, membeli kanvas baru. Melukis kapalmu yang tenggelam dan menggambarkan proses pengeboman kapal yang dilakukan temanmu. Erisa, kali ini aku ingin benar-benar tidur. Esok nanti akan aku gambarkan bagaimana aku harus memasung diriku di pinggir sungai hanya untuk merasakan penderitaanmu sebelum dibawa ke kapal yang di bom itu.Â
Tapi, sungguh. Kali, ini aku benar-benar ingin tidur dan keesokannya setelah aku bangun aku tidak lagi memikirkan hal bodoh dan delusi konyol tentang kamu, kapal dan Si Pengebom. Aku tidak akan pernah sempurna di matamu tapi kamu begitu sempurna sampai aku tidak akan benar-benar tidur.Â
Bayangkan penderitaanku, untuk tidur saja aku butuh usaha ekstra. Itulah perasaanku, yang tidak pernah dinyatakan dalam bahasa indah manapun di dunia ini.Â
Tapi lewat lukisan kapas bercak merah yang aku ikat di pohon itu aku tidak benar-benar serius menggambarnya, seharusnya gambarnya adalah aku menggenggam tanganku. Tapi apa daya, jariku hanya mahir untuk menggambar itu, dan hanya itu yang aku bisa untuk mendapatkan pelukanmu. Aku takut memelukmu, ayahku bisa marah besar dengan apa yang kita lakukan.Â
Maafkan aku, kalau cambukan itu mengenai punggungmu karena ulahku mengunjungimu waktu malam. Sekarang aku hanya ingin tidur.
Mata ini tidak kuat lagi menanggung beban-beban masalalu dan bayangan kosong itu. Tidak ada gunanya, aku menipu diriku terus. Mata mulai terpejam dan aku masih memanggili namamu. Tiga kali ku panggili namu. Erisa, Erisa, Erisa. Mimpikan aku dalam tidurmu kalau kamu masih hidup dan datangi aku kalau kamu memang benar-benar tenggelam.Â
Erisa Cassandra, atas nama indahmu itu, aku menginginkan mimpi indah malam ini. Hadirlah, walau dalam mimpi aku juga tidak mengatakan apa-apa. Selamat tidur, Erisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H