Ditolak di Negeri Para Guru
(Oleh Irfan HT)
"Aku seakan najis di mata mereka. Aku guru namun jugalah abu. Sekali tiup, hilang. Sudah lama aku dilarang menjadi guru."
Jam 12.00 aku persis di bawah terik matahari. Panas memoles kulitku yang coklat menjadi lebih mengkilap. “Sialan!” ucapku dalam hati.
Kulangkahkan kaki tergesa-gesa. Jilatan matahari memaksa cepat. Biasanya aku berjalan santai saja. Sudah dua kali motorku mogok. Sepasang kaki pun akhirnya menjadi andalan. Sesekali mataku menatap jam tangan di sebelah kiri. Cepat sekali rasanya jarum jam bergerak. "Tamu sekolah pasti sudah menunggu," ujarku dalam hati.
Badanku berkeringat membasahi kemeja putih yang kupakai. “Lengkap sudah derita hari ini,” tambahku, “kalau gak karena istri, gak sudi aku panas-panasan. Dasar pimpinan edan!”
Angin berhembus tiba-tiba. Berkas dalam map yang kubawa pun tersapu. Lembaran bermaterai tersibak dan sebagian koyak. Rasa kesalku semakin menjadi. “Dasar pimpinan edan! Entah kapan dia dimutasi dari sekolah itu.” Tanganku mengumpulkan satu persatu berkas dan memasukkan kembali ke dalam map kukepit di ketiak kiri.
“Kan sudah kubilang apa? Untuk apa kau menjadi guru? Gaji kecil! Makian istriku tadi pagi masih terngiang.
Langkah makin kupercepat. Emosi yang kupendam kulampiaskan di kedua betis yang mulai membengkak. Tanjakan menuju sekolah hampir separuh jalan lagi kulalui.
“Sudahlah, Sat, fokus saja beternak sapimu. Ngapain urusi sekolah yang gak ada uangnya? Teringat ucapan kawan-kawanku di warung kopi setiap sore.